POV Author
Eleanor, Bintang dan Bunda sudah berkumpul di ruang yang sama. Tidak berniat untuk pindah, mereka melakukannya dengan santai sambil menunggu suami Bunda Dewi pulang. Ada camilan yang menemani mereka sehingga sesekali Eleanor mengambilnya.
"Bunda bercanda ihh, masa aku pura-pura jadi penulis aslinya? Bunda mau mencoba menghiburku untuk menjadi terkenal dan bersinar seperti bintang sungguhan di langit sana?" tukas Bintang yang tak berhenti tertawa dengan ketidak yakinannya.
"Tentu saja Bunda maunya bercanda sayang," ucap Bunda sambil mendekatkan diri kepada Bintang. "Tapi sayangnya Bunda beneran serius." Lalu Bunda Dewi menambahkan dengan ekspresi wajahnya yang benar-benar serius.
"Wah, kalau kayak gitu apa yang bakalan aku lakuin dong Bun? Bakalan banyak penggemar?" kata Bintang sambil menatap bundanya serta Eleanor secara bergantian.
"Tentu saja mereka yang mengenalmu lewat tulisan dan akan tahu wajah aslinya adalah kamu dan seperti dugaan mereka bahwa kamu sangat cakep, anak Bunda ini akan memiliki penggemar. Tetapi kamu juga bisa mempublikasikan hubungan kamu dengan Eleanor. Masih bebas dan tidak akan ada larangan seperti selebriti yang harus bersembunyi ketika terlibat skandal kencan," jelas Bunda yang tampak memberikan penggambaran kepada Bintang agar putranya tidak khawatir.
"Tapi bukankah yang menarik dari sana adalah ke misteriusan Bunda selama berkarya?" tanya Eleanor yang memiliki pendapat lain.
"Tidak masalah jika semua orang akan tahu." Bunda tersenyum lebar. "Karena semua alasannya adalah kamu Eleanor."
Seketika Eleanor mengerjapkan kedua matanya beberapa kali sambil menatap Bunda dan Bintang secara bergantian. "Kenapa saya, Bun?" Eleanor menatap polos, ia jadi bingung sendiri.
"Bunda tidak mau kamu akan menjadi incaran bosmu karena dia ingin tahu soal penulis di balik nama pena Bintang kan, jadi menurut Bunda jalan terbaiknya adalah go public." Bunda menjelaskan secara serius. Dari tatapan matanya saja dia tidak berbohong.
"Bun..."
"Ya sayang?" Bunda tersenyum lebar ke arah Eleanor.
"Sebenarnya kalau hanya itu tujuan Bunda, ada cara yang lebih mendukung sih Bun," kata Eleanor seraya tersenyum miring.
"Apaan sayang?" Bunda menyimak dengan serius.
"Sesuai permintaan dia, Eleanor bakal bawa Bintang bertemu dia. Tapi tanpa perlu ditunjukin ke publik kan? Jadi kita tidak perlu berbohong kepada semua orang, Bun. Kita cuma bohong ke atasanku saja."
Bunda Dewi terdiam, ia menatap Eleanor dan Bintang yang juga menunggu jawabannya. "Baiklah, saranmu diterima. Jadi risiko yang tahu nanti hanya rekan kerja kamu saja ya, sayang."
"Iya Bun, memang sebaiknya seperti itu saja, hehehe." Eleanor tertawa pelan, lalu ia meraih gelas minumannya dan meneguknya sampai hampir habis.
Tak lama dari itu, Papa Bintang baru saja datang. Bunda langsung menyambut suaminya dengan mesra layaknya pasangan yang selalu terlihat manis dan romantis. Mereka berpamitan kepada Eleanor dan Bintang yang menonton keduanya, bahwa mereka harus pergi ke kamar karena harus menunggu Papa Ardan membersihkan dirinya terlebih dahulu sebelum mereka semua berkumpul di meja makan.
***
POV Eleanor
Tanganku langsung ditarik keluar oleh Bintang. Kami menuju ke taman belakang. Tertawa bersama karena merasa konyol menonton adegan romantis kedua orang tua Bintang. Dia pikir aku masih gadis kecil, melihat adegan seperti itu sudah biasa buatku di drama-drama Korea yang sering aku tonton. Selama masih batas wajar semacam berciuman aku biasa saja dan membawanya dengan santai.
"Kamu tidak perlu meminta maaf Bintang, sungguh aku sudah memakluminya kan mereka juga suami istri yang sah." Aku mengatakan isi pikiranku, bukan hanya untuk menghibur Bintang saja tapi memang kenyataannya harus seperti itu.
"Hahaha, aku takut kamu yang merasakan iri."
