"Kalian mau ke mana?" tanya Rona ketika melihat Yafizan dan Tamara hendak pergi.
"Kami akan makan siang di luar, Ron. Apa kau mau ikut bersama kami?" jawab dan ajak Yafizan pada Rona.
Rona melirik ke arah Tamara yang tangannya sudah bergelayut manja pada tangan Yafizan.
"Pergilah." Rona memutar bola matanya jengah, tak mengindahkan ajakan Yafizan. Ia malah menyandarkan tubuhnya di sofa lalu memfokuskan pandangannya pada layar tablet di tangannya.
Setelah tiba-tiba menghilang, ia harus membereskan masalah pekerjaan dan perusahaannya satu persatu. Janji-janji penting yang sebelumnya sudah ia jadwalkan sudah dibereskannya dengan rapi dan beruntung tak ada satupun klien yang merasa kecewa akan kompensasi dan alasan yang Rona jelaskan kepada mereka.
Yafizan dan Tamara sudah pergi dari apartement. Rona melirik ke arah pintu memastikan mereka sudah benar-bener pergi.
"Hallo..." Rona menghubungi seseorang.
***
Panas terik matahari yang sudah berada tepat di atas langit cerah siang ini membuat Soully terus mengerutkan dahinya akan silaunya cahaya matahari yang menembus pandangannya, rasanya sungguh pedih ketika cahaya itu menyentuh retina matanya yang terasa begitu sensitif. Rasa pening cukup menyiksa tatkala cahaya panas matahari menembus ubun-ubun kepalanya.
Soully berkali-kali mengusap pelipisnya ketika peluh merembes dari keningnya. Perutnya terus bergemuruh pertanda minta diisi asupan gizi. Soully teringat belum ada sesuap makanan apapun yang masuk ke dalam perutnya sejak ia bangun tadi.
Mobil sport biru elektrik berhenti tepat di depan halte bus di mana Soully masih berada di sana. Seseorang membuka kaca jendela mobilnya, memastikan jika yang dilihatnya itu adalah perempuan yang ia rawat selama tiga tahun lalu. Tanpa ragu ia membuka pintu mobilnya lalu segera keluar dan menghamburkan diri ke arah Soully.
Soully yang awalnya mengernyitkan dahinya merasa ragu akan mobil yang dia lihat sesuai dugaannya. Ia melihat sosok yang keluar dari dalam mobil. Kemudian melihat orang itu berlari, menghamburkan tubuhnya lalu memeluknya erat.
"Kak Erick..." Soully membalas pelukan Erick. Ia menangis sejadinya.
.
.
.
Setelah dirasa cukup tenang, Soully menghembuskan nafasnya perlahan lalu berusaha tersenyum dan mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Erick mengelus rambut kepala Soully dengan sayang lalu membalas senyuman kecut itu.
"Apa kau lapar? Mari kita makan siang bersama, rasanya cacing-cacing di perutku ini sudah menagih nutrisinya," ucap Erick lalu melajukan kemudinya tanpa mendengar persetujuan dari Soully.
Erick masih belum berani bertanya pada Soully. Ia akan mendengarkan apa yang Soully katakan nanti, hanya jika Soully bercerita padanya.
***
"Hallo, Tuan Erick, saya Rona. Saat ini, aku takkan berbicara banyak. Namun untuk saat ini, tolong lindungi Soully. Dia meninggalkan apartement, tadi aku meninggalkannya di halte bus karena dia tak ingin menerima bantuan dariku. Semoga saja jika kau beruntung, Soully masih berada di sana. Mungkin kau yang lebih tahu bagaimana dirinya. Hanya kau yang bisa aku percaya dan mintai bantuan saat ini, tolong jaga dia."
Tadi, Erick langsung bergegas pergi ketika Rona menghubunginya. Tanpa dipedulikan lagi rasa lelahnya padahal ia baru selesai melakukan operasi besar pada pasiennya. Ia berlari dan segera mengemudikan mobilnya dengan kecepatan penuh.
***
Erick dan Soully sudah duduk di sebuah Restoran Korea yang cukup terkenal dan ramai pengunjung siang hari ini. Sambil menunggu pesanan makanan mereka tiba, obrolan kecil mereka selipkan disela-sela kecanggungan yang terjadi pada mereka.
