Kota Tosora
Setelah menempuh perjalanan cukup lama akhirnya sampai juga mereka di Gerbang Benteng Kotaraja Wajo. Para Prajurit Wajo terlihat cekatan memeriksa antrian panjang yang ingin memasuki Benteng Tosora.
Adzan dzuhur telah berkumandang. Rombongan itu akan memasuki kota setelah sholat berjamaah di Masjid yang dekat dari posisi saat ini. Saat sudah memasuki Pasar Kota nanti, Mario akan bertanya kepada Pedagang arah jalan menuju Wanua Pitumpanua.
"Kalian bocah! main serobot saja, sudah merasa jagoan ya karena membawa parang. Parang berkarat pula kalian ini ingin main pendekar-pendekaran ya!? di Tosora! antri kalian di bagian paling belakang cepat!" bentak Prajurit itu kepada rombongannya yang diam-diam berusaha menerobos antrian.
"Maafkan kami Tuan!" spontan sahut Temmalara sambil menunduk.
Temmalara dan temannya sangat jenuh kalau harus disuruh untuk mengantri, apalagi saat ini sinar matahari sedang terik-teriknya. Meskipun sudah berteduh dibawah pohon tetap saja hawa panas terasa menyengat kulit mereka.
Sembari menunggu giliran mereka karena perut sudah kosong, ia dan yang lain mulai memakan perbekalan mereka yaitu Ikan yang sudah diasapi dan lobak rebus sisa sarapan tadi. Setelah menunggu sampai setelah shalat ashar, barulah giliran mereka untuk diperiksa.
Setelah masuk ke dalam kota, mereka berempat sekilas melihat ke belakang memperhatikan Benteng yang berada di atas mereka. Benteng Tosora sendiri jika dibandingkan dengan Benteng Somba Opu, memiliki ukuran dan pertahanan yang jauh lebih kecil dan sederhana.
Benteng ini juga satu-satunya Benteng yang terbuat dari batu di Kerajaan Wajo. Benteng di Wanua lainnya hanya terbuat dari bambu runcing yang dikelilingi oleh parit. Banyak pula diantara Wanua tersebut yang ibukotanya tidak dilindungi dengan benteng.
Desa Besar dimana Arung kecil berkuasa, hanya dibiarkan saja oleh yang memerintah karena memang jarang diserang dan lebih mengandalkan prajurit sewaan daripada prajurit profesional untuk mengamakan wilayah pribadi mereka.
Untuk masalah perdagangan sendiri Tosora memang tidak seramai Makassar. Akan tetapi keberadaanya vital bagi jalur perdagangan. Tanpa Kota seperti Tosora, rantai perdagangan menuju Interior Sulawesi maupun ke Luar Pulau akan putus. Bisa dibilang Tosora adalah salah satu denyut nadi perdagangan di Kesultanan Gowa.
Kota-Kota seperti Tosora inilah tempat dimana para pedagang pribumi dari tempat yang lebih terpencil untuk singgah dan beristiraha melanjutkan perdagangan di kota lain. Di kota ini pula tidak terdapat orang asing yang singgah seperti Inggris, Portugis, India, apalagi Belanda.
"Mario kau yakin kita akan ke Pitumpanua sekarang? sebentar lagi maghrib. Lebih baik kita menginap saja," ujar Temmalara.
"Kau ini penginapan itu mahal uang kita sudah hampir habis. Setelah ini kita harus mencari sagu liar," ketus Mario.
"Heee... Temmalara lihat ekspresi wajahnya jangan-jangan Mario ada kelainan," celetuk Anakbatu tiba-tiba menepuk pundak mereka berdua.
"Hah!, candaan macam apa itu menjijikan sekali. Kau sudah cebok belum atau kencingmu itu perlu diluruskan lagi?" tanya Mario.
"Jangan bertengkar sahabat, ingat tujuan kita yaitu untuk menjadi Jendral terhebat di Kesultanan Gowa," ucap Lamboga.
"Kalian berdua kesini, Psshhtt... ayo kita kerjai dan tinggali orang aneh ini," bisik Temmalara.
"Ayok!" jawab mereka berdua serempak
Karena kesal Temmalara, Mario, dan Anakbatu lari meninggalkan Lamboga sendirian. Warga yang lalu lalang disekitar mereka tertawa geli melihat tingkah Lamboga beeusaha untuk mengejar ketiga teman yang tega merundungnya.
"Tunggu! kita kawan kan!" teriak Lamboga.
"Haha kejar saja kalau bisa pak Jendral haha!" sahut Temmalara.
--
Di perbatasan benteng seusai shalat maghrib, Mario mulai menanyakan letak Pitumpanua kepada salah satu pedagang di pasar itu.
"Assalamualaikum, maaf menggangu pak, kami musafir dari makassar ingin pergi ke Pitumpanua. Kira-kira kalau dari Tosora harus lewat mana?" tanya Mario.