Alisku saling bertautan heran, tiba-tiba ia mengajakku naik ke atas pohon yang bisa dijadikan sandaran sambil menatap bintang-bintang di langit. "Kenapa aku harus merasa iri? Dan untuk apa kamu naik-naik pohon malam-malam begini Bintang?" celotehku sambil menatap heran Bintang yang kelakuannya selalu ada saja dan membuatku bingung.
"Ayo naiklah, ini tidak seram dan di sini sejuk. Bisa melihat bintang walaupun masih jauh tapi kan tetap menyenangkan seakan langit berada dekat di atas kita karena kita naik-naik." Bintang jadi meyakinkanku sejenak agar aku mau diajak naik dan duduk di sampingnya di atas pohon itu.
"Tapi aku takut jatuh."
"Kalau kamu jatuh, aku juga akan jatuh, tapi kamu nggak akan aku biarkan sakit. Jadi percayalah kamu akan kujaga. Kita sambil nunggu orang tuaku soalnya suka lama kalau udah masuk kamar." Bintang mengedipkan sebelah matanya, mau tak mau aku ikut naik ke atas pohon atas bantuannya walaupun sedikit gemetaran tapi begitu sampai di atas dan duduk di sisinya, dia benar-benar menjagaku dengan melingkarkan tangannya dari belakang punggungku.
"Tadi maksud kamu aku iri kenapa?" Aku mencoba membuat topik karena jarak kami yang sangat berdekatan ini membuat jantungku berdetak lebih kencang dan aku tidak mau Bintang mendengar detakannya.
Awalnya aku lihat Bintang diam saja, wajahnya juga tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. "Aku takut kamu iri pada Bunda dan Papa yang sedang berciuman, Lea."
Spontan kedua tangannya refleks membekap bibirku sendiri. Aku juga bingung kenapa aku melakukan itu sampai membuat ekspresi wajah Bintang berubah aneh.
"Kenapa kamu malah nutupin bibir kamu?"
"Oh, enggak apa-apa."
Dalam hati aku merutuki diriku sendiri karena bertingkah sekonyol itu di sampingnya.
"Hahahaha."
Dia pakai tertawa lagi. Ini benar-benar balasan yang menyebalkan. Aku salah tingkah juga.
"Aku tidak akan melakukannya padamu tanpa seizinmu, Lea." Bintang berkata pelan seperti berbisik di dekat telingaku.
Perutku rasanya benar-benar tergelitik. Aku ingin turun dan menutup wajahku karena benar-benar memalukan. "Ah, aku tidak tahu."
"Tidak tahu apa?"
"Kamu jangan menggodaku seperti itu, yak!" Aku mengomelinya sambil mengerucutkan bibirku sebal.
"Oh, jangan ngambek." Bintang terkekeh pelan sambil meraih daguku agar wajahku bisa menatap ke arahnya.
"Aku nggak ngambek."
"Kalau gitu udah punya jawaban nggak?"
Aku diam. Jawaban apa yang dia maksud? Memangnya dia ada nanya sesuatu ke aku ya? Apa yang belum aku jawab?
"Soal pernyataan cintaku, Lea. Kalau kamu merasa terlalu buru-buru dan belum yakin, aku tunggu sampai kamu bisa merasakan dan mengenali perasaanmu kepadaku."
Aku menatapnya tanpa berkedip, dia juga menatapku dalam dan lembut seperti ucapannya. "Aku sebenarnya..."
"Nggak apa-apa Lea," ucap Bintang sekali lagi semakin merasa tidak enak karena aku mengulurnya, apalagi dia sampai mengirimkanku bunga di kantor yang membuat heboh bosku sendiri.
"Dengerin dulu, Bintang." Aku langsung menahan kedua tangannya dan menatapnya tajam.
Dia tersenyum tipis, lalu mengangguk tanda bahwa dia siap mendengarkanku.
"Aku mau kok."
"Mau apa?" Bintang bertanya sambil menaikkan setengah alisnya dengan senyum miring yang menggodaku juga.
Hatiku dan perasaanku sungguh sedang berdebar-debar. "Aku mau jadi pacar kamu. Aku juga menyukaimu. Kamu dapat mendengarnya, huh?"
"Mendengar? Apa? Sungguh? Ah, kamu benar-benar mau jadi pacarku? Enggak mau sekalian jadi istriku langsung saja?"
"Kamu kalau nanya nggak bisa satu-satu apa? Kenapa harus ada banyak tanda tanda yang kamu ucapin, Bin."
Dia hanya bisa tertawa, tapi yang aku yakini pada saat itu, kami sudah saling membuka perasaan satu sama lain. Dia menyukaiku, aku juga menyukainya.