"Maaf mengganggu," sambung wanita itu tersenyum, membuat keadaan semakin tidak enak.
Aku kok jadi grogi begini, sih? Aku sampai terbatuk beberapa kali, menetralisir perasaan di hati. Bagaimana ini? Mau menghadap ke dinding saja, deh. Ah, bagaimana ini, ya Allah? Seperti ada yang salah dengan detak jantungku.
"Rey, diminum jusnya. Kalau begitu, saya mau mandi dulu. Setelah itu, baru mengantar kamu pulang," pamit Bos Koko, sebelum keluar ruangan.
Aku menjitak kepalaku sendiri beberapa kali. Jadi, terbayang-bayang wajah tampannya sekali lagi. Sadar, Rey, sadar ... pernikahan kalian itu nanti cuma kontrak! Jangan baper, Rey, jangan! Hatiku mengingatkan.
Seolah datang dua kembaranku di sisi kiri dan kanan samping telinga, yang saling berperang argumen. Aku yang bertanduk mengatakan, Jangan sampai melewatkan kesempatan ini,Gadis Bodoh! Rayu Bos Koko sampai kelepek-kelepek. Dia duda kaya! Kamu tidak akan mendapatkan kesempatan kedua. Kemudian aku yang memakai baju putih bersayap mengatakan, Rei, jangan berpikir berlebihan. Ajaklah dia memahami tentang arti Islam yang sesungguhnya. Serahkan semuanya pada Allah. Dia tahu yang terbaik bagi umat-Nya.
Tiba-tiba mereka menghilang. Aku meminum segelas jus apel sampai habis. Entah hanya haus, atau usahaku membasahi tenggorokan karena gugup barusan. Setelah menunggu selama 30 menit, Bos Koko datang. Dia memakai jeans hitam dan kemeja merah bermotif kotak-kotak. Kulitnya yang putih, tampak bercahaya. Kenapa dia terlihat semakin memesona, setelah jadi mualaf?
Oh Tuhan! Aku menelan saliva beberapa kali. Melihatnya duduk di sisiku saja, rasanya terlihat sangat keren sekali.
"Rey," panggilnya sembari menggulung lengan kemeja.
Dia tampak kesusahan. Refleks, aku membantunya hingga membuat pria itu melongo seketika.
"I-iya, Pak?" sahutku sambil terus menggulung lengan kemejanya.
"Jadi pulang?" tanyanya terus menatap
Aku selesai menggulung kedua lengan kemeja itu.
"Enggak, Pak."
Bos Koko makin bengong mendengar jawabanku barusan.
Apa-apaan? Rasanya tidak percaya, aku bisa menjawab hal semacam itu.
"Eh, maksud saya, jadi, Pak."
Melihat kegugupanku, Bos Koko menggeleng sambil tersenyum. "Makasih, ya, sudah dibantu."
Dia menunjuk lengan kemejanya. Aku diam saja. Bos Koko beranjak dan berjalan lebih dulu. Segaris senyum masih menghiasi wajah tampan itu. Sedangkan aku kembali mengekor. Sampai di lantai dua, Bos Koko mengajakku masuk ke sebuah kamar. Pikiranku sudah parno. Jangan-jangan ... Bos Koko mau macam-macam! Derit pintu terdengar, ketika Bos Koko membukanya. Terlihat Zeze terlelap di kamar tersebut. Kamar ini didominasi dengan cat berwarna pink dan boneka berjajar rapi di sebuah rak yang cukup besar. Tanpa ragu, aku melangkah masuk dan duduk di sisi ranjang, lalu mencium kening Zeze beberapa saat. Dari pintu masuk, Bos Koko hanya memperhatikan sembari tersenyum. Aku menarik diri dari ranjang, kemudian kembali melangkah keluar diiringi Bos Koko setelah menutup pintu kamar.
***
Diperjalanan, kami hanya diam. Kulempar pandangan keluar jendela. Aku menggigit kuku untuk menghilangkan perasaan gugup yang tiba-tiba menerpa. Kemarin aku masih biasa saja, tapi kenapa hari ini aku menjadi seperti ini?
"Rey."
Bos Koko menghentikan mobilnya.
"Iya, Pak?"
"Aduh, kamu kan belum cuci tangan. Jangan gigiti kuku seperti itu! Nanti kuman yang ada di tanganmu masuk ke mulut semua," paparnya sembari menyodorkan botol berisi gel pencuci tangan. "Aku selalu bawa ini. Jadi, ketika mau makan di rumah makan,enggak susah-susah lagi mau cuci tangan. Karena itu gel, jadienggak perlu dibilas."
Bos Koko persis seperti iklan-iklan di TV. Aku pun menerima botol itu. Memencetnya beberapa kali, lalu mengusap-usapkannya di semua bagian tangan.
