webnovel

Bab 13 - Mencurigakan

Michelle, Eduardo, dan Emma duduk berkumpul di sofa keluarga untuk membahas tanggal pernikahan mereka.

"Bu ...," Michelle menunduk sembari meremas-remas jemarinya, gugup. "Maaf sebelumnya, tapi ... sepertinya saya tidak bisa menikah dengan anak Ibu."

Emma terkejut. "Kenapa?! Memangnya apa yang telah terjadi?! Apa alasannya!?" serunya. "Kenapa kamu tiba-tiba bilang begitu, Sayang?"

Eduardo menatap Michelle tajam.

[Kenapa gadis itu mendadak membatalkan hanya karena kemarin?] batin Eduardo geram.

"Saya minta maaf, Bu. Tapi saya benar-benar tidak bisa."

Mata Emma berkaca-kaca. "Kenapa ...," lirih Emma. "Apa kamu tidak peduli dengan Ibu?" tanyanya sedih.

"Bu-bukan begitu, Bu!" ralat Michelle panik. "Maksudnya ... kita masih bisa menjadi seperti anak dan Ibu, tanpa saya harus menikah dengan Eduardo, kan?"

Emma menangis terisak-isak. "Mama kecewa sekali padamu! Kamu sama saja dengan Eduardo! Tidak pernah peduli dengan Mama!"

Emma berlari meninggalkan mereka.

"Ibu! Tunggu!" Michelle berusaha mengejar Emma. Namun, Emma langsung menutup pintu kamarnya.

Michelle menghela napas panjang. Ia menunduk dalam.

[Kenapa semuanya jadi seperti ini?] batin Michelle sedih.

Eduardo menyusul mereka lalu berdiri di belakang Michelle. "Kenapa kamu mendadak membatalkan pernikahan kita? Apa karena gara-gara kemarin?"

Michelle tersentak, namun dia enggan berbalik menghadap Eduardo. "Gue nggak mau menikah dengan lelaki yang nggak pernah gue cintai."

"Kamu pikir saya mau menikah denganmu!?" ketus Eduardo.

"Gue nggak peduli dengan lo! Yang penting gue nggak harus hidup selamanya bareng sama orang asing!" balas Michelle tajam.

Eduardo menggeram. "Jadi kamu—"

"Dan satu lagi!" sela Michelle. "Gue mau lo ngebahagiakan Sara. Apa lo sudah lupa dengan misi kita kemarin?"

"Tetapi kamu lihat sekarang, kan?! Mama nangis gara-gara kamu!" bentak Eduardo.

Michelle lantas berbalik, menunjuk kasar wajah Eduardo. "Ini semua salah lo! Kalau lo nggak bucin sama Sara, Mama lo nggak mungkin jadi kayak ini!"

"Jadi kamu mau menyalahkan saya, begitu?!" balas Eduardo tak terima.

"Memang benar, kan?! Ini semua gara-gara lo yang terlewat 'BUCIN'. Seharusnya lo bersyukur punya orang tua yang sayang sama lo. Nggak kayak gue! Nggak pernah sekali pun gue dianggap berarti di keluarga gue sendiri!"

Eduardo terdiam seribu bahasa dengan matanya melebar.

"Lo nggak pernah tahu gimana sakitnya nggak dianggap apa-apa di keluarga lo sendiri!" bentak Michelle. Air mata Michelle menetes begitu saja.

"Jadi gue mohon sama lo, sayangi Mama lo lebih dari siapa pun di dunia ini. Karena Mama lo yang sudah ngelahirin lo dan membesarkan lo!" bentak Michelle.

"Makanya saya mau menikah dengan kamu! Tetapi kamu malah membatalkannya dan menyakiti hati Mama saya!" bentak Eduardo.

"Tapi itu bukan tugas gue!" sergah Michelle. "Itu tugas lo sebagai anaknya!"

Eduardo terdiam, tak bisa mengatakan apa pun.

"Jadi gue mohon, bahagiakan Mama lo dengan cara lo sendiri. Gue permisi dulu."

Eduardo langsung mencekal tangan Michelle. "Tapi hanya dengan saya menikah denganmu yang bisa membuat Mama bahagia!" balas Eduardo. "Sekarang, saya memintamu, tolong jangan batalkan pernikahan ini! Bukannya kamu menyayangi Mama saya seperti mama kandung kamu sendiri, kan? Jadi kamu juga mempunyai tugas yang sama dengan saya!"

Michelle terdiam seribu bahasa. Perkataan Eduardo bagaikan bom yang meledak dalam dirinya.

"Bagaimana? Kamu mau, kan?" tanya Eduardo.

Michelle menghela napas kasar. Dia tidak mempunyai pilihan lain. "Baik! Saya akan menikah denganmu! Tapi hanya untuk Mama!"

"Saya juga tahu itu! Dan kamu jangan pernah melarang saya untuk dekat dengan siapa pun saat kita telah menikah nanti!"

"Oke! Gue sangat setuju!" Michelle mengulurkan tangannya. "Ini sebagai tanda kerja sama kita!"

Eduardo menjabat tangan Michelle. "Deal!"

★★★

Emma menyantapmakanannya sambil tersenyum sumringah. "Bagaimana dengan tanggal pernikahan kalian? Apa sudah kalian tentukan?"

