"Di-di mana ini...?"
Setelah merasa tenggelam sesaat usai terbanjur muntahan dari sosok hantu perempuan di pohon pinus. Ketika Bima mulai dapat mengambil napas kembali, dia membuka mata dan melihat dirinya telah berada di bawah langit malam.
Bima terbaring tidak dapat menggerakkan seluruh tubuhnya. Menoleh hingga menekukkan jari jemari sama sekali pun tidak dapat dilakukannya.
Entah bagaimana, namun Bima merasa kalau dirinya tidak berada dalam tubuhnya sendiri.
Srak! Srak! Srak!
Bima dapat mendengar suara seseorang yang menggali tanah. Di bawah taburan bintang dan kegelapan malam, merupakan hal yang janggal ada seseorang yang sedang menggali ada waktu seperti ini.
'Apa orang itu sedang menggali kuburan?'
Pikiran awal dari Bima yang kemudian dia teringat temannya, Oki. Dia dan temannya, pergi ke tempat pohon pinus untuk menggali kuburan para korban pembunuhan.
'Apakah itu Oki?'
Pikir Bima kemudian. Dia ingin sekali melirikkan matanya ke samping, ke arah asal suara berada. Namun tubuhnya sama sekali tidak mau diperintah.
Bima hanya dapat melihat langit malam tanpa awan. Dengan bulan yang bersinar cantik ditemani oleh hiasan ribuan bintang.
Suara orang menggali terus terdengar. Setelah sekian lama, Bima bahkan samar dapat mendengar suara lelah dari orang yang menggali tersebut. Bagai mengeluarkan napas yang berat, suara itu berasal dari seorang lelaki.
Oki kembali ada dalam pikiran Bima. Namun bila dipikir secara logis kembali, agak mustahil lelaki pengecut itu untuk tinggal di tempat segelap ini sendirian. Apalagi karena Bima pingsan.
Belum lagi, Bima juga belum memberitahu tujuan mereka untuk menggali kubur kepada temannya itu. Jadi hal ini membuat kemungkinan kalau orang yang menggali itu Oki menjadi semakin kecil.
'Terus siapa?'
Pertanyaan yang terngiang di pikiran Bima itu terjawab sekitar belasan menit berikutnya. Di mana, dia melihat seorang lelaki yang hanya mengenakan kaos oblong tanpa lengan, memiliki perut yang buncit namun tangannya kurus kering.
Lelaki itu bersimbah keringat di seluruh badannya. Keringat yang ada di wajahnya menetes ke muka Bima. Ketika lelaki itu mendekati dan melihat wajah Bima dalam dekat. Lalu mengulas-ngulas kepalanya bagai seorang manusia kepada kucing. Sebelum akhirnya, menjambak rambut dan mulai menggusurnya.
"!!!"
Tubuh Bima seketika tergusur. Dia ingin berteriak dan memberontak. Namun suaranya tidak bisa keluar, tubuhnya kaku bagai tiada nyawa.
Hingga akhirnya, lelaki buncit itu tiba di sebuah lubang kecil. Mungkin hanya sebesar satu kali satu meter. Dalamnya dirasa sekitar dua atau tiga meter. Hal yang dianggap Bima tidak cukup untuk mengubur seseorang.
Setidaknya sebelum dia melihat lelaki buncit itu mengeluarkan sebuah pisau daging yang cukup besar. Lalu mulai memotong bagian tubuh Bima satu persatu, kemudian membuangnya ke dalam lubang.
Bima tentu panik pada awalnya. Dia pikir kalau tubuhnya benar-benar dipotong-potong layaknya sebuah daging sapi. Tapi, ketika dia tidak merasakan yang namanya rasa sakit. Bima seketika terdiam termenung.
Menyimpulkan kalau yang sedang dialaminya ini mungkin bukanlah sesuatu yang nyata. Dia mencoba melirik ke arah lelaki itu dari ujung matanya, melihat laki-laki itu tampak tersenyum sambil menjilati beberapa bagian tubuh yang telah dipotong sebelum membuangnya ke lubang.
Melihat kalau ada bagian tubuh yang seharusnya tidak ada pada seorang lelaki. Dipotong, dielus, lalu dirasakan kekenyalannya. Laki-laki itu tersenyum.
"Lumayan. Akan kubawa ini sebagai oleh-oleh."
Ujarnya, yang menyimpan bagian tubuh itu disampingnya. Lalu mulai melanjutkan pekerjaannya. Hingga pada akhirnya tinggal kepala saja. Laki-laki itu angkat, mengusap kepala itu, yang mana bagi Bima begitu menjijikkan, karena dia melihat wajah lelaki itu tepat di depan pandangannya.
Apalagi saat lelaki itu mencium bibir si kepala.