"Makasih, Pak."
"Iya, kamu ...."
"Kenapa, Pak?" tanyaku memotong kalimatnya.
"Belum mau turun?"
Dengan cepat, aku memperhatikan sekeliling. Ternyata aku sudah sampai sejak tadi. Idih! Malu tingkat khatulistiwa ini.
"Oh, iya, sudah sampai. Baiklah, Pak. Saya pamit pulang," pamitku tersenyum samar.
"Iya, Rey."
Lagi-lagi Bos Koko menggelengkan kepalanya dengan tawa menghiasi wajah. Aku masuk rumah, setelah mobil Bos Koko hilang dari pandangan.
"Assalamu'alaikum!" teriakku mengucap salam di depan pintu masuk rumah Tante Siska.
Tidak berapa lama Tante Siska membukakan pintu untukku. Belum sempat aku masuk, Tante Siska sudah menghambur memeluk.
"Rey, makasih banyak, ya," ucapnya tersedu.
Mungkin ini ucapan terima kasih, setelah aku mentransfer uang 250 juta tadi.
"Iya, Tante. Sama-sama," jawabku membalas pelukan.
Aku bersyukur bisa membantunya lepas sementara dari jeratan utang, meskipun mengorbankan perasaanku pada Sony karena harus menikah dengan bos koko yang tidak kucintai. Setidaknya, mulai malam ini dan ke seterusnya, kami bisa hidup sedikit lebih tenang, tanpa dikejar-kejar perasaan was-was. Soal utang dengan bos koko, aku percaya Tuhan pasti akan membantu mencari jalan keluarnya. Yang terpenting saat ini adalah, keselamatan keluarga ini. Alhamdulillah Om Darmo tidak jadi masuk jeruji besi dan nama baik keluarga ini tetap terlindungi.
***
Teman-teman terdiam, ketika mendengar penjelasan bahwa aku akan menikah dalam waktu dekat. Heny, Rehan, dan Teno serempak menatap wajah Sony lekat. Aku tidak berani memandangnya. Sony hanya diam, dia duduk di sudut kelas. Semua orang sudah pulang. Satu per satu, Heny, Teno, dan Rehan mengucap selamat. Sedangkan Sony, dia tidak bergeming, masih membisu dengan mulut terkatup.
"Aku duluan, ya!" pamit Heny.
Dia menepuk pundakku, dilanjutkan oleh Teno dan Rehan. Tinggallah kami berdua di kelas. Aku memberanikan diri mendekati Sony, kemudian duduk dengan sangat hati-hati di hadapannya.
"Sony, kamu nggak ngucapin selamat sama aku?"
Sony menggelengkan kepala beberapa kali dengan senyum sinis. "Aku terlalu bodoh, Rey," lirihnya sambil meremas rambut.
"Kamu nggak bodoh, Son."
"Lalu apa namanya? Seharusnya aku bilang suka sama kamu dari dulu. Aku terlalu takut, kamu akan menjauh setelah tahu perasaan aku. Dan akuenggak mau jauh dari kamu!"
Aku menarik napas beberapa kali, mencari kalimat yang pas untuk kusampaikan. "Son, maaf," ucapku menunduk sambil terisak.
"Kamu enggak salah. Hanya aku yang terlalu pengecut, Rey," gumamnya membelai rambutku. "Aku nggak bisa lihat kamu nangis. Please... jangan nangis, Rey." Sony menghapus air mataku. Dia membingkai wajahku dengan kedua telapak tangannya. "Lihat aku, Rey!"
Aku membuka mata yang basah oleh air mata, menatap wajah manis Sony di hadapan. Diapria 24 jam,yang selalu siap membantuku dalam keadaan apapun. Dia pria 24 jam, yang selalu menghiburku. Aku semakin tidak kuasa membendung air mata, saat melihat wajahnya. Segala rasa bercampur menjadi satu dalam dada. Ruang dalam dada semakin terimpit dan sempit rasanya. Napasku tersengal menahan sesak . Aku semakin terisak, air mata ini semakin tumpah.
"Please, jangan menangis, gadisku," ucapnya memeluk kepalaku. "Berjanjilah, kamu akan bahagia bersama pria itu. Jika suatu saat kamu kehilangan arah, kembalilah ke sisiku. Aku di sini, masih setia menunggumu. Aku masih Sony yang sama, yang selalu mencintaimu."
Tangisku semakin pecah. Kalimat Sony barusan sungguh membuat hati ini tersayat-sayat. Aku bagaikan gadis kejam yang masih mendapatkan limpahan kasih sayang, meskipun sudah menaburi hatinya yang terluka dengan air garam.