"Waalaikumsalam, kalian mau apa ke Pitumpanua? kalau mau berdagang, bagus disini saja. Disana hanya ada pedesaan dan perkebunan," jawab pedagang itu.
"Kami ingin bergabung dengan Kelompok Gagak Hitam."
"Astagfirullah hal azim, nak mereka itu mantan perampok dulu sebelum kalian lahir mereka merampok banyak Wanua."
"Tapi sekarang sudah jadi Tentara Bayaran."
"Sekali perampok tetap perampok, sudahlah nak pulang ke Makassar cari pekerjaan yang halal, jadi buruh tidak apa yang penting berkah."
"Ehem... rute ke Pitumpanua?" tegas Mario.
"Baik yang penting aku sudah ingatkan kalian. Jadi ikuti saja jalan menuju Rumpia tanya Penjaga Benteng kalau tidak tau, lalu dari Rumpia kalian terus sampai ke Sakkoli dari Sakkoli kalian ke Kera dan dari Kera ke Pitumpanua. Lurus saja jangan berbelok ke kanan. Setelah itu ikuti jalan besar, kalau kalian sampai belok ke kanan di jalan utama sebelumnya nanti kaluan malah tersasar ke Passolereng. Oh ya ini paman ada sedikit bekal untuk kalian semoga uang ini cukup."
Pedagang itu mengeluarkan beberapa koin perunggu dari kantong kulit miliknya. Temmalara dengan sigap ingin mengambil koin itu namun Mario dengan cepat menghentikannya begitu juga dengan Lamboga. Temmalara menatap tajam mereka berdua sebelum mengembalikan kembali koin itu.
"Maaf sudah merepotkan terima kasih pak," - Balas Mario berusaha tersenyum.
Bertolak dari benteng itu, mereka berempat berangkat menuju Rumpia dengan melewati rute yang telah diucapkan oleh Pedagang tadi. sepanjang jalan mereka terkadang melihat papan bertuliskan huruf arab sebagai penanda jalan.
Akan tetapi tidak ada dari mereka yang bisa membaca apalagi menulis tulisan umum itu. Membaca dan menulis biasanya hanya kemampuan khusus yang biasanya dimiliki oleh bangsawan.
--
1 Desember 1665
Setelah seharian lamanya bertolak dari Wanua Kera,, akhirnya mereka sampai juga di Pitumpanua. Jika dibandingkan dengan Wanua Kera, Wanua Pitumpanua jauh lebih ramai dan padat.
Ada 7 Kampung Besar di Pitumpanua, masing-masing dari Kampung itu dipimpin oleh Datu yang memerintah Wanua ini secara bergantian atau bersamaan.
Mereka berempat sempat bingung, di wilayah desa mana sebenarnya Kelompok Gagak Hitam biasanya berkumpul. Setelah bertanya pada penduduk kampung akhirnya keempat sahabat itu menemukan markas kelompok ini di suatu Desa di Wanua ini.
Markas mereka terletak di salah satu rumah yang besar namun sudah tua, terlihat dari luar rumah dindingnya sudah banyak yang berlubang dan sampah berserakan berupa pecahan kendi berserakan dimana-mana.
"Paman, mohon izin kami ingin mendaftar jasi anggota," ujar Mario pelan sambil mendekati salah satu anggotanya.
Seketika orang-orang yang melihat mereka berempat di luar tertawa terbahak-bahak. Mereka mengusir Mario yang sudah masuk ke dalam rumah itu. Mendengar suara keras dari luar, Temmalara dan yang lainnya masuk ke dalam untuk menolong Mario yang sudah kewalahan.
"Haha coba ulangi 'mohon izin saya ingin...' bwahaha!" celetuk salah satu Anggota Gagak Hitam.
"Tidak sekalian ini uangnya haha, lumayan kan kita minta uang mereka!" spontan sahut salah satu temannya.
"Dengar ini demi kebaikan kalian sendiri. Pergi, sudah kubilang benar kan? tapi kalian malah mengajak bocah yang lain, kau itu punya telinga tidak!" bentak salah satu Anggota Gagak Hitam menunjuk ke arah Mario.
Karena ada keributan di dekat pintu, salah satu pria gendut datang menghampiri mereka. Segera ia mencengkram tangan anak buahnya yang ingin segera menghajar Mario. Rekannya itu lalu menepis tangan pria berbaju lengan panjang hitam dan pergi masuk ke dalam seraya menatapnya dengan tajam.
"Hoy Doraemonku, apa maksudmu membela keempat bocah itu hah! kita memang kekurangan orang tapi tidak seperti ini juga. Tidak mungkin Gagak Hitam menerima sekumpulan bocah! mana harga diri kita!" bentak salah satu anggota Gagak Hitam.
Tanpa basa-basi segera pukulan mendarat tepat di hidung muka rekannya itu, akibat pukulan itu hidung temannya patah dan mengeluarkan darah. Hampir tidak ada anggota Gagak Hitam yang berani menatap apalagi berbicara.
