Ketika Ren dan Fei sedang duduk di taman seberang mall dan Fei 'diinterogasi' mengenai kehidupannya oleh Ren, tiba-tiba terdengar suara seseorang merintih kesakitan.
Ren lekas mencari sumber suara dan mendapati tak jauh darinya, ada lelaki paruh baya yang sedang memegangi dada kirinya sambil merintih sakit dan tubuhnya mulai merosot ke bawah dengan wajah mulai membiru samar.
Segera saja Ren berlari cepat menangkap tubuh lelaki itu sebelum benar-benar terjatuh ke tanah. Orang-orang di sekitar menoleh dan kaget lalu mengerumuni Ren yang sedang menopang lelaki itu di pangkuannya.
"Bapak, Bapak kenapa?" tanya Ren.
Tapi, lelaki paruh baya itu tidak memberikan sahutan apapun selain rintihan kesakitan dan wajah makin terlihat membiru.
Menyadari ini merupakan kondisi kritis, Ren segera mengambil pergelangan tangan si bapak dan memeriksa denyut nadinya. Dia juga menggunakan ilmu khusus yang diberikan Mpu Semadya yang mengacu pada ilmu medis.
"Gawat," ucap Ren dengan pelan dan dia segera menaruh tapak tangannya di atas dada kiri bapak tadi sedangkan tangan lainnya terus memegangi pergelangan tangan si bapak.
Bapak paruh baya itu merasakan adanya aliran energi hangat yang memasuki dirinya dan berkumpul di dada kirinya. Energi itu tidak panas dan juga tidak dingin, benar-benar hangat menenangkan.
"Kenapa Bapak itu?" Orang yang mengerumuni mereka saling bertanya dengan kawannya masing-masing.
"Mungkin jantungnya kumat. Dia tadi kan pegang dada kiri dia."
"Ahh, jantung kumat, yah! Aku hubungi ambulans dulu, deh!"
"Ehh, menghubungi ambulans, memangnya kau ada duit? Siapa tahu Bapak itu tak punya duit, kita malah akan membebani dia saja kalau memanggil ambulans."
"Ahh, iya juga, yah! Ambulans kan mahal!"
"Mungkin ambulans di rumah sakit X saja yang jauh lebih murah, bagaimana?"
"Aku tak tahu nomornya!"
"Bukannya ambulans harusnya gratis di semua kota?"
"Sepertinya tidak di kota ini, Bung. Percayalah, mahal!"
Banyak orang malah berdiskusi mengenai apakah mereka perlu memanggil ambulans atau tidak.
Sementara orang sibuk membicarakan ambulans, Ren sudah selesai memberikan pertolongan darurat pada bapak tadi. Terbukti dengan wajah si bapak yang telah kembali ke rona normal berikut dengan bisa dibangunkannya tubuh Beliau oleh Ren hingga berdiri.
"Duduk dulu, Pak." Ren memapah si bapak ke kursi semen di dekatnya, mendudukkan bapak tadi dengan hati-hati. "Bagaimana perasaan Bapak? Masih sakit?"
"Ajaib, sakitnya benar-benar menghilang!" Bapak itu tersenyum takjub ke Ren. "Sungguh Bapak berterima kasih padamu, Nak. Kalau tak ada kamu, entah apakah Bapak masih bisa punya nyawa saat ini." Ia menepuk-nepuk lengan Ren dengan wajah penuh syukur.
"Bapak terlalu memuji. Ahh, Pak, ini … saya ada sedikit ramuan cair yang bisa Bapak minum agar lebih menguatkan Bapak." Ren merogoh sakunya dan mengeluarkan sebotol mungil tembikar yang menyerupai guci namun dalam versi mini.
"Apa ini?" Bapak itu menerima botol mini tembikar tadi dan bertanya.
"Saya menyebutnya Air Nirwana, Pak." Ren tidak berbohong. Cairan di dalam botol mini itu memang dinamai Air Nirwana oleh Mpu Semadya. "Jangan khawatir, Pak, ini bukan racun."
"He he, saya tidak mencurigai sampai ke sana, Nak. Hanya heran saja dengan bentuk guci cilik dari tembikar ini. Sungguh benda yang unik." Kemudian, si bapak pun meneguk isi dari botol mini itu semuanya. Setelahnya, mata si bapak berkedut lebar dalam satu detik usai Air Nirwana turun ke tubuhnya. "Ini … luar biasa segar! Aku sampai-sampai berpikiran, jangan-jangan ini air embun! Ha ha ha!"