Pasalnya, sudah cukup lama mereka tidak bertemu. Erick memang sudah bertekad untuk tidak ikut campur dan memasuki kehidupan Soully lagi. Namun, ketika Rona menghubungi dirinya untuk menjaga Soully, kemelut dalam hati yang tadinya untuk tidak memasuki hidup Soully kalah tekad dengan rasa rindu yang membuncah dalam hatinya. Bagaimanapun, waktu tiga tahun yang ia habiskan dan ia curahkan segala halnya untuk merawat Soully hingga sembuh, bukan hal yang mudah untuknya melupakan semua yang terjadi. Rasa sayang yang ia pupuk selama tiga tahun itu semakin tumbuh dan mengakar dengan kuat.
Seorang pelayan datang dengan membawa pesanan makanannya. Aroma harum citra masakan membuat suasana canggung dari keduanya berakhir dengan semangat untuk segera mencicipi makanannya. Rasa lapar mengalahkan ego dua insan yang sedari tadi mempertahankan image-nya. Benteng es di antara mereka mulai mencair. Soully pun tanpa ragu dan sungkan memakan makanannya dengan lahap, tak mempedulikan lagi rasa tak enak hati kepada pria yang ada di hadapannya. Mereka saling berebut dan meributkan soal jatah makanannya. Canda tawa serta obrolan terselip di setiap santapan makanannya.
"Apa mau tambah?" tawar Erick ketika semua makanan yang ada di meja sudah tandas, habis tak bersisa.
"Apa boleh?" bisik Soully yang kemudian dibalas gelak tawa mereka berdua.
Erick tak melepaskan tatapannya kepada Soully. Setidaknya senyuman itu lebih baik daripada tangisannya pada waktu menjemputnya di halte bus tadi.
"Kalau begitu, pilihlah." Erick menggerakkan dagunya. Menunjukkan catalog menu yang ada di atas meja.
"Serius?" Erick mengganggukan kepalanya. "Aku mau ini, dan ini," tunjuk Soully langsung pada gambar yang ada pada menu.
"Cake coklat dan es krim?" Erick mengernyitkan dahinya.
"Ya, sedari tadi sesungguhnya aku ingin memesan ini." Soully memasang ekspresi memelas, membuat dirinya sangat menggemaskan.
"Kenapa kau tak bilang tadi?" Erick melambaikan tangannya memanggil pelayan lalu menunjukkan pesanan tambahannya. Sementara, pelayan itu pun membereskan piring-piring kosongnya yang berada di atas meja.
"Aku sudah memesan terlalu banyak tadi. Aku takut makanannya tak habis..." Soully menyeringai malu.
"Faktanya, kau menghabiskan semua makanannya," tukas Erick cepat membuat wajah Soully semakin merona. Erick tersenyum melihat tingkahnya.
Tak lama pelayan pun datang sambil membawa pesanan Soully. Cake coklat dan es krim favoritnya telah tiba. Entah kenapa Soully menginginkan keduanya. Melihat dessert-dessert itu melupakan masalahnya sejenak, segera ia menyendokkan sesuap demi sesuap cake coklat itu ke dalam mulutnya. Matanya berbinar senang.
.
.
.
"Kalian? Kebetulan sekali, kita bertemu di sini," sahut seseorang menghentikan Soully menyantap cake coklatnya. Dia melirik ke arah suara yang menyapa mereka. Tamara dan sosok yang ada di sampingnya membuat mata Soully yang berbinar berubah menjadi sendu.
"Boleh kami bergabung di sini?" tanya Tamara. Entah ia sengaja ataukah kebetulan karena memang semua meja sudah terisi siang ini oleh pengunjung untuk makan siang.
"Kita ke tempat lain saja, Tamara. Kau tidak lihat di sini penuh?" hardik Yafizan mengajak Tamara untuk segera pergi.
"Baby...aku tak mau ke tempat lain. Kau kan tahu di sini restoran favoritku. Makanan Korea di sini sangat lezat," manja Tamara, sengaja memanasi Soully.
"Duduklah. Sebentar lagi kami akan pergi," ucap Erick.
Soully melebarkan bola matanya menatap Erick seolah berkata, apa-apaan ini? Dan Erick menjawab dengan mengedipkan kedua matanya seolah berkata, tenanglah.
