Pov : Very Hendrawan
Sudah satu jam aku menunggu Rey di sini bersama Zeze. Bahkan, putri kecilku yang lucu ini sudah terlelap di jok belakang mobil. Malam ini, kuliah istri kontrakku baru memasuki semesteran. Perjanjiannya, dia akan istirahat setelah semester selesai. Aku menyandarkan punggung di kursi, lalu memutar sebuah lagu dari Judika yang berjudul 'Mama Papa Larang', seperti suasana hatiku saat ini. Saat sedang asyik memutar lagu, tiba-tiba ponsel bergetar. Aku mengecilkan volume dan mengangkat telepon dari sebuah nomor tidak dikenal.
"Halo. Maaf, dengan siapa?"
"Papa ...."
Aku mengernyitkan dahi mendengar suara ini. Aku sangat merindukannya, setelah sekian lama begitu sulit menghubunginya.
"Nicole? Sayang, kamu apa kabar, Nak? Kenapa semua nomor Mama tidak bisa dihubungi?"
Bukannya menjawab, dia malah balik bertanya, "Papa sudah punya Mama baru ya, buat Nicole?"
Bagaimana aku menjelaskan semuanya? "Sayang, Mama sama Papa nggak sama-sama lagi. Papa ingin yang terbaik buat kalian berdua. Namanya Bunda Reina. Dia sangat menyayangi adikmu, Zeze."
"Kata Mama, semua ibu tiri itu sama. Enggak ada yang baik!" teriak Nicole marah.
"Dia berbeda, Nak. Kamu tahu dari siapa, kalau kamu sudah punya mama baru?"
"Dari Oma. Katanya mama yang baru, jelek, dekil, dan jahat kayak Nenek Sihir!"
Aku mengembuskan napas berat. Ternyata Mami dalang di balik semua ini. Dari mana Mami tahu nomor mereka? Aku saja kehilangan kontak sudah tiga bulan ini lamanya.
"Jangan percaya sama Oma. Dia cuma bercanda, Nak!"
"Pokoknya, aku nggak mau punya mama baru! Papa harus tetap dengan mamanya Nicole!"
Tut ... tut ... tut ....
Telepon terputus. Aku berusaha menelepon balik nomor itu, tapi tidak bisa dihubungi lagi. Putus asa, aku kembali meletakkan ponsel di atas dasbor mobil. Sekilas, aku menatap Zeze yang terlelap di jok belakang. Sudah berapa kali dia ingin bertemu dengan sang kakak? Kami pernah mendatangi rumahnya, tapi tidak menemukan mereka.
Aku mendongak menatap langit-langit mobil, lalu menoleh keluar jendela saat terlihat beberapa orang keluar dari universitas.
Dari kejauhan, aku melihat Rey berjalan beriringan dengan seorang pria. Dia tampak serius mendengarkan pria itu bicara. Siapa sosok itu sebenarnya? Aku membuka pintu dan turun dari mobil, kemudian berdiri dengan menyandarkan punggung ke mobil. "Rey!" teriakku.
Gadis itu tampak terkejut, tapi dia kembali berusaha bersikap biasa di depan pria itu. Sepertinya aku tidak kalah tampan darinya. Malah wajahku lebih macho, lenganku lebih kekar, perutku juga sudah seperti roti sobek, karena rajin berolahraga. Sedangkan pria itu? Dia hanya masih muda saja, kalau dia seumuran denganku ... belum tentu masih setampan aku.
"Pak, kenalkan ... dia Sony," ucap Rey memperkenalkan teman prianya, setelah sampai di hadapanku.
Aku memperhatikan pria ini dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Siapa ini? Mengapa dia terlihat sangat dekat dengan istriku? Apa Rey lupa dengan perjanjian yang aku tulis saat itu? Selama dia masih sah menjadi istriku, aku tidak mau melihat bahkan mendengarnya dekat dengan pria mana pun. Atau, bisa jadi wanita ini sengaja ingin memanasiku? Ehm, aku harus bersikap bagaimana ini? Cuek, atau pura-pura cemburu? Sialnya, ini bukan pura-pura, hatiku memang bagaikan dihunjam besi panas melihat mereka jalan berduaan.
"Very."
Aku mengulurkan tangan.