Ren tidak menjawab, hanya memberikan senyumannya saja. Sementara itu, orang-orang yang tadi berkerumun mulai bubar setelah melihat si bapak sudah baik-baik saja.
"Sudah, tak perlu mencari nomor ambulans!" celetuk seseorang pada kawannya sebelum meninggalkan keduanya di kursi semen.
Bapak tadi tersenyum mendengar ucapan orang-orang itu dan menoleh lagi ke Ren. "Nak, siapa namamu?"
"Ohh, maafkan saya yang terlupa memperkenalkan diri. Saya Narendrajanu, Pak. Tapi cukup panggil Ren saja agar mudah." Padahal Ren ingin berkata, 'agar kekinian', tapi pastinya itu kurang tepat diucapkan di depan senior seperti si bapak.
"Ahh, Ren. Baiklah. Namaku Jayantaka, tapi cukup panggil Pak Yan saja biar mudah," balas lelaki yang bernama Yan tersebut. Wajahnya ramah dan menguarkan aura kebapakan yang bijak.
Ren jadi teringat akan ayahnya sendiri ketika melihat Pak Yan tersenyum tulus begitu. Sang ayah, Raja Bharatamahesa pun merupakan sosok yang ramah dan sering tersenyum pada orang-orang di sekitarnya. Beliau juga penuh kasih sayang tak hanya pada keluarga namun juga pada rakyatnya, namun sungguh tragis nasib akhir dari raja yang baik tersebut.
"Apakah kau masih sekolah? Di mana rumahmu?" Pak Yan bertanya disertai raut tulusnya menatap Ren.
Sesaat, Ren bingung harus menjawab apa. Namun, dia pun sembarang mencatut sekolah Fei. "SMA Harapan Luhur."
Ada roman terkejut di wajah Pak Yan ketika mendengar nama sekolah yang disebutkan Ren. Tapi, Beliau lekas bersikap normal lagi dan bertanya, "Lalu rumahmu?"
Sekali lagi, Ren mencatut letak rumah tempat Fei tinggal. "Di perumahan rakyat Ramahila, Pak."
Wajah Pak Yan tidak menunjukkan fluktuasi seperti tadi, namun Beliau malah mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ayah dan ibumu ada di rumah saat ini?"
Ren menggeleng.
"Mereka sedang pergi?"
"Mereka sudah tiada, Pak." Jawaban Ren merupakan hal kenyataan, bukan? Tak usah bicara mengenai orang tua Fei, bahkan orang tuanya sendiri pun sudah tiada.
"Lalu, kamu hidup dengan siapa?"
"Saya bersama adik saya hidup menumpang di rumah paman, Pak. Tapi …."
"Tapi?"
"Tapi kami sedikit dipersulit di rumah paman. Mungkin kami adalah beban untuk paman." Ren memasang sikap sedih sambil tundukkan kepala.
Ini membuat trenyuh hati Pak Yan. "Mana adikmu."
"Itu, Pak." Ren menunjuk ke Fei yang masih tetap diam di kursi semen mereka sebelumnya. "Fei, ke sini!" panggilnya ke gadis itu.
Fei pun melangkah mendekat ke tempat Ren dan Pak Yan. Ia kemudian membungkuk hormat ke Pak Yan.
"Siapa namamu, Nak?" tanya Pak Yan dengan raut senyum, Beliau terkesan akan sikap sopan Fei.
"Saya Fei, Pak," jawab Fei sembari menggenggam tali tas selempangnya erat-erat karena gugup.
"Kau dan kakakmu sedang jalan-jalan akhir pekan?" tanya basa-basi Pak Yan.
Fei menoleh ke Ren, jadi dia diperkenalkan ke Pak Yan sebagai adik dari Ren? Ohh, baiklah. "Benar, Pak. Sekedar ingin bersantai sejenak."
"Ahh, ya, bisakah kalian beri Bapak alamat rumah kalian?" Pak Yan mengeluarkan pena dan notes kecil dari saku bajunya.
Fei mulai menyebutkan hal yang diminta Pak Yan meski bingung kenapa lelaki paruh baya itu meminta alamat rumahnya.
"Baiklah, nanti saya a—"
"Papa!" Terdengar suara keras membuat Pak Yan menunda kalimatnya. "Papa! Akhirnya aku menemukan Papa, astaga!" Muncul sosok lelaki muda sekitar 25 tahun menghampiri Pak Yan. Penampilannya necis dengan setelan jas yang terlihat mahal.