Seisi ruangan terlihat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Wawan dengan komputernya, Karina dengan laporan kas kecilnya dan aku dengan laporan kas besarku. Sementara Bos Koko, nampak sibuk dengan ponselnya. Bos Koko adalah panggilan khusus kami pada bos di ruangan ini. Kenapa kami panggil Bos Koko? Karena ia adalah orang Cina, yang biasa dipanggil Koko oleh orang-orang. Hanya saja, Bos Koko kami sematkan untuk bahan cerita kalau lagi ghibahin dia. Kalau sehari-hari kami memanggilnya dengan sebutan 'bapak' seperti biasa. Mana ada yang berani memanggilnya dengan sebutan Bos Koko, mengingat bos kami adalah bos paling jutek sedunia. Tidak berapa lama terdengar ia bicara dengan seseorang dari teleponnya.
"Iya, Pak?"
Suaranya lembut sekali, sudah seperti bicara dengan pasangannya sendiri.
"Iya, aku baru aja mau ke bank. Nanti laporan kliring hari ini aku kirim lewat email aja, ya."
Aku melirik Karina, tapi ia nampak masih sibuk dengan pekerjaanya. Aku melirik Wawan, ia pun masih sibuk dengan komputernya. Tiba-tiba dering telepon terdengar nyaring memecah keheningan ruangan. Sialnya itu ponselku. Bos yang duduk di hadapanku melotot dengan wajah memerah menatap. Sudah dipastikan, dia akan marah. Segera ia menyudahi teleponnya dan terus menatapku tajam. Dengan tangan gemetar, aku berusaha meraih gawai dalam laci meja. Namun, tidak kunjung kutemukan. Di mana? Dimana? Dimana? batinku sudah seperti bersenandung, menyanyikan lagu Alamat Palsu milik Ayu Ting-Ting.
"Kebiasaan!" serunya masih sambil menatapku semakin menghujam. "Sudah diberi tahu berapa kali, kalau dalam ruangan ponselnya digetarkan saja! Mengganggu konsentrasi orang yang lagi kerja! Kamu lupa perjanjian kerja, saat masuk ke ruangan ini?"
Aku menelan ludah mendengar ocehannya, apalagi saat melihat bos yang sedang marah-marah dengan mata melotot dan memerah. Terbata-bata, aku menjawab, "Eh, maaf, Pak. Sa-saya lupa."
"Kamu tahu nggak sih? Orang yang pasang dering teleponnya nyaring, ketahuan banget kalau orang itu kampungan!"
Aku melirik ke arah Wawan dan Karina. Kedua temanku itu terkikik di ujung ruangan. Melihat itu aku memutar bola mata, malas. Bisa-bisanya hari ini aku menjadi bahan ejekan mereka. Hah! Awas saja, kalau mereka kena semprot, dan kesusahan kupastikan gantian aku yang akan menertawakan. Bos melangkah keluar ruangan. Sebelum menutup pintu, dia melirikku sekilas. Ih, dasar Bos Killer Sepanjang Masa! Kapan Bos Killer itu bisa bersikap lembut pada bawahannya? Setelah pintu tertutup dan suara langkah tidak terdengar lagi, tawa Wawan dan Karina memenuhi ruangan. Aku pun mendekati meja Wawan, kemudian mencubit pinggangnya.
"Senang banget, bahagia di atas penderitaan orang lain! Tuman, ya!"
Pria itu meringis, menahan sakit. "Ampun, Mbak. Ampun!"
"Mbak, suara ponselnya digetarkan saja. Biar enggak dikatain kampungan," ledek Karina sambil mengulum senyum.
Ish!
Aku melirik sinis ke arahnya. Mau mencubit, tapi kasihan. Akhirnya aku hanya mendengkus kesal, lalu melangkah keluar. Aku menuju dapur yang terletak di lantai dasar. Sampai di sana, Mbak Vita sedang mencuci piring. Aku pun mengempaskan bokong di kursi kayu yang berukuran panjang. Biasanya, sales dan sopir akan duduk di sini sebelum pergi. Ya, mereka akan ngopi sambil memeriksa nota ataupun surat jalan. Setelahnya, baru berangkat ke toko tujuan.
