Keesokan harinya setelah pertemuan Bima dengan Raya di rumah tanjakan, sekaligus hari perekaman podcast episode ketiga. Bima beserta Oki pergi mengunjungi rumah sakit untuk menjenguk Dion.
Setibanya mereka di sana, kedua lelaki tersebut disambut oleh Raya dan ibunya. Tidak seperti sebelumnya, Raya yang kini telah memulai masa perkuliahan baru tidak diperbolehkan oleh kedua orang tuanya untuk setiap hari tinggal di rumah sakit.
Sebagai gantinya, Ibu dari Raya yang bernama Bu Wati, kini yang tinggal mendampingi Dion setiap hari.
Raya memperkenalkan Bima dan Oki kepada Sang Ibu. Bu Wati sendiri sudah mendengar maksud kedatangan kedua lelaki tersebut. Kedua lelaki yang ternyata adalah senior Raya di kampusnya.
Beliau juga mempelajari maksud kedatangan Bima dan Oki. Sekitar dua jam sebelum kedatangan Bima, Raya yang sudah tiba lebih dulu, memberitahukan kepada ibunya tentang profesi dan kemampuan dari orang yang dibawanya.
Dari situ, Wati mengetahui kalau Bima dan Oki adalah podcaster misteri. Bukan hanya itu, dia juga tidak menyangka kalau kedua lelaki tersebut memiliki andil besar dalam kasus yang sedang ramai di media saat ini.
Maklum bila Wati tidak mengenal keduanya. Dia tahu tentang kasus Bobby yang ramai itu. Namun tidak mendalaminya karena pikirannya sibuk dengan mengurusi anak lelakinya.
Wati sebenarnya tidak terlalu optimis dengan cara yang ditempuh oleh Raya untuk mengatasi kondisi Dion. Cara mistis sungguh tidak logis. Belum lagi, Bima dan Oki bukanlah kelompok pertama yang dibawa Raya.
Telah banyak yang datang, dari dukun hingga ahli agama. Namun hasilnya sama. Jadi kali ini pun, Wati hanya menganggap kedatangan Bima dan Oki sebagai kunjungan dari teman Raya semata.
Melihat ekspresi dan gelagat tubuh dari Wati. Bima sudah dapat menebak apa yang dipikirkan oleh Ibu dari Raya dan Dion tersebut.
Sejujurnya, dia sendiri setuju dengan pikiran Wati. Tidak akan mempercayakan kondisi dari anak tercinta ke orang-orang mencurigakan yang pekerjaannya mengurusi hal tidak ilmiah.
Sungguh! Bima sangat setuju! Hanya saja...
Bima melirik ke arah Dion yang sedang terbaring di ranjang pasien. Dari kacamatanya, dia dapat melihat asap hitam yang keluar dari beberapa bagian tubuh lelaki tersebut. Salah satunya keluar dari bagian jantung.
'Apa itu?'
Pikir Bima yang baru pertama kali melihat fenomena tersebut. Keningnya mengkerut karena bukan saja asap hitam yang dilihatnya, namun terdapat satu tangan pucat (hanya hingga pergelangan) yang mencengkram sekaligus menutup kedua mata dari Dion.
Hal absurd apa yang sedang dihadapinya kini? Hanya itu pertanyaan yang berkutat di pikiran Bima saat ini.
Dia pun seraya mengingat perkataan Winda dua hari lalu. Lelaki yang tertidur tanpa jiwa.
'Apa itu maksudnya yang ada di depanku ini hanyalah tubuh saja? Hanya cangkang tanpa isinya?'
Bima kemudian menoleh ke Wati, tersenyum sedikit lalu meminta izin untuk mendekati putranya. Wati mempersilahkan, dia cukup senang dengan sikap dari lelaki satu ini. Berbeda dari orang-orang yang pernah dibawa Raya sebelumnya.
Orang-orang itu terlihat angkuh dan beraksi dengan seenaknya. Bahkan ada yang berteriak-teriak sehingga menghebohkan area rumah sakit di dekat kamar putranya itu. Sungguh mengesalkan dan memalukan!
"Umm, maaf, Bu? Apa boleh saya menggunakan alat perekam?"
Kali ini, lelaki lain yang bernama Oki meminta izin Wati. Wanita paruh baya itu melihat recorder di genggaman Oki. Tampaknya rekaman yang dimaksud bukanlah video, melainkan hanya suara. Wati mengangguk memperbolehkan.
Wati pun melihat Bima dan Oki mulai mendekati putranya. Raya berjalan bersama, namun berada di bagian seberang ranjang. Sedangkan Wati berhenti di bagian kaki ranjang.
Wanita itu kemudian melihat pemuda bernama Bima itu mengibas-ngibaskan tangannya di atas tubuh Dion, sembari sesekali terlihat ingin menggenggam sesuatu.
'Apa yang sedang dilakukan oleh orang ini?'
