13 Desember 1665, Somba Opu
Temmalara akhirnya tiba di depan rumahnya. Sesampainya di dalam, tidak seperti biasa Witta melihat Temmalara seperti membawa sesuatu yang disembunyikan olehnya belakang saku celananya.
"Kau bawa apa itu? hayoh mengakulah jangan bohong," ujar Witta tersenyum manis.
"Bohong untuk menyenangkan hati Istri itu tidak berdosa. Aku tidak bawa apa-apa Witta," balas Temmalara.
"Menyenangkan apanya aku malah jadi semakin penasaran."
"Jelas Witta karena aku ada kejutan untukmu."
"Kejutan apa?" tanya Witta, berusaha untuk menahan tawa kecilnya.
"Aku pernah berjanji untuk membelikanmu cincin saat melamar waktu itu, apa kau suka?" jawab Temmalara mengeluarkan peti kecil itu dari sakunya. Tatapan Witta langsung tertuju pada cincin batu akik yang diberikan untuknya.
"Wah warna hitamnya mencolok, meskipun ada coklatnya di bagian pinggir," ujar Witta.
"Yang terpenting Sayang cincin itu cocok di jarimu," balas Temmalara tersenyum kecil. Dengan pelan ia memasangkan cincin itu pada jari telunjuknya yang lentik.
"Baru sekarang ya merayu harusnya dari dulu, huh... dasar Temmalara menyebalkan," ucap Witta.
"Aku bingung tadi kau senang kenapa kau malah kesal ya..." ujar Temmalara sembari menggaruk kepalanya sedikit.
"Tidak peka dasar," balas Witta.
--
Pagi itu seperti biasa, Temmalara berlari di sekitar rumahnya. Ia berpapasan dengan Mario yang sedang mengamati pertumbuhan singkong yang ditanam olehnya waktu itu. Karena penasaran dan sedikit usil, Temmalara langsung mendekati Mario.
"Hoy!" Mario menengok ke kiri, Temmalara langsung ke kanan.
"Tidak usah bercanda!" Mario menengok ke kanan, Temmalara langsung ke kir.
"Temmalara!" Mario mendangak ke atas, Temmalara menatap ke bawah sambil menjulurkan lidah.
"Pagi-pagi mengganggu kesenangan orang saja," ketus Mario.
"Kau ini serius sekali melihat singkong itu Mario. Singkong tempatku tumbuh lebih besar dan lebih cepat daripada tempatmu," ujar Temmalara seraya membusungkan dadanya.
"Hah? lebih baik kau bercermin Temmalara daripada berlari tidak jelas, pagi-pagi bukannya mengumpulkan kayu bakar. Oh ya sialan aku hampir lupa, kau pasti melakukan itu ya tadi malam pantas saja tingkahmu aneh pagi ini!" timpal Mario.
"Menikah Mario, jangan hanya berani diam-diam mengintip wanita dan berimajinasi," balas Temmalara.
"Wajar namanya juga manusia."
"Itulah kenapa menikahlah temanku, gadis ada banyak di sekitar sini, percaya diri saja intinya."
"Pergi sana!" teriak Mario langsung meluapkan kekesalannya.
--
Setelah mempersiapkan semuanya, Temmalara dan Witta sudah siap untuk pergi meninggalkan rumah. Mereka berdua hari ini rencananya ingin menghabiskan waktu berdua bersama untuk kencan. Sementara Towase anak mereka berdua yang sudah menginjak 5 bulan akan dititipkan kepada Mario.
"Kenapa harus aku yang mengurusnya!" sahut Mario.
"Nanti aku bayar kau 1 Dirham, kau urus anak ini aku mau kencan dulu ke Somba Opu," ujar Temmalara.
"Oh ya Mario, nanti untuk makan Towase kau kasih makan dia bubur ya, jangan diberi nasi," - sahut Witta.
"Iya aku tahu!" balas Mario, terlihat urat sedikit menyembul dari jidatnya.
Towase kecil mendongak ke atas dan melihat wajah paman Mario, tangan kecil itu berusaha untuk meraihnya. Temmalara dan Witta pun mencium bayi mereka sebelum keduanya pergi dari rumah Mario.
--
Saat menapaki jalan, Temmalara sepintas berpapasan dengan gadis yang sepertinya ia kenali. Temmalara perlahan berhenti berjalan dan melirik ke belakang. Gadis itu juga berhenti melangkahkan kakinya dan menghadap ke depan. Rupanya Gadis itu tidak sendirian, ia ditemani oleh pria yang berada agak sedikit di depannya.
"Hagaiyah?" ucap Temmalara dengan suara parau.
"Temmalara, Ah eh... iya sudah lama kita tidak bertemu, ini suamiku," balasnya.