"Kenapa mukanya ditekuk begitu?"
"Sebel, Mbak."
"Lah, kenapa?"
Akhirnya aku mengadukan kekesalanku pada Mbak Vita yang merupakan seorang office girl di kantor ini. Dia sahabat dekatku, selain Karina dan Wawan. Setiap pagi, Mbak Vita akan membuatkan semua karyawan kopi. Termasuk kami, yang ruangannya ada di lantai atas.
Oh iya, namaku Reyna. Gadis sederhana berusia 20 tahun, yang bekerja di salah satu perusahaan swasta. Tinggiku 165 cm dengan berat badan 45 kg. Kurus? Tentu saja tidak! Aku langsing, hehehe. Ada yang bilang aku ini hitam manis, tapi aku lebih suka dipanggil manis, coret hitamnya. Rambut lurus sebahu dan berlesung pipi.
Aku memiliki bos bernama Very Hendrawan. Dia asli Cina. Semua orang biasa memanggilnya dengan sebutan Koko. Jutek, ketus, suka ngambek: semua sifat jelek ada padanya. Meskipun begitu, dia cukup tampan. Kulitnya putih dan bersih, bak mandi susu setiap hari. Pakaian pun selalu licin dan wangi. Hidungnya mancung, dengan mata yang sipit, khas orang Cina. Dia duda beranak dua. Herannya, setiap hari, ada saja alasannya untuk memakiku. Orangnya sangat disiplin dan tepat waktu. Jika biasanya hari Minggu semua orang libur, aku selalu disuruh lembur. Demi rupiah untuk biaya kuliah, aku pun rela. Biarlah sekarang menderita, asalkan nanti berakhir bahagia.
Aih! Kok, ngomongnya jadi ngaco begini, sih? Maaf! Kembali ke dapur.
"Oh, jadi Pak Koko habis marahin kamu?" tanya Mbak Vita yang berbadan mungil ini kepadaku. Dia masih tampak sibuk mencuci piring.
"Iya, Mbak. Aku sebel banget! Rasanya, pengin berhenti bekerja dan cari pekerjaan yang baru saja."
"Cari kerja itu susah. Nanti, biaya kuliah bagaimana?" Mbak Vita mulai sibuk menyusun piring di rak.
"Itulah yang aku pikirkan, Mbak. Aku pusing sepuluh keliling."
Tiba-tiba, suara sepatu yang bersentuhan dengan lantai menggema mendekati dapur. Aku dan Mbak Vita saling tatap, seolah saling bertanya itu siapa. Setelah cukup dekat, aku memutuskan untuk bersembunyi saja, sayangnya aku bingung harus ngumpet di mana. Duh, bagaimana jika itu Pak Very? Tapi bukankah dia sudah pergi tadi? Untungnya otakku berpikir cepat. Serasa ada bola lampu yang menyala di atas kepala. Dengan cepat aku mengambil gelas, lalu mengisi dengan gula dan teh celup, setelahnya kutuang air keran, lalu pura-pura mengaduknya.
"Reina!" panggilnya, saat sampai di bibir pintu. Kebetulan pintu dapur terbuka sempurna, "kamu ngapain di sini? Kamu dibayar untuk kerja, bukan bergosip di belakang!"
"Pak, saya turun untuk membuatkan segelas teh untuk Bapak. Ini buktinya," kataku sambil menunjukkan gelas di meja yang tadi aku isi dengan gula, teh, dan air keran secara asal-asalan.
"Oh, begitu, ya." Wajahnya berubah bersahabat. "Ya sudah, sini, biar saya bawa sendiri ke atas!"
Saat itu juga mataku membulat, melihat dia yang berjalan semakin mendekat. Oh, my God ... ini bencana! "Biar saya saja, Pak!" kataku cepat, menepis tangannya yang hendak meraih gelas yang sudah di tangan.
"Saya saja!" katanya yang berhasil meraih gagang gelas dari tanganku.
