webnovel

NITYASA : THE SPECIAL GIFT

When death is a blessing. Bagaimana jika lingkup sosial kita di isi oleh orang-orang menakjubkan? Diantaranya adalah orang yang mempunyai anugerah di luar nalar. Salah satunya seorang bernama Jayendra yang berumur lebih dari 700 tahun dan akan selalu bertambah ratusan bahkan ribuan tahun lagi. Dia memiliki sebuah bakat magis yang disebut Ajian Nityasa. Kemampuan untuk berumur abadi. Mempunyai tingkat kesembuhan kilat ketika kulitnya tergores, tubuh kebal terhadap senjata dan racun, fisik yang tidak dapat merasakan sakit, serta tubuh yang tidak menua. Namun dari balik anugerah umur panjangnya itu, gejolak dari dalam batinnya justru sangat berlawanan dengan kekuatan luarnya. Pengalaman hidup yang dia lewati telah banyak membuatnya menderita. Kehidupan panjang tak bisa menjaminnya untuk bisa menikmati waktunya yang melimpah. Kebahagiaan tak lagi bisa dia rasakan. Dari semua alasan itu, maka baginya kematian adalah hal yang sangat ia damba. Tetapi malaikat pencabut nyawa bahkan tak akan mau mendekatinya yang telah dianugerahi umur abadi. Pusaka yang menjadi kunci satu-satunya untuk menghilangkan Ajian Panjang Umur itu telah lenyap ratusan tahun lalu. Maka jalan tunggal yang harus ditempuh adalah kembali ke masa lalu. Tidak, dia tidak bisa kembali. Orang lain yang akan melakukan itu untuknya. Seorang utusan akan pergi ke masa lalu bukan untuk merubah, tetapi untuk menguji seberapa besar batasan kepuasan manusia. Masa lalu berlatar pada awal abad 13 di Kerajaan Galuh pada masa kepemimpinan Maharaja Prabu Dharmasiksa. Di zaman itulah misi yang semula hanya untuk mengambil sebuah pusaka seolah berubah menjadi misi bunuh diri. Kebutaan manusia akan sejarah membuatnya terjebak pada konflik era kolosal yang rumit. Mampukah mereka melakukannya? Atau akan terjebak selamanya?

Sigit_Irawan · 历史
分數不夠
240 Chs

39. Dedikasi

Hatinya penuh kekhawatiran, Lingga mengendarai kudanya dengan cepat dibawah sinar purnama. Jalan yang dilaluinya cenderung tanjakan bebatuan terjal. Di sisi kanan dan kirinya berjajar rapi pepohonan pinus. Semakin tinggi permukaan tanah, semakin dingin pula udara menusuk kulit dan tulang murid Sutaredja itu. Namun, cahaya bulan purnama sesekali menembus melewati ranting-ranting serta dedaunan pohon pinus sehingga sedikit memberikan kesan hangat. Pakaiannya yang serba putih layaknya seorang Brahmana membuatnya seolah menyala di tengah pekatnya jalanan hutan terpantul oleh sinar rembulan yang menyorotinya.

Kuda yang ditungganginya meringkik keras menjelang tiba melewati pintu gapura perguruan. Benaknya berkata, 'Ah... Syukurlah semua aman' tatkala melihat komplek perguruannya tidak seperti yang ada dalam mimpinya. Semua terlihat normal dan baik-baik saja. Beberapa murid perguruan bahkan masih terjaga di serambi. Mereka begadang secara bergiliran demi menghindari kejadian tidak diinginkan terulang kembali. Ketika Lingga melewati gapura dan memasuki pelataran, saudara-saudaranya itu menyadari kedatangannya. Lingga disambut dengan sukacita.

"Lingga...! Kok pulang sendirian? Dimana yang lain? Di mana Kakek Guru? " tanya seorang murid sebayanya setengah cemas.

"Tenang..., tenang..., pertanyaannya satu-satu," celoteh Lingga menanggapi. "Kakek Guru dalam keadaan baik-baik saja, Bungur. Beliau dan Saksana masih berada di Kotaraja, kemungkinan lusa mereka sudah kembali. Sedangkan Kakang Jayendra kemungkinan sedang ikut mencari Saga Winata." Lingga menuruni kudanya dengan dibantu Bungur, saudara seperguruannya yang menahan posisi kuda supaya tidak goyang.

"Lalu kenapa kamu pulang lebih dulu?" tanya Bungur kembali.

"Aku hanya mampir sebentar, memastikan keadaan kalian baik-baik saja. Tidak ada masalah, kan?" Sebelum sempat saudaranya menjawab, dia membantu Lingga untuk mengikatkan kudanya di sisi kanan serambi. Kemudian kembali menuju serambi dan duduk lesehan diikuti oleh Lingga. Beberapa saudaranya yang lain turut duduk memutari meja. "Minum dulu, Kakang Lingga...," ucap salah seorang adik seperguruan yang lain dengan menuangkan air kendi ke dalam gelas yang terbuat dari bambu.

"Terima Kasih..." ucap Lingga sambil meneguk air dalam gelas. "aahhhh... Segar..."