Situasi saat ini membuat raut wajah Soully berubah. Erick kini tahu, mengapa Soully pergi dari apartementnya. Namun, ia memang merasa ada yang aneh. Yafizan seharusnya marah karena ia membenci Erick yang sedang bersama istrinya. Tapi saat ini, Yafizan seperti tidak mengenali istrinya sendiri bahkan kepada dirinya. Dan, Tamara? Situasi apalagi ini, karena perempuan itu bergelayut manja bahkan Yafizan sendiri tidak merasa risih. Semua pertanyaan berkecamuk dalam fikiran Erick saat ini.
"Kalian bisa duduk di kursi kosong itu. Kami akan pergi setelah menghabiskan dessert-nya." Soully menyahuti untuk mempersilahkan Tamara dan Yafizan duduk di sebelah tempat duduknya tanpa melihat ke arah mereka.
Dengan canggung Yafizan duduk satu meja dengan mereka. Perasaannya campur aduk ketika melihat Soully tepat berada dalam pandangannya walaupun ia duduk di samping Erick. Soully begitu cantik di mata Yafizan. Rasanya ia merindukan perempuan yang telah di usirnya tadi pagi.
Perasaan apa ini?
"Apa enak?" Erick sudah tak mempedulikan orang-orang yang berada di sekitarnya.
"Hm, ini enak sekali. Apa Kakak mau?" kenikmatan cake coklat yang lumer di dalam mulutnya membuat Soully melupakan orang-orang yang berada di sekitarnya juga.
"Pelan-pelan, kau ini seperti anak kecil saja." Erick membersihkan es krim yang ada di bibir Soully dengan tangannya.
Tindakan Erick membuat Yafizan tersulut emosi. Ia begitu kesal ketika melihat adegan mesra yang kini disaksikannya.
"Baby, makanlah." Tamara membuyarkan Yafizan yang sedang tersulut emosi dalam hatinya. "Buka mulutmu." Tamara sudah menyodorkan sesendok makanan ke depan mulutnya supaya Yafizan menyantapnya. Tatapan Yafizan masih tak beralih pada sosok mungil yang sedang menikmati dessert-nya.
Merasa risih karena dipandangi seperti itu, Soully mempersilahkan Yafizan untuk menyantap makanannya. Dengan terpaksa Yafizan menerima suapan dari Tamara.
"Aku bisa memakan makananku sendiri," ketus Yafizan saat Tamara hendak menyuapinya lagi. Tamara memasang wajah kecut sekaligus kesal.
Tanpa suara Tamara dan Yafizan menyantap makanannya. Hanya suara dentingan peralatan makanannya yang menghiasi makan siang mereka.
Tidak dengan Soully dan Erick, mereka masih menyelipkan canda tawa dan obrolan. Membuat hati Yafizan semakin memanas.
"Apa sudah menjadi kebiasaan, jika makan, kalian selalu berisik seperti itu?" ucap Yafizan datar dan pelan sambil menikmati makanannya. Namun terdengar jelas di telinga Soully dan Erick.
Erick menyeringai. "Ya, kami selalu seperti ini. Rasanya kurang seru jika kami tidak bicara ataupun saling terdiam."
Yafizan mengepalkan pisau dan garpu di tangannya. Jawaban Erick terdengar menyebalkan baginya.
"Kak Erick, aku sudah selesai." Soully sudah menandaskan cake coklat dan es krimnya.
"Apa mau tambah lagi?" Erick menawarkan dan hanya dijawab Soully dengan gelengan kepala.
Erick kemudian beranjak dari tempat duduknya. Ia menghampiri Soully yang sudah berdiri dan ingin segera keluar. Erick memakaikan jasnya ke tubuh Soully, seakan melindungi tubuh mungil yang sok kuat itu.
Tanpa bicara mereka menganggukkan kepalanya kepada Yafizan dan Tamara untuk berpamitan.
Erick membimbing Soully untuk berjalan. Membuat Yafizan tak melepaskan pandangannya ke arah mereka. Rasa amarah juga cemburu tiba-tiba merayapi dirinya ketika melihat Erick merangkulkan tangannya itu pada tubuh Soully. Seketika ia menghempaskan garpu dan pisau di tangannya.
***
Bersambung...
Jangan lupa Like, Comment, Ratting dan Vote'nya juga ya Readers...