Michelle mengangguk. "Sudah, Ma."

"Tanggal berapa?" tanya Emma antusias.

"Tanggal 15 aja, Ma." jawab Eduardo tersenyum manis.

Emma tersenyum lebar. "Bahagia sekali Mama mendengarnya, loh!"

"Iya, aku juga, Ma." Eduardo tersenyum.

Jantung Michelle berdebar tak karuan. Namun dia menyadari, ini adalah bagian dari skenarionya.

[Sepertinya tadi Mama tidak mendengar pembicaraanku dan Michelle saat di depan pintu tadi,] batin Eduardo lega.

"Kalian sudah pilih gaun dan jasnya, kan?" tanya Emma tanpa memudarkan senyum di wajahnya.

"Sudah, Ma," jawab Michelle dan Eduardo barengan.

"Untuk gedung dan lainnya Mama yang akan mengurusnya. Kalian tinggal terima jadi saja," terang Emma antusias.

"Iya, Ma." Eduardo tersenyum. Belum pernah dia melihat mamanya sebahagia saat ini.

***

Eduardo dan Michelle duduk di sofa sambil menonton TV. Hanya mereka berdua. Emma sedang pergi ke rumah temannya yang memiliki usaha "Wedding Organizer" untuk mengurus pernikahan mereka. Meskipun, sudah menjelang malam, Emma begitu antusias melakukannya.

"Bagaimana nanti dengan Sara, Bos?" tanya Michelle tanpa beralih dari Tv, memecah keheningan di antara mereka. Gadis itu duduk selonjoran karpet dekat kaki Eduardo, yang duduk di sofa, sambil memakan kacang.

"Saya tidak tahu." Eduardo mengganti chanel TV menggunakan remote, bersikap pura-pura tak peduli. Padahal, itu juga yang menjadi beban pikirannya saat ini.

Michelle menunduk dalam. "Gue nggak mau buat dia kecewa. Tapi ...," dia menghela napas berat. Dadanya sesak akibat penyesalan yang selalu menghantuinya. "malah gue yang mengecewakannya, padahal gue sahabatnya."

Eduardo diam-diam melirik Michelle. Pasti gadis itu dalam delima berat. Antara memilih keegoisan mamanya sendiri atau menjaga perasaan sahabatnya, Sara.

Eduardo mulai sedikit merasa iba pada Michelle. Akibat desakan Emma, mereka terjebak dalam posisi yang tidak mengenakkan.

Terlintas ide di benak Michelle. "Oh ya! Bagaimana kalau kita nikahnya untuk sementara aja? Setuju, gak? Nanti kalau udah sampai batas waktunya, kita bikin skenario perselingkuhan yang bikin kita cerai."

Eduardo terdiam, ia mulai tertarik. "Baik, saya setuju."

"Yeesss!" seru Michelle riang. "Btw, Mama lo kira-kira lama nggak pulangnya? Gue mau pulang, takut kemalaman."

"Biar saya antarkan kamu pulang." Eduardo bangkit berdiri.

"JANGAN!" Michelle refleks mencekal tangan Eduardo. "Gue bisa pulang sendiri, kok!" Michelle bergegas bangkit berdiri dan menyambar tasnya di sofa.

"Tidak. Kali ini saya harus mengantarkanmu pulang. Saya harus meminta restu dari kedua orang tuamu," tegas Eduardo.

Pipi Michelle seketika memerah. "Jangan!"

Eduardo menatap Michelle curiga. "Kenapa?"

Michelle berusaha memilih kata yang tepat. "Emak dan Bapak gue jam segini udah pada tidur, Bos! Jadi besok-besok aja ketemunya! Gue pamit dulu. Dah!"

Eduardo langsung mencekal tangan Michelle. "Ini perintah!"

Badan Michelle seketika menegang.

"Apa kamu tahu? Sikapmu itu mencurigakan?" sindir Eduardo tajam.

[Harus ngomong apa nih gue?!]

Michelle memberanikan diri untuk menatap mata Eduardo. Ia tersenyum kikuk. "Mencurigakan apanya maksud Bos?"

"Jangan pura-pura tidak tahu!"

Michelle berusaha menarik kembali tangannya. "Udahlah, Bos. Gue mau pulang, gue ngantuk."

Eduardo makin mencengkeram tangan Michel kuat. "Kalau kamu tidak menjawab pertanyaan saya, saya masukkan kamu ke sumur!"

Michelle berkacak pinggang. "Jeburin aja! Gue nggak takut, kok!"

"Kamu yakin?" Eduardo memasang wajah tak main-main.

Jantung Michelle berdebar cepat. Aura Eduardo begitu mengerikan. Dari tatapan elangnya, sepertinya cowok itu seperti tidak main-main dengan ucapannya.

[Si Pak Lampir ini nggak benaran masukin gue ke dalam sumur!?] batin Michelle bergidik ngeri.

"Udahlah, Bos. Gue nggak mau ribut sama Bos."

"Kamu pikir, saya senang ribut denganmu!?" balas Eduardo. "Memangnya salah, kalau saya ingin meminta restu dari orang tuamu!?"

Michelle tak bisa menjawab.

"Ayo kita pergi ke rumahmu!" Eduardo menarik tangan Michelle secara paksa.

"Tapi, Pak—"