Bungur mengupaskan sebiji buah salak untuk menghidangkannya kepada Lingga. selagi mengupas, obrolannya berlanjut, "Kami semua dalam keadaan baik-baik saja, beberapa murid perguruan yang terluka karena peristiwa itu sudah mulai banyak yang sembuh. Tetapi, ada satu anak kecil yang bernama Sayuti kondisinya memprihatinkan."

"Bagaimana keadaan pastinya anak itu?" Lingga menyantap buah salak yang sudah dikupaskan oleh Bungur.

"Kemarin malam Ruwah mengumpulkan kita semua untuk meminta pendapat. Kami membicarakan soal luka di kaki kiri anak itu yang semakin membengkak. Jadi kami memutuskan untuk..."

"Untuk...? Untuk apa?"

"... anak malang itu harus terpaksa kehilangan kaki kirinya," Bungur menjelaskan sambil menundukan kepalanya.

Lingga berusaha menahan diri untuk tidak menampakan kesedihannya. Matanya mulai memerah dan berkaca. meski mulutnya masih dalam kondisi mengunyah makanan.

"Apakah Ruwah sudah tidur?" tanya Lingga.

"Mana bisa dia tidur...," kata Bungur.

Lingga tertegun dalam diamnya.

"Eh, kamu tolong panggilkan Ruwah di belakang, bilang Lingga sudah kembali...!" pinta Bungur kepada salah satu adik seperguruannya.

"Baik..., Sebentar, Kang," jawabnya sambil berlalu menuju ke belakang.

"Sejak peristiwa itu setiap malam Ruwah selalu sibuk menumbuk beberapa dedaunan dan rempah-rempah. Siangnya dia berkeliling hutan untuk mencari-cari tanaman obat," lanjut Bungur.

"Lalu bagaimana nasib anak yang bernama Sayuti itu? Apakah keluarganya sudah diberi tahu?" tanya Lingga.

"Kamu kan tahu sendiri, Lingga. Sebagian besar anak-anak yang menjadi siswa di sini diambil dari jalanan. Mereka sudah tidak memiliki orang tua atau bahkan keluarga."

Kemudian tak berapa lama, Ruwah pun muncul. "Kakang Lingga...," sapanya.

"Ruwah...," Lingga balas menyapa.

"Kakang sendirian? Di mana Kakek Guru dan yang lain?" tanya Ruwah. Bungur menggeser posisi duduknya untuk memberi ruang bagi Ruwah yang kemudian turut duduk di samping Lingga.

"Aku hanya mampir sebentar. Mereka masih ada di Kotaraja," ujar Lingga kembali memakan buah salak.

"Oh."

"Bagaimana keadaan Sayuti?" tanya Lingga.

Ruwah terdiam dan melirik ke arah Bungur. "Kang Bungur... " gumamnya. Bungur pun menanggapi dengan mengangguk kepada Ruwah sebagai tanda bahwa dia sudah menceritakan perihal Sayuti kepada Lingga.

"Anak itu sedang dalam masa pemulihan, Kang. Maaf, aku harus segera mengambil tindakan itu tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Kakek Guru. Sebab jika tidak segera dilakukan, anak itu bisa kehilangan nyawa."

"Tindakanmu sudah tepat, Ruwah. Kakek Guru pasti akan mengerti. Itulah kenapa beliau mempercayaimu sebagai ketua pengurus Balai Pengobatan. Karena memang kamu yang paling paham ilmunya."

"Terima kasih pujiannya, Kakang. Tetapi aku juga dibantu beberapa murid lain yang sama-sama memahami ilmu pengobatan."

"Tapi perlu diingat, kamu pun harus menyeimbangkan waktu istirahatmu sendiri. Jangan sampai justru kamu yang sakit."

"Maaf, Kang. Aku harus selalu siaga untuk mendampingi mereka yang sedang dalam perawatan. Jadi, aku tidak boleh lengah barang sebentar."

"Paling tidak kan bisa bergantian dengan saudaramu yang lain kalau cuma menjaga, jangan sampai kamu yang nanti sakit. Sebab kalau seorang tabib sakit, siapa yang akan merawatnya?"

"Aku belum menjadi tabib, Kang. Masih belajar."

"Dengan seluruh kerja keras dan dedikasimu ini, kamu sudah layak disebut tabib, Ruwah."

"Ngomong-ngomong, Bagaimana dengan para peneror itu, Kang? Apa sudah dihukum?"

"Keempat bajingan itu kemungkinan sudah mendapat ganjarannya. Seharusnya siang tadi mereka sudah dihukum mati. Sebab sewaktu aku meninggalkan Kotaraja, itu sehari sebelum acara penghukuman."

"Syukurlah kalau begitu."

"Tetapi dalangnya belum tertangkap. Untuk itulah aku akan ikut mencarinya menyusul Kakang Jayendra yang sudah lebih dulu melakukan pencarian."

"Sayang sekali aku tidak bisa ikut mencari," sesal Ruwah.