'Uwaaa! Uaaak! Urghhh, ini sungguh menjijikkan!'
Lalu kepala itu di lempar ke dalam lubang. Terjatuh miring ke samping, sehingga Bima tidak lagi dapat melihat ke atas. Namun dia dapat melihat isi lubang yang telah dipenuhi oleh potongan tubuh, dan juga terdapat dua kepala perempuan lain yang berada di depannya.
'...ini... memori?'
Kini Bima sungguh menyadari kalau yang sedang dialaminya ini bukanlah mimpi biasa. Melainkan suatu ingatan dari salah satu korban si lelaki buncit. Entah apa yang mereka inginkan, namun kini dia mengerti seperti apa hal terakhir yang mereka alami.
Untuk beberapa jam berikutnya, Bima yang tidak mampu bergerak dan memindahkan pandangan, hanya bisa pasrah menunggu hingga memori itu selesai.
Membiarkan satu persatu potongan tubuh semakin bertumpuk di depan mukanya, sebelum akhirnya seluruh lubang itu menjadi gelap gulita dikubur oleh tanah.
Dalam kegelapan yang kini senyap. Tanpa ada suara dan kehangatan. Bima yang masih juga belum bangun dari memori tersebut mulai panik. Berada dalam kegelapan sendirian membuat hatinya bertambah gelisah.
Bagaimana bila dia terjebak di sana selamanya?
Bima mulai membayangkan kemungkinan-kemungkinan buruk terjadi padanya. Entah berapa lama dirinya berada dalam pelukan kegelapan. Karena satu menit saja bagai satu jam. Bima tampak terisolasi, bahkan suara detak jantungnya sendiri pun tidak terdengar, membuat suasana semakin membuatnya kalut.
Hingga pada akhirnya, Bima mendengar samar suara seseorang memanggil namanya. Dia mencoba menajamkan pendengarannya. Mendengar suara tersebut, yang semakin lama semakin terdengar jelas.
'Oki?'
Suara yang memanggil itu tidak lain adalah temannya Oki. Suara itu semakin lantang, bagai menuntun dan menariknya keluar dari kegelapan.
"Uwaaaaaaa!"
Bima seketika membuka kedua matanya. Langsung terduduk dengan panik, lalu melihat sekelilingnya yang masih berada di bawah terik matahari.
"Haa... haa... haa..."
Dia kemudian melirik ke sampingnya, melihat Oki yang tampak kebingungan.
"Berapa lama aku tidak sadarkan diri?"
"...Apa kau baik-baik saja?"
"Jawab saja."
"Hanya sekitar lima menit."
"Lima menit..."
Bima tidak menyangka pengalaman berjam-jam yang dialaminya tadi hanya menghabiskan waktu lima menit dalam kehidupan nyata.
Dia lalu menoleh ke tempat pohon pinus berada. Di sana masih ada tujuh sosok perempuan yang berdiri mengitari pohon sambil mengeluarkan ucapan yang tidak dimengerti.
Bima berdiri, menepuk-nepuk bajunya. Lalu mencari posisi lubang kubur yang dibuat si pelaku pembunuhan berdasar dari penglihatan memori yang dialaminya.
Jaraknya mungkin hanya sekitar lima meter dari pohon pinus berada. Cien meraba-raba ingatannya, lalu menentukan satu titik yang dirasa tepat.
"Ki, kita gali tempat ini."
"Ehh? Tuh kan! Sudah kuduga, pasti gali kubur lagi!"
Srak!
Tanpa memperdulikan keluhan dari temannya. Bima memulai menggali dengan sekop di tangannya. Oki yang mulai merasa tidak enak akhirnya ikut juga membantu.
"Bim... apa ini tempat korban-korban lainnya?"
Bima mengangguk, lalu menghentikan kerja kedua tangannya. Dia melirik ke tempat para arwah korban yang mengelilingi pohon.
"Kau bisa melihat arwah mereka?" Tanya Oki kembali.
"Awalnya penemuan ini mungkin bisa membantu polisi dalam penyelidikan sebagai bukti tambahan. Tetapi... mungkin ini lebih dari itu. Apa yang mereka alami hingga keluarga yang mereka tinggalkan... kurasa kita harus mengirimkannya. Bagaimana menurutmu?"
Oki terdiam mendengar hal tersebut. Dia melihat silau mata Bima yang tampak sendu.
"Aku tidak bisa melihat dan juga tidak mau melihat hantu mereka. Tapi aku setuju. Pasti ada orang-orang yang menunggu kabar mereka. Walaupun hanya tinggal tulang belulang."
Tutur Oki yang seraya menambah kekuatan di kedua tangannya. Bima melukiskan senyum tipis di wajahnya, melakukan hal yang sama seperti Oki. Bagai suatu semangat baru tumbuh dalam benak keduanya.