Mobil pun tiba di tempat parkiran bumi perkemahan. Tempat parkir yang hanya berupa tanah lapang dengan rumput-rumput pendek patah akibat tergilas ban kendaraan.
Bila tempat tersebut terguyur hujan. Maka permukaan tanah itu akan berubah lembek dan memakan sepatu pengunjung sebagai korban.
Salah satu korbannya sekarang adalah Bima. Lelaki itu turun dari mobil dengan wajah yang fokus pada layar ponsel. Sehingga dia tidak memperhatikan pijakan tanah di samping mobil. Ketika satu kakinya mendarat turun, seketika setengah sepatunya masuk ke tanah basah.
"...fu*k."
Bima melihat sepatunya yang seketika terselimuti oleh tanah. Wajahnya yang sedari tadi telah kesal karena merasakan adanya orang yang sedang melihati. Kini dia semakin geram. Wajahnya semakin merengut.
Sungguh dia ingin pulang. Inilah salah satu alasannya Bima tidak suka melakukan aktivitas di gunung. Apanya yang membuat damai? Yang ada membuat orang kesal dan capek oleh emosi!
Raya yang melihat raut seniornya tersebut langsung menghampiri dan menenangkan dengan menawarkan Bima keripik kentang dan minuman. Sedangkan Oki setelah mengeluarkan barang-barang, dia langsung menghampiri pengelola perkemahan untuk meregistrasi penyewaan.
Setelah beres registrasi, resepsionis itu mengambil uang sewa lalu menyuruh para tamunya untuk masuk tanpa melihat wajah Bima dan kawan-kawan kedua kali.
'Tidak, dia hanya melihat wajah Oki saja.'
Gumam Bima dalam hatinya, mulai berjalan mengikuti Oki yang berada di depan. Matanya masih melirik ke resepsionis yang terus menunduk.
Bagi Bima, sikap pengelola tadi terlalu acuh, seolah tidak peduli dengan bila jumlah uang sewa tidak sesuai dengan jumlah orang yang masuk. Dan, tampaknya bila terjadi sesuatu dalam perkemahan, dia tidak akan peduli sama sekali.
'Lalai atau disengaja?'
Tanya Bima dalam benaknya, yang lalu mulai menghadap ke depan. Melihat jalanan menanjak penuh bebatuan dan tanah basah telah menunggunya.
"Ugh... anjing."
Wajah Bima kembali kusut. Raya yang ada disampingnya tersenyum masam. Dia mengepalkan kedua tangannya lalu mencoba menyemangati seniornya.
"Semangat, Kak Bima!"
Bima melirik sinis ke arah Raya, "Hanya masokis yang bakal semangat bila melihat penderitaan yang sudah menantinya."
"...Umm... yeahhh?"
Raya seketika kehilangan kata-kata. Meskipun telah beberapa kali bertemu dengan Bima untuk beberapa hari terakhir, dia tetap tidak bisa mengerti pikiran dari seniornya satu itu.
Well, setidaknya itu adalah pandangan terhadap dirinya sendiri. Karena dari sudut pandangan Oki yang ada di depan. Dia bertanya-tanya bagaimana Raya bisa mengetahui emosi Bima dan selalu berusaha menenangkannya.
Karena dari mata Oki, Bima bukanlah orang yang ekspresif.
Beberapa menit kemudian, ketiganya pun sampai di tempat perkemahan. Tanah lapang yang dipenuhi oleh rerumputan tipis. Puluhan pohon jati yang menyongsong langit, serta aliran sungai kecil yang berada di bagian selatan tempat tersebut.
Namun dari segala hal tersebut, terdapat satu hal yang cukup mencolok. Terdapat sebuah balok kayu besar di tengah lapang perkemahan. Balok kayu yang mungkin tingginya melebihi tinggi sebuah rumah biasa.
"Woah~ kayu apa itu? Besar sekali!" Tukas Oki yang tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.
Raya yang tidak jauh di belakang tertawa kecil melihat reaksi tersebut. Karena dia sendiri memperlihatkan reaksi yang sama saat pertama kali datang ke perkemahan tersebut.
Gadis itu lalu melihat ke sampingnya, ingin melihat reaksi dari Bima. Namun dirinya semerta merinding ketika yang dia lihat dari raut wajah Bima adalah raut dingin bagai tanpa emosi.
"Ka-Kak Bima...? Ada apa?"
Tanya Raya, nadanya terdengar gugup bercampur cemas. Bima seketika melirik. Dua matanya benar-benar membuat bulu kuduk Raya berdiri.
