Sampai di kampus aku langsung nangis bombai, karena memikirkan nasibku kelak akan menjadi seperti apa. Saat ini, aku dan temanku sedang duduk di bawah patung jamur yang berukuran besar, di dekat Fakultas Fisip. Sedangkan gedung Fakultas Ekonomi—jurusan kuliahku, berada di bawah sana. Kami harus menuruni tangga yang cukup panjang untuk sampai di sana. Berhubung dosen mata kuliah pertama tidak masuk, jadi kami duduk di sini. Aku pusing, bagaimana mau bayar biaya kuliah selanjutnya. Cari kerja juga tidak mudah. Teman karibku ini bernama Heni. Sejak tadi, dia berusaha menenangkan dan menghiburku dengan memberikan beberapa masukan.
"Besok aku temenin deh, melamar ke beberapa perusahaan."
"Aku tamat, Beb. Tamat pokoknya huhuhu." Aku mengelap ingus serta air mata dengan tisu dan terus saja menangis.
"Sabar ... Jodoh, rezeki, dan maut sudah ada yang mengatur. Tenang saja," hibur Heni.
Wanita bermata cantik dan berkumis tipis ini sudah seperti saudara sendiri. Dia sangat baik dan setia kawan. Tidak berapa lama, datanglah tiga teman priaku. Mereka ikut duduk di tangga bersama kami. Sejak memutuskan untuk melanjutka sekolah, otomatis teman pun bertambah. Aku memiliki empat sahabat yang luar biasa baik di Univesitas. Bersama mereka aku bisa gila, sedih, dan melakukan banyak hal bersama. Tentunya, melakukan hal-hal yang positif.
"Dari tadi mukanya ditekuk begitu. Kamu kenapa?" tanya Soni, pria berhidung mancung yang selama ini begitu baik padaku.
"Enggak biasanya nangis begitu. Putus cinta, ya?" lanjut Reihan yang berambut cepak menahan senyum.
"Cowok mah banyak.Enggak usah dipikirin, Rey ..." tambah Teno yang berwajah manis. Dia mengacak pucuk kepalaku.
"Sudah, sudah. Orang lagi sedih kok diajak main-main, sih? Dia mengundurkan diri dari tempatnya bekerja," timpal Heni.
Ketiga teman priaku tampak berpikir sambil mangut-mangut.
"Jadi, itu masalahnya? Eh, nanti aku coba tanya di perusahaan tempatku bekerja deh. Siapa tahu ada lowongan," ucap Soni.
"Di tempatku adanya buka lowongan, tapi sebagai office girl. Aku enggak rela nyuruh kamu kerja begituan," kata Reihan.
"Makasih, ya, Teman-teman. Aku lagi kesel hati dan pikiran," timpalku sembari menghapus air mata.
Heni menyodorkan sebotol air minum ke arahku. "Minum dulu, nih!"
Aku menerima. Membuka tutupnya, lalu meminumnya. Setelah itu, memberikan botol itu pada Soni dan sahabatku ini mengerti maksudku, dia membantuku menutup botol minuman itu.
"Mata kuliah jam kedua, dosennya enggak masuk lagi. Kita pulang saja atau bagaimana?" tanya Reihan.
"Main ke taman saja. Biasa ... ngamen," Teno memberi masukan.
"Kamu mau ikut?" tanya Soni sambil merapikan beberapa helai rambutku yang berantakan.
"Boleh, tapi kita belum salat Isya. Kita salat dulu di musala kampus, ya," pintaku pada mereka.
Mereka saling pandang, lalu mengangguk serempak. Setelahnya kami menuju ke arah musola. Usai salat, kami langsung pergi ke taman. Aku berbocengan dengan Soni, Heni bersama Teno, dan Reihan seorang diri. Sampai di taman, aku dan Heni duduk di kursi yang ada di pinggiran taman ini. Sedangkan yang lainnya berkeliling mengamen. Bukan tentang kekurangan uang, bukan juga tentang meminta belas kasihan. Kami semua bekerja, tapi ini semua dilakukan untuk menyalurkan hobi dan bakat secara gratis. Menghibur orang-orang adalah tujuan utama mengamen ini.
Aku dan Heni memperhatikan mereka dari kejauhan sambil mengobrol banyak hal. Sejenak, aku melupakan masalah di kantor. Kemudian tanpa sengaja, aku dan Heni melihat dua orang anak memikul karung duduk di dekat kami. Mereka memakai pakaian lusuh dengan rambut yang sangat kumal, seperti sebulan tidak dicuci dengan sampo. Tiba-tiba, aku teringat keadaan saat kecil dulu. Nasibku ternyata lebih beruntung dibanding mereka. Kedua orang tuaku tidak membiarkan aku bekerja, meskipun keadaan ekonomi kami sangat memprihatinkan.