'Heyy, tunggu dulu!' Mataku membulat. 'Sony? Aku ingat, Rey pernah salah panggil ketika aku telepon waktu itu. Jangan-jangan ... dia pacarnya? Kalau benar, pria ini orang itu, aku harus menunjukkan kalau Rey telah menjadi milikku. Supaya apa? Supaya pria muda ini tidak berniat mengambil sesuatu yang sudah menjadi milik orang lain. Satu lagi, aku ingin dia juga tahu, kalau pria yang kini berdiri di hadapannya ini adalah suami yang baik dan tidak kalah tampan darinya.'
"Sony, Pak," jawabnya.
Dia membalas uluran tanganku sambil tersenyum.
'Oh, jadi pria ini yang dulu dekat dengan istriku.'
Aku mangut-mangut. Baru saja mulutku mau bicara, dia sudah ngomong lebih dulu.
"Pak, titip wanita manis ini, ya! Tolong jangan sakiti hatinya, dia sangat berarti buat saya. Jika suatu saat Bapak menyia-nyiakan dia, saya pastikan dia tidak akan lagi kembali ke kehidupan Bapak. Saya akan mengambilnya."
Ternyata pria ini cukup gentleman juga. Aku bersyukur, Rey tidak bercerita tentang kawin kontrak kami. "Pasti. Rey akan bahagia bersama saya!" Aku meyakinkannya.
"Son, kamu apa-apaan, sih?" protes Rey.
Dia menatap wajah pria muda itu tajam. Sorot matanya seolah akan marah. Marah atau kecewa? Aku juga tidak terlalu paham.
"Aku cuma titipin kamu sama dia, yang setiap harinya bakal bersamamu, Rey."
Sony menggenggam kedua tangan istriku dan menatap ke dalam bola matanya.
Ish!
Dia pikir ini film India? Sok jadi Salman Khan! Dia lupa? Di sini aku Shah Rukh Khan. Kajol akan mencintai duda keren ini dan berakhir bahagia selamanya!
"Maaf, Rey sudah menjadi istri saya. Bisakah Adik, lebih menjaga perasaan saya di sini sebagai suaminya?" Aku mendekat dan melepas tangan mereka, sedangkan Rey kusembunyikan di balik tubuhku.
"Pak, ayo, pulang. Enggak lucu. Dia cuma teman kuliah saya," bisik Rey dari belakang.
"Maaf, Pak. Saya terlalu terbawa perasaan," Sony kembali berkata.
"Kamu Baper? Ngomong Baper saja! Biar nggak kepanjangan," sahutku tersenyum sinis.
"Pak, ayo pulang!"
Rey menarik tangan secara paksa, lalu menuntunku masuk ke mobil. Dia langsung menutup pintu dan memintaku menjalankan mobil ini. Aku menghidupkan mesin mobil, lalu berjalan perlahan meninggalkan halaman universitas. Sementara pria muda itu terus memandangi mobil ini dari kejauhan.
***
Di perjalanan, aku terus menatap Rey dari kaca di atas dasbor. Dia memeluk Zeze sambil terus membelai lembut kepalanya. Sesekali, Rey mencium kening dan pucuk kepala putri kesayanganku yang terlihat tertidur itu. Pria mana yang tidak tersentuh melihat kasih sayang seorang wanita semuda Rey terhadap anak-anak. Jadi ingat pertama kali aku membawa Zeze ke kantor. Aku yang saat itu sering kesal dengan tingkahnya yang sering telat dan izin untuk salat, jadi terenyuh melihat kelembutannya saat mengajak putriku bicara dan bercanda.
Dhiya yang ibu kandungnya saja sering membentak anak itu, jika dia menangis ingin mengajak bermain. Namun, Rey berbeda. Sejak saat itu, aku mulai memperhatikannya secara diam-diam. Bahkan, mulai tertarik dengan agama yang dianutnya.
"Pak! Berhenti memandangi saya seperti itu!" katanya dengan wajah masam saat menyadari aku sering mencuri pandang.
"Aku bukan lihat kamu, melainkan lihat Zeze yang sedang tertidur. Kamu geer juga, ya?"
"Ish!"
Rei mendengkus kesal. Aku menahan tawa melihatnya.
"Stop, Pak! Stop!" perintahnya sedikit berteriak. "Saya mau ke toko buku itu. Sebentar saja."