"Tidak perlu dipikirkan, Ruwah. Memburu nyawa penjahat adalah tugas kami para pendekar, sementara tugasmu sebagai tabib adalah memastikan setiap nyawa terselamatkan."

"Baiklah, Kang. Maaf, aku harus kembali ke belakang untuk melanjutkan beberapa pekerjaan." Ruwah kemudian berdiri hendak kembali ke belakang, Lingga pun turut berdiri dan menahannya.

"Jangan...! kamu harus istirahat. Biar aku yang menggantikan pekerjaanmu."

"Tidak perlu, Kang."

"Sudah... Sudah..., tidak apa-apa. Kalau cuma menumbuk daun dan rempah, aku pun bisa. Tinggal kamu beri tahu saja beberapa takarannya."

***

Keesokan paginya, Aula pekan pertemuan raja dan para pejabat istana sedang berlangsung. Maharaja Prabu Dharmasiksa telah duduk di singgahsananya ditemani beberapa permaisurinya disisi kanan dan kiri. Beberapa punggawa turut hadir dalam pertemuan itu. Diantaranya Mahapatih Adimukti Nataprawira, Saptaraja Hanung Cumangkir, Rakryan Mahamantri Mpu Handaya, Tumenggung Aria Laksam, Juru Pangalasan Mpu Lembu Bodas, Walikota Saunggalah Nandang Wisesa, dan beberapa pejabat inti kerajaan lainnya.

Turut hadir pula seorang Kumaraja yang baru pulang dari pengembaraannya di Swarnabumi, Sang Pangeran Mahkota yang kelak menjadi pewaris kekuasaan Sang Prabu selanjutnya. Dia adalah Pangeran Ragasuci.

'GOOOOOOOONGG.....!'

Para pejabat yang hadir telah bersiap memasang telinga untuk mendengar Sabda Sang Prabu.

"Para abdiku sekalian. Kita semua tahu bahwa Dewata memberikan anugerah kepada kita yang tiada terkira. Anugerah itu adalah bahan mentah yang baru bisa disebut bernilai ketika kita mampu menggunakannya untuk keperluan yang bermanfaat. Layaknya perhiasan emas yang kalian kenakan itu yang merupakan hasil kerasnya penyepuhan dari yang semula hanya bongkahan batu dengan bentuk tak beraturan. Kita harus bisa menyadari bagaimana hadirnya kita dalam dunia mampu memberikan sumbangsih untuk kebaikan alam dan lingkungan kita. Namun setiap Anugerah itu memiliki batasan, misalnya adalah umur. Yang duduk di singgahsana ini adalah raja kalian yang sudah tidak perkasa lagi. Tidak terasa umurku sudah setua ini. Ternyata sudah cukup lama aku menggenggam kuasaku sebagai seorang raja di Galuh Raya ini. Untuk itu aku memanggil putraku ini dari pengembaraannya di Swarnabumi. Dialah Pangeran Mahkota yang kelak akan menggantikanku sebagai Prabu kalian selanjutnya. Pangeran Ragasuci."

Sang Pangeran kemudian berdiri dari duduknya dan memberi hormat kepada semua yang hadir. Para pejabat bertepuk tangan menyambutnya. Kemudian Pangeran Ragasuci duduk kembali dan Sang Prabu melanjutkan sabdanya.

"Sebagaimana yang diamanatkan. Seharusnya putra sulungku yang bernama Rakryan Jayadharma yang menggantikanku duduk di singgahsana ini. Tetapi sayang sekali beliau wafat di usia muda. Sedangkan putranya yang bernama Sanggrama Wijaya yang seharusnya menjadi penerusnya, lebih memilih pindah ke Singhasari di bagian timur jawa. Dan sekarang setelah Singhasari runtuh, dia mendirikan kerajaan baru yang bernama Majapahit yang sudah berdiri dua tahun ini. Dia menjadi raja pertama di sana meneruskan dinasti wangsa Rajasa yang sebelumnya menguasai Singhasari. Untuk itu kekuasaan Raja Galuh selanjutnya diamanatkan kepada putra keduaku, Pangeran Ragasuci. Dia sengaja ku suruh pulang untuk dinobatkan sebagai Pangeran Mahkota. Selain itu, dia juga akan membantu menangani beberapa permasalahan kriminal yang belakangan ini sering terjadi. Sebagaimana kita tahu, Ragasuci sudah banyak berpengalaman dalam pertempuran laut. Dia pernah dipercaya oleh Raja Pamalayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa, untuk memimpin armada lautnya di perairan Aru ketika menghadapi kawanan perompak. Tentunya menangkap kawanan rampok darat akan dirasa lebih mudah baginya. Silakan bagi Patih Adimukti dan Tumenggung Aria untuk melibatkan Pangeran Ragasuci dalam operasi pembersihan pelaku keriminal di tanah Galuh. Bagaimana pun nama baik negara ini bergantung pada tingkat keamanan wilayahnya dari para begal."

***

"Memburu nyawa penjahat adalah tugas para pendekar, sementara tugas tabib adalah memastikan setiap nyawa terselamatkan"

Sigit_Irawancreators' thoughts