Hatiku mencelus. Ya ampun, airnya itu tidak panas sama sekali. Bagaimana kalau ketahuan? Mati aku! Aku pun mencubit tangan sendiri dengan kesal. Akhirnya, aku hanya bisa pasrah mengikuti langkah kakinya dari belakang. Sampai di ruangan, aku tidak konsentrasi bekerja. Sesekali, aku melirik ke meja bos sambil berdoa semoga dia tidak meminumnya, karena akan ketahuan. Eh, tapi mengapa dia tidak curiga, ya? Bukankah gelas itu tidak panas?
Detik, menit, dan jam pun berlalu. Dia masih fokus dengan layar monitor di hadapannya. Aku mulai lega, karena melihatnya tidak kunjung meraih gelas itu. Namun, tiba-tiba tangannya terulur hendak mengambil gelas teh di meja kerjanya. Aku memejamkan mata ketakutan saat gelas berhasil ia raih, dan bibirnya nyaris menyentuh ujung gelas itu. Tamat! Tamat! Tamat! benar-benar tamat riwayatku. Detik berikutnya, benar saja. Seketika suaranya menggelegar memenuhi ruangan.
"Reinataaa!"
Tuh, kan!!
"Kamu saya hukum, tidak mendapatkan uang makan selama satu minggu!"
Aku tertunduk lesu sambil berdiri di hadapannya. Kedua temanku sudah keluar ruangan untuk makan siang. Sedangkan aku masih berdiri di sini mendengarkan ceramahnya. Ya, aku memang salah dan pantas mendapatkan hukuman.
"Kamu juga enggak boleh makan siang! Berani sekali mengerjai saya seperti itu. Sana, kembali kerja!"
"Pak, saya nggak bermaksud mengerjai Bapak, tapi tadi keadaan yang memaksa saya untuk melakukan itu. Saya kepepet, Pak."
"Halah! Jangan cari-cari alasan. Sana kembali kerja!"
Akhirnya Aku terdiam dan menurut, kemudian melangkah lesu ke arah meja kerja. Aku duduk dengan wajah menunduk. Perlahan kembali meraih mouse di meja. Masih terdengar Bos Koko menggerutu sendirian, sepertinya ia sangat kesal. Beberapa saat kemudian, terdengar si Bos Killer menelepon seseorang. "Halo. Antarkan dua bungkus nasi ke PT. Prima Jaya, ya. Sekarang!" katanya, lalu memutus sambungan.
Setelah 30 menit, terdengar suara orang mengetuk pintu. Pak Riza yang menunggui pos satpam datang, dia menyerahkan dua kantong plastik berwarna hitam. Saat itu, kulihat Pak Veri melangkah ke arahku, setelah menerima kantong yang mungkin berisi makanan. Dia pun memberikan satu kantong kepadaku.
"Turun dulu ke dapur sana! Makan dulu. Kalau kamu sakit, perusahaan juga yang rugi. Bisa-bisa kamu makan gaji buta, karena enggak masuk kerja atau malah claim pengobatan secara berlebihan yang bisa bikin rugi perusahaan!" ketusnya.
Ish!
Aku menatapnya dengan tatapan datar tanpa ekspresi. Rasanya, ingin sekali aku meremas mulutnya yang selalu mengomel sepanjang hari tanpa kenal waktu. Pagi ngomel, siang ngomel, sore pas kami mau pulang pun sering ngomel. Dia pikir, hatiku sekuat baja apa? Aku juga bisa merasakan sakit hati dan kecewa. Aku beranjak dan mengambil kantong yang diangsurkan olehnya dengan cepat, setelahnya langsung menuju dapur karena malas terus-terusan melihat wajah juteknya di ruangan itu. Sampai di dapur aku melempar bungkusan nasi ke meja, kesal. Saat Mbak Vita bertanya, kuceritakan semuanya dengan semangat empat lima dan kekesalan yang memuncak. Kalau tidak lapar, mungkin nasi pemberian darinya sudah kubuang ke kotak sampah, tapi karena lapar, tidak jadi sajalah, lagian mubazir kalau buang-buang makanan dan pada akhirnya nasi itu kumakan bersama Mbak Vita sampai habis tak bersisa sembari bercerita panjang lebar.