Setelah kata-kata itu diucapkan, Temmalara hanya dapat membisu melihat perut gadis yang kelihatannya sedang hamil 6-7 bulan tersebut.
Tatapannya seperti menahan kekecewan dan patah hatinya. Suami Hagaiyah bingung melihat raut wajah Temmalara begitu juga dengan Witta. Witta mengambil inisiatif untuk mencairkan suasana ini.
"Oh iya Hagaiyah suamimu bukan dari kampung kita kan? namaku Witta aku teman Temmalara. Senang kita bisa bertemu," - Sahut Witta mengajaknya untuk berjabat tangan.
"Hihi tidan usah berjabat tangan kau ini aneh kita satu kampung. Yah aku kira kau sudah menikah Witta, padahal banyak yang ingin mempersuntingmu di Kampung, tapi kau malah ke Somba Opu," balas Hagaiyah seraya menepis pelan tangannya.
"Eh? benarkah kau sudah menikah Hagaiyah?" balas Temmalara yang tersadar dari lamunannya.
"Waktu itu kenapa kau meninggalkan aku, untuk perempuan ini?" ketus Hagaiyah.
"Sudah cukup Istriku ayo kita pergi," sahut Suaminya langsung memegang tangannya.
Temmalara merasakan sesak di dada ketika melihat Hagaiyah bersama laki-laki lain apalagi setelah melihat perutnya yang membesar, ia seperti dibakar oleh api cemburu. Hagaiyah adalah cinta pertama Temmalara ketika ia masih tinggal di kampung sekitar Bantaeng dulu.
"Temmalara," ujar Witta menepuk pundaknya.
Temmalara masih membisu dan tertunduk lesu.
"Temmalara?"
"Apa?"
"Kau masih ada perasaan dengan Hagaiyah?" tanya Witta.
"Aku tidak peduli, masih cantik wajahmu dibanding dia. Jadi... tolong jangan kau pikirkan lagi ya kita harusnya bersenang-senang," Temmalara berusaha tersenyum.
"Bersenang-senang katamu!? jawab aku Temmalara, apa kau menikahiku selama ini untuk pelampiasan!"
"Jujur aku menikahimu karena badanmu yang paling bagus di kampung. Jadi itu... aku..." ujar Temmalara sembari berhenti dan menatap ke arah Witta.
Witta yang mendengar ucapan itu langsung berhenti melangkahkan kakinya.
"Jadi selama ini kau tidak menikahiku karena cinta. Selama ini kau hanya bermain-main saja sedangkan di hatimu hanya ada dia seorang!"
"Aku mohon Witta sudahlah, pada akhirnya kita ini harus realistis dalam hidup. Itulah perempuan mudah lupa dan tidak mau mengerti perjuangan seorang lelaki." balas Temmalara mulai melangkahkan kakinya lagi tanpa mempedulikan.
"Ya aku berusaha untuk mengerti," ucap Witta masih belum memulai langkahnya.
"Kalau kau sudah mengerti ayo!" sahut Temmalara berjalan ke arahnya kemudian menggandeng tangannya.
--
Setelah sampai di gerbang, mereka berdua melanjutkan perjalanan hingga sampai di tengah kota. Temmalara maupun Witta, menganggap kejadian tadi tidak pernah terjadi.
Seharusnya mereka menhabiskan waktu untuk berdua bersama di Somba Opu.
Pasar Tengah Kota tidak seperti biasanya, terlihat sepi dan banyak sekali para pengemis yang lalu lalang kesana kemari. Salah satu diantara mereka adalah teman Temmalara yakni Anakbatu yang saat itu berpura-pura seperti orang cacat.
"Bagaimana sudah dapat uang belum?" sahut Temmalara mendekati anak berbaju compang-camping itu.
"Oh Temmalara, ya kau tahu sendirikan sepi hanya dapat beberapa uang receh!" bentak Anakbatu.
"Kau ini sama seperti Galesong bercanda tidak ada adab. Anakbatu kapan-kapan kalau ada lowongan pekerjaan akan aku ajak. Oh ya kau tahu tidak kedai yang enak dan unik di Kota ini?"
"Astaga! kalau ada orang yang dengar ucapan Kakak bagaimana!?" sahut Anakbatu tersentak kaget dirinya disamakan dengan Galesong.
"Tenang saja Anakbatu, Temmalara sudah resmi menjadi Prajurit Wajo!" balas Temmalara.
"Baik kalau Kakak ingin Kedai yang unik coba saja datang ke Kedai Roti milik Saudagar Arab Imarah. Aku dan Kawanku pernah mengemis di sana namun diusir langsung,"
"Roti ya... oh makanan dari gandum itu kan?"