Doraemonku kemudian mempersilahkan mereka berempat duduk. Rekan-rekannya paham mereka harus segera menyingkir. Kemudian ada beberapa orang menyuguhkan makanan dan minuman untuk tamu.
"Ada perlu apa kalian kesini? namaku Doraemonku pemimpin Tentara Bayaran Gagak Hitam," ujar Doraemonku.
"Kami adalah calon tentara dengan kekuatan persahabatan yang kuat. Namaku Lamboga! aku ingin menjadi Jendral terhebat di Kesultanan Gowa!" spontan teriak Lamboga.
Doraemonku langsung tertawa lepas diikuti rekan-rekannya. Lamboga justru merasa bahwa hinaan yang diterima adalah cambuk baginya agar bisa menjadi lebih kuat dan baik lagi ke depannya.
"Mana susunya! haha astaga kekuatan persahabatan!"
"Ini Kapten, susu kerbau kita. Kalian berempat silahkan diminum,"
"Tidak biasanya kalian berguna para bawahanku. Ayo susunya silahkan diminum, kalau kalian mau susu yang lebih enak nanti akan aku berikan tenang saja, memuliakan tamu itu wajib." ujar Doraemonku sambil meminum susu itu.
"Tidak paman hehe, tidak keduanya. Maafkan kelakuan Lamboga paman memang anaknya agak kurang isi kepalanya" ucap Mario.
"Tidak mengapa, memang jadi tentara bayaran itu harus siap mati. Tapi itulah kita bersenang-senang setelah perang usai dan dapat banyak uang, tolong perkenalan siapa nama kalian?"
"Namaku Mario dari Makassar, tapi bukan asli sana aku dan Temmalara sebenarnya berasal dari Desa di Utara Bantaeng. Kami adalah Petani Lobak sebelum merantau ke Somba Opu."
"Iya benar yang dikatakan Mario, namaku Puli Temmalara."
"Kalau aku Anakbatu" ujar Anakbatu seraya menepuk pundak Lamboga.
"Kau ini jahil Anakbatu, aku Lamboga. Dari Tentara Bayaran Gagak Hitam aku memulai karirku menjadi Jendral terhebat di Kesultanan Gowa."
"Haha mana bisa Tentara Bayaran jadi jendral, kita semua disini dibayar untuk melindungi para bangsawan korup itu. Baik kalian aku terima tapi aku tidak akan membayar kalian sampai bekerja dengan benar mengerti!?"
"Siap!" serempak jawab mereka berempat.
"Tunggu dulu Mario kau bilang ada dua susu, kenapa hanya ada susu kerbau saja?" tanya Temmalara kebingungan.
"Kau ini bicara apa?" jawab Mario juga kebingungan.
"Hoho ternyata kalian belum mengerti ya, biar kutebak kalian berempat pasti masih perjaka bukan!" sahut Doraemonku.
"Apa hubungannya susu dengan perjaka, aku benar-benar bingung. Susu apa? susu dari ayam memangnya ada di Pitumpanua ini ya Mario?" tanya Temmalara.
Itu hari pertama Temmalara resmi menjadi Gagak Hitam dan hari pertama ia bertempur di laga peperangan. Pemberontak dari Soppeng diam-diam telah memulai pergerakan mereka dari perbatasan Luwu. Mereka akan segera menyerang dan mengambil alih Pitumpanua.
Para Puang ditempat itu bertindak cepat, segera Gagak Hitam dan Sambaran Petir beserta Tentara Bayaran lain bersama Warga sekitar dipanggil untuk berkumpul di alun-alun desa. Mereka diperintahkan untuk bersiap-siap bertempur oleh Sullewatang yang baru saja datang dari Wanua tetangga.
Keadannya sudah benar-benar darurat, pusatnya yaitu Tosora gagal untuk mencari tahu keberadaan para pemberontak sebelumnya. Apapun caranya, prajurit yang kecil itu harus menghentikan laju gerak para pemberontak itu sebelum Pasukan Penumpas dari Tosora dikerahkan.
Pasukan lawan mereka diperkirakan sebesar 1000 orang sementara Sullewatang dan Puang Wajo hanya sanggup mengumpulkan kira-kira 200 orang. Senjata dan peralatan tempur mereka benar-benar memprihatinkan.
Mereka hanya dipersenjatai oleh bambu runcing dan banyak dari mereka mengandalkan tangan kosong untuk bertarung. Dengan kata lain sepertinya mereka harus mati dan menjadi umpan dalam perang ini, agar pusat Wajo di Tosora dapat mempunyai cukup waktu untuk mengkonsolidasikan kekuatan.
Catatan: Sullewatang adalah Pemimpin Militer ketika keadaan darurat yang memerlukan tindakan dalam waktu cepat. Contohnya meredam pemberontakan di sebuah wanua atau memperlambat laju gerak pasukan musuh yang akan memasuki wilayah Wajo.