Hanya saja, aku sudah biasa menahan lapar. Jika bisa makan dua kali sehari pun sudah sangat alhamdulillah. Hatiku terpanggil untuk mendekati mereka. Aku beranjak dan duduk di sampingnya. Salah satu anak ini adalah laki-laki berumur sekitar 6 tahunan, adiknya perempuan mungkin sekitar 4 tahun. Melihat aku mendekat, Heni melakukan hal yang sama.
"Adik namanya siapa?" tanyaku sambil duduk di dekat mereka.
Terlihat anak perempuan itu ketakutan.
"Al-Aldo Kak," jawab si anak laki-laki yang mungkin kakaknya.
"Rumahnya di mana?" tanyaku sekali lagi.
Mereka diam saja. Bahkan, si anak perempuan menyembunyikan wajahnya di balik tubuh sang kakak.
"Jangan takut, kami enggak bakal nyakitin kalian kok," lanjut Heni.
Hatiku tercubit melihat dua anak ini. Aku galau karena kehilangan pekerjaan, tapi setelah melihat mereka? Rasanya penderitaanku tak ada apa-apanya. Mereka lebih menyedihkan dibanding aku, tapi semangat mereka tidak pernah luntur. Malu rasanya sempat mengeluh dan menangis. Dari kejauhan, terlihat Soni, Teno, dan Reihan berjalan ke arah kami. Mereka duduk bersama kami di sini. Sebelumnya, ketiga teman priaku itu menegur dua anak kecil tersebut dengan ramah. Soni menghamburkan uang recehan dan ribuan dari topinya yang berwarna hitam ke lantai, lalu menghitungnya bersama.
"Berapa totalnya?" tanya Reihan.
"Lima puluh dua ribu rupiah."
Sementara mereka sibuk menghitung uang, aku masih memperhatikan dua anak ini dengan pandangan iba. Apakah mereka bersekolah? Apakah orang tuanya tidak takut terjadi sesuatu pada mereka karena pergi dari rumah malam-malam seperti ini? Ah, begitu banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan pada kedua anak ini.
"Adik, sudah makan belum?" tanya Teno tiba-tiba pada kedua anak ini.
Mereka menggeleng lemah, sambil menatap wajah kami satu per satu.
"Tunggu sebentar."
Teno pun meninggalkan kami. Tidak berapa lama, dia kembali membawa tujuh bungkus nasi di tangan. Kami makan bersama diiringi tawa dan canda, termasuk dua anak ini. Mereka makan dengan sangat lahap. Mungkin, tidak setiap hari mereka bisa makan enak. Soni, Teno, dan Reihan mengeluarkan dompet mereka masing-masing, lalu mengumpulkan lembaran uang berwarna biru untuk disumbangkan kepada kedua anak ini. Heni juga memberikan uang berwarna merah kepada mereka. Kini giliranku, aku membuka ranselku hendak mengambil uang, tapi tiba-tiba Soni menyerahkan uang berwarna merah dan mengatakan itu sumbangan dariku.
"Son, aku ada kok uangnya. Tenang saja," kataku menyodorkan uang kepadanya.
"Kamu bakal lebih butuh nanti, biar aku saja. Mumpung aku lagi ada rezeki," sahutnya tersenyum.
"Serius?" Soni mengangguk. "Ya udah deh. Makasih ya!" ucapku mengulurkan tangan.
"Sama-sama," katanya tanpa menghiraukan uluran tangan dariku. Ia malah sibuk memberikan sejumlah uang kepada dua anak itu. Melihat itu, aku kembali menarik tangan, lalu kembali memperhatikan mereka.
"Oh iya, sekalian hasil ngamen tadi kasih aja ke mereka," usul Teno.
"Oke!" seru Reihan. Ia langsung mewakili kami semua memberikan sejumlah uang untuk anak-anak yang kurang beruntung ini.
"Makasih, Kakak-Kakak," ucap Aldo sambil mencium punggung tangan kami satu persatu.
Setelah itu menerima uang itu. mereka berdua langsung memutuskan untuk pulang. Kami saling berpandangan, lalu sama-sama tersenyum lega melihat kepulangan mereka. anak-anak seperti mereka memang belum pantas mencari uang, mengingat umur mereka yang masih sangat kecil. Bukankah, mereka berdua masih tanggung jawab orang tuanya?
***
Tiga hari sudah aku tidak bekerja. Setiap hari, kerjaku hanya membantu Tante Siska di rumah. Memasak, mencuci, dan menyetrika pakaian. Belum lagi mendengar curhatnya masalah Om Darmo yang suka lirik-lirik perempaun, jadi panjang urusannya. Aku sedang membolak-balik tempe. Setelah salat Zuhur, aku berencana memasukkan beberapa lamaran pekerjaan ke perusahaan-perusahaan swasta yang ada di kota ini. Siapa tahu, rezeki dan bernasib mujur.