Aku menghentikan mobil, kemudian membiarkan Rey keluar seorang diri. Sebenarnya sangat ini menemani, tapi melihat Zeze tertidur seperti ini, aku jadi tidak tega meninggalkannya atau menggendongnya. Takut kalau dia terbangun, sementara ini sudah hampir jam 10 malam. Setelah 20 menit, Rey kembali dengan membawa beberapa buku di tangan. Kami pun memutuskan untuk langsung pulang.
***
Sampai di rumah, kami mengantar Zeze ke kamar beriringan. Zeze terlelap sambil memeluk boneka kesayangannya dengan. Lagi-lagi sikap Rey membuat rasa ini semakin menjadi. Dia membelai lembut kepala putri kecilku setelah berbaring di rajang, lalu mencium keningnya cukup lama.
"Pak, saya tidur di mana?" tanyanya kebingungan.
"Di rumah ini ada banyak kamar. Kamu pilih saja, mau tidur di kamar yang mana? Di lantai atas ada dua kamar, di tengah ada tiga kamar, di bawah ada satu kamar tamu. Tapi di antara semua kamar itu, kamu punya satu pilihan kamar, yaitu kamarku. Karena kamu tahu? Kamar-kamar itu jarang dihuni orang, takutnya sudah dihuni makhluk halus atau setan. Kamu nggak takut?"
Wajah Rey memucat. Sepertinya dia ketakutan. Baguslah, setidaknya aku tidak akan tidur sendirian lagi kalau ada dia. "Ya sudah, saya tidur di sini saja sama Zeze," jawabnya cepat langsung naik ke ranjang.
Aku hanya menghela napas berat mendengar keputusannya. Kalau pilihan Rey tidur bersama Zeze, aku pasrah saja. Aku mematikan lampu kamar sebelum keluar. Namun langkahku terhenti, saat mendengar sesuatu.
"Pak, tolong, Pak!" teriak Rey tertahan, membuatku bingung.
Aku yang tadinya hendak keluar kini kembali mendekatinya.
"Kamu kenapa?" tanyaku sedikit berbisik, takut membangunkan Zeze.
Rey sudah duduk di bawah ranjang memeluk lututnya erat.
"Saya takut gelap, Pak," bisiknya.
"Kamu fobia gelap?" Aku duduk di hadapannya.
"I ... iya, Pak. Tolong, jangan matiin lampunya!"
Aku segera berdiri dan menghidupkan lampu, kemudian kembali mendekati Rey yang masih duduk di bawah ranjang. Wajahnya pucat, dipenuhi keringat. "Kamu sakit?" tanyaku bingung. Karena barusan Rey terlihat baik-baik saja, tapi sekarang ... tubuhnya semakin gemetar. Dia sepertinya menggigil kedinginan.
Aku menggendong tubuh kurusnya ke kamarku. Setelah sampai, kubaringkan Rey di ranjang. Giginya sampai beradu, karena menggigil. Aku menelepon Jeje—asisten rumah tangga—untuk memintanya membawa air hangat untuk mengompres tubuhnya. Beberapa saat kemudian Jeje datang. Dia menyerahkan air hangat dalam baskom. Kemudian aku memintanya kembali ke dapur.
Aku menggulung lengan kemeja sampai siku, lalu naik ke ranjang mendekati istriku. Kuselimuti tubuhnya dengan bedcover berwarna abu-abu, kemudian menuju lemari pakaian untuk mengambil kaus kaki. Aku memakaikan kaus kaki milikku ke kakinya. Rey masih menggigil. Aku beringsut turun dari ranjang dan duduk di sisinya, kuambil handuk yang sudah basah oleh air hangat, lalu mulai mengompres keningnya.
Berkali-kali aku mencoba menelepon dokter pribadi, tapi nadanya selalu sedang sibuk. Karena tidak kunjung diangkat, aku kembali mendekati Rey dan kembali duduk di tempat semula.
"Rey ... kamu demam tinggi," bisikku di telinganya. Namun, sepertinya dia tidak mendengar kata-kataku.
Rey mengigau, ia terus memanggil nama ibunya. Mendengar itu, kuputuskan naik ke ranjang dan berbaring di sisinya. Kuberanikan diri untuk memeluk tubuhnya erat-erat. "Tenanglah , Rey. Ada saya. Kamu tenang, ya ... " bisikku di samping telinganya, lalu membenamkan tubuhnya dalam dekapan untuk menghangatkan.