webnovel

Our Precious Joon

Tinggal bersama 3 ayah dengan berbagai kepribadian yang berbeda, inilah yang dialami remaja tampan berusia awal 15 tahun itu. Ia sudah bahagia sebenarnya, tapi ia merasa perlu juga mengetahui identitas dia sebenarnya. Perjalanan remaja agak slengean, Arjuna Raizaski alias Joon, mencari jati diri sebenarnya. Hingga suatu saat, ada yang mengatakan jika Joon bukanlah manusia seutuhnya. Itu membuat Joon semakin ingin mencari jati diri yang sesungguhnya. Benarkah ia bukan manusia biasa? *** "Haruskah aku membunuh putraku sendiri untuk memutuskan kutukan ikatan darah ini?" Lizen bermonolog. "Lakukanlah, Ayah! Jika ini memang takdir yang harus kita lalui." Joon menyahut dengan tersenyum. *** Visual dan spoiler dapat dilihat di IG: @mamathor_joon FB: Zanaka Sofia Maurya

Zanaka · 奇幻
分數不夠
320 Chs

Mimpi Jaya

"Jay, ada sebuah taksi yang masuk kolam pemancingan," seru Kevin yang berdiri di sisi jembatan.

Mereka dapat melihat jelas taksi itu terbalik. Seluruh badan mobil masuk ke dalam air, hanya empat bannya yang dapat terlihat dari permukaan.

***

Kevib dan Jaya berada di ruangan persegi yang didominasi warna putih saat ini. Mereka duduk di samping ranjang. Di ranjang sedang terbaring bocah lelaki berusia sekitar 4 tahun dengan luka memar dan luka sayatan kaca di beberapa bagian tubuhnya. Perban tebal juga melilit di kepala bocah tersebut. Sudah ada dokter juga di ruangan itu.

"Bagaimana keadaan Takumi, Dok?

Kenapa dia hanya diam saja sejak tersadar dari semalam?" Kevin bertanya.

"Bocah ini mengalami Aphasia sementara. Aphasia adalah gangguan yang menyebabkan penderita kesulitan untuk berkomunikasi.

Penyebab paling umum dari aphasia adalah kerusakan otak. Kerusakan otak bisa disebabkan oleh cedera berat pada kepala anak ini saat kecelakaan seminggu yang lalu," terang dokter.

"Lalu apa yang harus kami lakukan, dok?" tanya Jaya sejurus kemudian.

"Perawatan utama untuk aphasia adalah terapi wicara yang berfokus pada belajar kembali dan mempraktekkan kemampuan berbahasa dan menggunakan alternatif atau tambahan metode komunikasi. Anggota keluarga harus sering berpartisipasi dalam proses terapi dan berfungsi sebagai mitra komunikasi penderita aphasia." Dokter mengungkapkan anjurannya.

"Jadi kami harus mengajarinya berbicara dari awal?" sahut Kevin.

"Benar, Tuan." Dokter mengangguk mengiyakan. Beberapa saat kemudian dokter keluar dari ruangan itu.

Bruak!

Pintu ruangan itu terbuka dengan keras. Seorang pria bermata sipit masuk dengan wajah panik. Ia menghampiri bocah itu lalu menggendong dan menciuminya.

"Takumi-chan, ini paman. Kau ingat? Paman mohon jangan tinggalkan paman lagi!" pinta pemuda yang mengaku sebagai paman dari Takumi itu.

"Hei, turunkan dia, Kenichi! Dia masih terluka!" bentak Kevin pada adik mantan kekasihnya itu.

Jaya mengambil bocah yang kebingungan itu dari gendongan Kenichi dan mendudukkan di tepi ranjang.

"Kau bisa mendengarku, Nak?

Sekarang ucapkan A-YAH!"

Jaya menuntun bocah itu untuk mengucapkan beberapa kata.

"A-A-YAM!" ucap bocah itu, susah payah.

"Bwahahaha ayam katanya!" Kevin tertawa dengan nistanya. Jaya hanya melotot ke arah kakaknya itu.

"Tunggu! Ini maksudnya apa kalian menyuruh keponakanku memanggil orang ini 'ayah'?" tanya Kenichi dengan wajah bingung.

Tanpa menjawab, Kevib langsung menarik Kenichi keluar ruangan itu. Meninggalkan Jaya dan bocah itu hanya berdua.

"Baiklah, pelan-pelan saja tak perlu terburu-buru, mengerti?" ucap Jaya yang ditanggapi anggukan kecil bocah laki-laki menggemaskan itu.

"Katakan 'A-YAH'!" Jaya kembali menuntun.

"A-A-A-YAH," ucap bocah itu dengan terbata.

"Ayah! Ayah! Ayah! Uhuk! Uhuk!" Terdengar suara remaja laki-laki yang begitu familiar bagi Jaya

"Hei, kenapa suara kamu serak seperti ini, Nak? Tapi bibirmu diam dari tadi. Lalu dari mana suara itu berasal?" Jaya berkata bingung sembari mencari sumber suara.

"Ayah! Uhuk-uhuk! A-yah! Uhuk-uhuk!" Terdengar seperti suara kesakitan kembali.

Kening Jaya berkerut, ia menyadari sesuatu. "Tunggu! Apa ini hanya alam mimpi?" gumamnya

"Uhuk-uhuk! A-yah, sakit!" Suara batuk terus-terusan semakin terdengar nyata di telinga Jaya.