"Reina!" pekik Tante Siska tertahan dari depan.
Dia sedikit berlari ia menemuiku di dapur. "Apa, Tante?" tanyaku masih sibuk membolak-balik tempe dalam wajan.
"Artis dari Cina datang itu. Ih,cool banget. Kok, bisa sih dia nyariin kamu?"
Duh, tanteku ganjen banget, sih!Siapa yang dimaksudnya artis dari Cina yang sampai bela-belain nyariin aku ke sini? Tubuhku sedikit condong ke belakang dengan mata menyipit, melihat reaksi tanteku ini. "Di mana orangnya?"
Tante Siska masih senyum-senyum tidak jelas. "Tante suruh menunggu kamu di ruang tamu."
Aku masih memandang tante Siska tidak percaya. Wanita yang masih cantik, meskipun usianya sudah memasuki 40 tahunan itu tampak mengulum senyum sambil menatapku. Masa iya, ada artis dari Cina nyariin aku? Sepopuler apa sih aku, sampai dicariin artis Cina itu? Aku meninggalkan penggorengan dan melangkah ke ruang tamu. Siapa ya? tanyaku dalam hati. Sampai di depan, tubuhku mematung melihat siapa yang datang. Bos Koko datang membawa beraneka macam buah-buahan. Apa, sih, maunya? Atau ... dia mau tagih utang? Wah, gawat ini! Aku kan belum pegang uang? Saat ini aku masih jadi 'Pengacara' alias pengangguran yang sok banyak acara.
"Apa kabar, Rey?" tanya Bos Koko seraya tersenyum dan berdiriri.
Aku mendekat dan duduk di hadapannya. Pria itu mengulurkan tangan, mengajak bersalaman.
"Baik. Ada perlu apa sampai Pak Bos nyariin saya ke sini?" tanyaku sinis.
Bodo amat, aku anggurin tuh tangannya yang ngulur-ngulur tidak jelas. Karena aku tidak membalas uluran tangannya, dia menariknya lagi, lalu kembali duduk.
"Begini, saya mau minta maaf sama kamu. Saya berjanji, nggak akan melakukan hal yang seperti itu lagi. Bahkan, menyentuhmu pun tenggak akan pernah saya lakukan, Rey."
"Maaf tidak diterima. Lebih baik Bapak pulang. Sana, pulang!"
"Rey, saya sudah minta maaf."
"Diminum dulu, Pak Ganteng. Kasihan sudah jauh-jauh ke sini, pasti kehausan." Tiba-tiba Tante Siska datang dan meletakkan dua gelas jus jeruk di meja.
Aku menyuruhnya pulang, tapi Tante Siska malah membawakan minuman. Ah, jadi ada alasan dia berlama-lama di sini! Tante tante, apa-apaan, sih?
"Ya sudah, saya ke belakang dulu, Pak Ganteng. Silakan dilanjutkan ngobrolnya."
Haish! Tante siskaa!
Aku menggelengkan kepala cepat, karena kesal. Bos Koko menundukkan kepala sembari tersenyum. Setelah Tante Siska berlalu, aku menanyakan maksud kedatangannya kesini dan ia menjawab dengan alasan yang tetap sama.
"Rey, kembalilah bekerja. Saya susah mencari penggantimu di kantor. Sebenarnya saya bisa saja melakukan pekerjaan itu sendiri, tapi waktu saya habis karena itu. Sedangkan saya memiliki pekerjaan lain yang lebih penting."
"Pak, Bapak sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal. Bapak tahu, bibir saya ini masih segelan! Hampir saja segelnya hilang, karena Bapak!"
"Hah, benarkah?" Dia malah tersenyum, lalu tertawa.
"Kenapa tertawa?" Aku mendelik.
Kini wajahnya mulai serius. "Hem, hem. Baiklah, saya serius. Kembalilah bekerja. Saya berjanji, nggak akan bersikap seperti itu lagi."
Hening sesaat. Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. tiba-tiba kepikiran ide yang cukup tidak masuk diakal.
"Ada syarat lainnya selain yang itu kalau Bapak mau saya kembali bekerja."
"Apa?"
"Gaji saya ... tolong dinaikkan!"
Hening. Tampak Bos Koko menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk perlahan. Yes! Senangnya dalam hati, walau sempat berhenti. Aku mengulum senyum.
"Baiklah," sahutnya lirih.
Sepertinya dia ikhlas, tapi tidak rela. Halah bodo amat. Hahay, akhirnya kembali bekerja, plus naik gaji pula!
"Baiklah, Pak! Saya besok akan kembali bekerja. Jam tujuh sudah ada di tempat, tapi jangan lupa, naik gaji awal bulan, ya!"