Gadis itu bahkan mulai bertanya tentang keaslian dari Bima di depannya. Apakah dia benar Bima atau bukan? Kalau benar, mengapa lelaki itu memberikan aura menyeramkan bagai bukan seorang manusia? Namun...
'Bagai suatu mayat...'
Itulah impresi yang Raya rasakan saat ini. Membuat gadis itu serta merta membeku ketika sepasang mata seniornya itu melirik padanya.
"Ki, kau dan Raya siapkan tenda dan lain sebagainya. Ambil tepat yang berada di samping sungai. Jangan pergi ke mana-mana, mau ke tempat parkir, warung bahkan toilet. Beritahu aku bila kalian ingin pergi," titah Bima dengan nada yang serius.
Oki tertegun sejenak sebelum balik bertanya.
"Kau akan ke mana?"
"Hanya berjalan-jalan di sekitar sini. Tapi... tempat ini jauh lebih berbahaya dari ekspektasiku," gumam Bima, yang padahal ekspektasinya itu sudah jauh meningkat pada saat menyadari ada sosok yang memperhatikannya. Namun kini harus diakui, Bima masih meremehkan tempat yang didatanginya tersebut.
"Ah, jangan coba-coba mendekati kayu besar itu," tambah Bima.
"Kenapa?"
"Besar kemungkinan hal tersebut yang dinamakan tabu untuk tempat ini."
"?"
Bima hanya nyengir lalu menyuruh keduanya untuk pergi menyiapkan tenda. Setelah keduanya tiada, Bima kembali memindai sekilas tempat yang ada di depannya.
Selain mereka bertiga, orang yang datang ke tempat perkemahan tersebut mungkin hanya belasan. Itu hanya perkiraan dari jumlah tenda yang berdiri di lima tempat.
Namun bukan jumlah pengunjung datang yang mengkhawatirkan Bima. Melainkan jumlah sosok astral yang dapat dilihatnya kini.
Waktu masih menunjukkan betapa teriknya matahari. Mulai mengeringkan tanah basah yang ada di permukaan. Namun, sosok yang telah menampakkan diri berkisar tiga puluh.
'Terlalu banyak... ini pertama kalinya aku melihat satu tempat dengan puluhan hantu.'
Tidak sampai di situ. Terdapat hal yang membuat Bima semerta menaikkan tingkat kewaspadaannya.
Puluhan hantu tersebut, yang berada di berbagai pojok perkemahan. Ada yang berada di dalam tenda seseorang. Ada yang berada di atas pohon, menggantung sambil tertawa. Ada yang separuh tubuhnya terkubur di dalam tanah. Ada yang terbang hingga ada yang sedang duduk di atas bahu seseorang.
Namun seluruh hantu tersebut memiliki satu kesamaan. Mereka semua memiliki rantai yang melilit di leher masing-masing. Rantai yang terulur dari balik kayu besar yang berada di tengah bumi perkemahan.
'Apa lagi ini? Budak? Ada sistem perbudakan dalam dunia perhantuan?'
Bima bertanya-tanya di kepalanya sambil mulai berjalan ke arah balok kayu besar. Tiba-tiba dia teringat Lani yang ada di gelangnya.
Perbudakan... damn, Bima semerta mengumpat pada dirinya sendiri.
Ketika Bima sampai di depan balok kayu. Dia melihat ke dasar balok, yang mana seluruh rantai yang mengikat para hantu berasal dari sana.
Untuk saat ini, Bima menyimpulkan kalau apapun yang mendominasi para hantu di sekitarnya mungkin berada di dalam sana. Di bawah balok kayu besar, yang Bima sendiri agak aneh dengan besar kayu tersebut.
'Pohon macam apa dengan kayu sebesar ini?'
Pikir Bima yang kemudian kembali memindai sekitarnya. Karena dia merasakan semua mata dari sosok astral yang ada kini tertuju padanya.
Bahkan ada yang mulai mendekati. Tampaknya mereka mulai tertarik karena ada yang mendekati tempat tuannya.
Bima seraya bersikap acuh. Pura-pura tidak melihat segalanya dan berakting sebagai pengunjung biasa.
"Wah, kayu besar, ya. Hebat. Besar. Kuat?"
'Apa yang sedang kubicarakan ini? Sigh~'
Bima seraya berbalik, melihat satu hantu telah berada di depannya. Dia biarkan, bahkan berjalan dengan santai melewati sosok tersebut. Lanjut berjalan menuju satu rumah panggung kayu yang berada di bagian atas atau utara bumi perkemahan.
Dari yang Raya beritahukan, rumah kayu tersebut merupakan tempat pengelola perkemahan tersebut.
'Hmm, jadi, siapa yang bertanggung jawab atas hilangnya jiwa Dion? Ugh, ini memusingkan...'