Jaya terbangun gelagapan. Ia mengusap peluh yang membasahi keningnya. "Astaga, mimpi tentang kecelakaan itu lagi!" gumam Jaya.

"Uhuk-uhuk! A-yah! Pa-pa! Dad-dy! Uhuk-uhuk!" Ini suara Joon yang terbatuk keras. Suaranya terdengar serak di tengah-tengah batuknya yang kian menjadi.

Jaya baru menyadari setelah mengucek matanya. Joon tidur membelakanginya. Jaya segera mengangkat tubuh Joon dan mendekapnya.

"Uhuk! Uhuk! Uhuk! Uhuk! A-yah," panggil Joon lemah di antara batuknya.

Jaya meletakkan kepala Joon di lengannya. Ia menepuk pelan pipi Joon. "Joon-chan, kau kenapa? Dan demammu, sejak kapan semakin tinggi, heh?" tanya Jaya. Ia merasakan suhu tubuh Joon sangat panas.

"Uhuk! Uhuk! A-yah, dada Joon terasa sesak dan nyeri. Uhuk! Uhuk Uhuk!" Joon mengeluh lemah sambil menekan dadanya.

"Kak Kevin! Kenichi! Cepat Kemari!"

Jaya berteriak sekuat tenaga. Ia dilanda kepanikan secara tiba-tiba.

Beberapa detik kemudian, Kevin bersama Kenichi memasuki kamar itu. Mereka terbelalak saat melihat tubuh lemas Joon berada di lengan Jaya. Kevin berlari menuju ranjang, dan meraih kepala Joon, memindahkannya ke lengannya.

Joon melihat papanya dengan mata setengah terpejam. Meski pandangannya mengabur, tapi ia dapat merasakan bahwa papanya berada di sampingnya saat ini.

"Uhuk! Uhuk! Pa-pa, sakit!" keluh Joon. Air mata menetes begitu saja dari mata sayunya karena menahan sakit.

Kevin menyentuh kening Joon dan matanya terbelalak. Ia melihat ke arah Jaya setelah itu. "Ada apa ini, Jay? Kenapa badan Joon panas seperti ini, hah?" bentak Kevin pada adik angkatnya itu.

Tubuh Jaya gemetaran. "A-aku tidak tahu, Kak. Ta-tadi dia baik-baik saja, dan aku ketiduran setelah membacakan cerita," jawab Jaya, kikuk. Ia benar-benar bingung dan panik saat ini.

Di dekat ranjang, Kenichi diam mematung di sana. Tubuhnya juga gemetaran hingga tak dapat digerakkan. Dia melihatnya kembali. Melihat lotus mereka kesakitan seperti dulu. Sejak kecil keponakannya itu memang sangat lemah. Keadaan Joon akan semakin memburuk jika dia mengalami stres.

Untung saja dulu Kevin melakukan sesuatu pada Joon saat Joon masih kecil. Dan kini, Kenichi sungguh tak sanggup melihatnya lagi. Air matanya berlomba menuruni pipi.

'Daddy mohon jangan seperti ini, Joon! Daddy sudah berjanji akan selalu menjagamu kan, Nak?' batin Kenichi.

"Kenichi! Jangan diam saja! Panggil ambulance!" perintah Kevin dengan berteriak.

"Su-sudah, Kak." Kenichi menyahut dengan suara terbata. Tubuhnya masih gemetaran. Bahkan tak sanggup bergerak untuk mendekat ke arah Joon.

"Joon-chan! Kau bisa mendengar papa?" panggil Kevin kembali. Raut kepanikan juga tergambar jelas dari wajahnya.

"Uhuk! Uhuk! Da-da Joon sa-kit, Pa!" Joon kembali mengeluh. Ia meremas dadanya begitu erat, seolah itu dapat mengurangi rasa sakitnya.

'Apakah sesakit itu, Nak?' batin Kenichi kembali. Ia masih berdiri di tempatnya berpijak dengan tubuh gemetar. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan untuk mengurangi rasa sakit keponakannya itu..

Sedetik kemudian, Kenichi melihat tangan dan kepala Joon terkulai, masih dalam dekapan Kevin.

"JOON-CHAN!"

Teriakan memilukan Jaya dan Kevin itu engingatkan Kenichi pada Kak Zenkyo-nya. Biasanya Kak Zenkyo-nya akan teriak seperti itu jika melihat Takumi terjatuh. Tapi, Kenichi menyadari bahwa Joon tidak sedang terjatuh saat ini.

Demam yang sangat tinggi, tubuh yang menggigil, batuk terus-menerus hingga wajah dan bibirnya pucat. Dan kini ...?

Mata Joon tertutup rapat?

"Jangan! Daddy mohon jangan, Joon-chan! Daddy tahu kau tak selemah ini, kan? Tapi situasi ini? Atmosfer seperti ini? Aku pernah merasakannya dulu. Apa sebenarnya yang terjadi? Oh Tuhan, jangan beri kami mimpi buruk seperti kejadian waktu itu!" Kenichi meracau tidak jelas melihat Joon yang kehilangan kesadaran tepat di depan matanya.

Ia benar-benar payah dalam menjaga keponakannya sendiri. Kenichi terus merutuki dirinya. Ia tak akan pernah memaafkan dirinya sendiri jika terjadi sesuatu yang buruk pada keponakan tersayangnya itu.

Bersambung ....