"Benar karena itu mana bayarannya, informasi itu tidak gratis. Apalagi Kakak hampir membuatku terkena serangan jantung tadi," ketus Anakbatu.
"Hah! katanya teman kau ini bagaimana," ketus Temmalara sembari memberikannya beberapa fulus (koin perunggu).
"Kakak tidak ada makan siang gratis di dunia ini," balas Anakbatu tersenyum licik.
Tidak lama kemudian, mereka berdua menuju Kedai Roti Imarah. Ketika mereka masuk ke Kedai itu, tidak ada satu seorangpun yang membeli makanan. Di tempat itu terdapat tulisan aksara arab tentang menu yang disediakan, namun mereka berdua tidak bisa membacanya.
Temmalara dan Witta duduk segera seorang pelayan datang menghampiri mereka berdua.
"Maaf Bapak ingin pesan apa?"
"Maaf aku tidak bisa membaca, tolong bisa bacakan apa saja menunya untuku." ujar Temmalara sambil menunjuk ke papan menu yang berada di atas kasir.
"Saat ini hanya ada Sibagh dan Roti Raqaq, menu yang lain sedang tidak kami buat." jawab Pelayan itu membacakan menu yang berada di papan.
"Baiklah kalau begitu aku dan Istriku pesan Kopi. Oh tolong diberi air tebu sedikit juga. Sibagh itu masakan apa?"
"Sibagh adalah Ikan Bakar khas Arab, mau pakai sagu atau nasi?"
"Ya sudah aku pesen Sibaghnya untuk Istriku dan jangan lupa sagunya."
Temmalara dan Witta pun makan dengan tenang, saat Temmalara sedang menguap tiba-tiba saja Witta memasukan sendoknya ke dalam mulut Temmalara, begitu juga Temmalara membalasnya.
Pemilik Kedai yaitu Imarah terlihat senang melihat pelanggannya yang sepasang suami istri ini akur.
"Temmalara kau punya cita-cita atau ambisi apa, aku penasaran suamiku yang tampan ini mempunyai impian apa?" ujar Witta memandangi kopi setengah habis miliknya.
"Aku ingin kaya, punya harta berlimpah ruah dan mengontrol perdagangan atau menjadi juragan tani. Tapi Witta cara satu-satunya meraih kekayaan bagiku adalah menjadi Ksatria," balas Temmalara.
"Tapi kau bisa terbunuh nanti, kau masih punya beberapa Dirham kan?, Itu bisa kita jadikan modal untuk berdagang."
"Aku tidak berpikir demikian Witta, jalan satu-satunya bagiku adalah menjadi lebih kuat. Saking kuatnya sampai musuh terpental karena kekuatan ayunan tombakku."
"Hihi, mana mungkin kau saja belum beli badik. Namun sebagai Istri wajib bagiku mengikuti kemauanmu."
"Senjata yang efektif di medan perang bukan badik Witta, tahu apa kau ini tentang pertempuran."
Setelah selesai menghabiskan semua makanan dan minuman, Temmalara menaruh kembali piring dan gelas. Kemudian ia mengambil beberapa koin perak dari dalam kantong bajunya.
"Oh ini Paman Imarah, 1 Dirham," ujar Temmalara menyerahkan uangnya.
"Tidak nak 50 Fulus saja sudah cukup," balas Paman itu.
"Alhamdulillah terima kasih paman."
"Tidak apa-apa nak, justru aku senang bisa melihat kalian berdua rukun."
Sehabis keluar dari Kedai, Temmalara dan Witta lalu berjalan menuju Bukit Samata untuk menghabiskan waktu bersama.
Mereka berdua sampai juga di atas bukit dan melihat indahnya Kota Somba Opu dari kejauhan. Tak terasa matahari semakin rendah dan suasana pun berubah semakin indah, dunia seakan hanya milik mereka berdua saja.
"Indahnya... sehabis kita menjadi kaya, aku ingin punya anak yang banyak," ujar Witta
"I...iya," balas Temmalara tersipu malu.
"Kenapa wajahmu? bukannya wajar punya 5-6 anak. Kita baru satu," ucap Witta tersenyum manis.
"Kalau itu... intinya untuk saat ini yang aku inginkan. Aku ingin menjadi lebih kuat," seketika Temmalara berdiri.
Angin sepoy-sepoy di sore hari berhembus bersamaan dengan cahaya matahari yang sudah mulai redup. Pertanda bahwa sebentar lagi malam akan segera menghampiri. Mereka berdua turun dari bukit. Saat itu Temmalara telah memantapkan hatinya, Ia mendapatkan impian baru untuk menjadi lebih kuat.