Wati mulai keheranan dan skeptis dengan tindakan dari Bima. Dia takut pemuda yang sopan itu ternyata tidak ada bedanya dengan paranormal tak berguna sebelumnya.
"Kak Bima lagi apa?"
Tanya Raya, mewakili segala kebingungan dari dua orang lain yang ada di ruangan itu (Wati dan Oki).
Bima yang mendengar pertanyaan itu tidak menjawab. Wajahnya malah makin merengut karena asap hitam di depannya itu memang seperti asap. Dia tidak bisa menggenggamnya sebagaimana yang dilakukannya ke makhluk astral.
"Kak Bima?"
"Bim... ada apa?"
"..."
Bima masih diam. Dia lalu melirik ke tangan yang menutupi kedua mata dari Dion. Bima coba genggam tangan tersebut, namun...
Bzzzt!
Seketika dia menyentuh tangan tersebut, tangan Bima langsung terpental bagai menerima tolakan keras.
Kejadian tersebut disaksikan oleh ketiga orang lainnya. Ketiganya terkejut melihat tangan Bima yang tiba-tiba bagai memantul keras.
'Apa yang terjadi?!'
Ketiganya meneriaki hal yang sama di dalam kepala mereka. Sedangkan Bima, langsung melihat tangannya yang terpental itu. Ujung jarinya yang menyentuh tangan astral itu kini tampak bercak hitam.
Ketika Bima mengusapkan jari-jari itu, dan bercak hitam itu pun menghilang terbang bagai abu.
"Bim, apa yang terjadi padamu tadi?!" Oki seketika bertanya.
"Mundur."
"Hah?"
Bima menyuruh ketiga orang lainnya untuk menjauh dari ranjang pasien. Ketika mereka mendengar perintah dan juga sepasang mata Bima yang berkilau dingin. Ketiganya hanya bisa menelan ludah dan menurut.
Ketika Bima melihat ketiga orang lainnya telah mundur beberapa langkah. Perhatiannya kembali ke arah tangan tersebut.
"Lani, bangun."
Panggil Bima yang tidak lama kemudian, suatu asap kasat mata keluar dari satu butiran kayu di gelangnya, yang kemudian berkumpul dan menjadi satu sosok perempuan berambut panjang memakai gaun putih.
"Huahh~ ada apa memanggilku lagi? Hmm, uwaaa~ asap aneh apa ini?"
Lani menggerutu seketika keluar dari gelang Bima, yang detik kemudian hantu perempuan itu terkejut setelah melihat asap hitam keluar dari tubuh Dion.
"Kau tidak tahu asap hitam ini?" Tanya Bima.
Lani menggeleng, "Tidak. Ini pertama kali aku melihatnya. Kau tahu, kan? Kalau pengetahuanku terbatas, toh aku hanya hantu yang tidak pernah meninggalkan rumah tua itu. Tapi... meskipun aku tidak tahu tentang asap ini. Setidaknya aku tahu kalau apapun itu, sari kehidupan dari lelaki ini terus berkurang. Kalau dibiarkan, dia akan mati dalam waktu dekat."
'Sari kehidupan? Istilah apa lagi ini?'
Pikir Bima yang kemudian menyuruh Lani untuk bersiap-siap.
"Huh? Bersiap-siap untuk apa?"
Bima tidak menjawab. Pandangannya telah fokus ke tangan yang ada di wajah Dion. Kali ini dia akan memakai tenaga untuk mengambil tangan tersebut.
Grab!
Bima langsung saja mencengkram tangan tersebut. Dia dapat merasakan suatu energi penolakan dari tangan tersebut yang ingin menghempaskannya. Namun Bima tidak akan membiarkannya terjadi.
Di sekitar Bima, ranjang seketika berguncang keras. Ketiga orang yang melihat hal tersebut menjadi semakin panik. Tidak mengerti dengan apa yang terjadi.
Tidak sampai satu menit kemudian. Bima berhasil mencabut tangan itu dari wajah Dion.
Tiba-tiba, tepat saat tangan tercabut, kedua mata Dion terbuka lebar. Tubuhnya langsung duduk, dan kedua mata itu menatap tajam ke arah Bima.
"KAU!!!"
Suara seorang lelaki dan perempuan bercampur dengan nada yang melengking. Memekakkan telinga Bima, yang kemudian dia merasakan suatu dorongan yang membuat tubuhnya terhempas.
Bak!
Bima menabrak tembok ruangan dengan keras. Tangan misterius yang ada di genggamannya terlepas, namun berhasil ditangkap oleh Lani.
"Ugh!"
"Bima!" Oki seraya berlari ke arah temannya.
"Jangan ganggu! Jangan ganggu! Jangan gangguuu!"
Dion terus berteriak berulang-ulang, suaranya semakin lama semakin nyaring, sekaligus diiringi dengan suatu energi yang menerbangkan beberapa peralatan di ruangan tersebut.
Tidak lama kemudian, teriakan tersebut reda. Raut mengerikan di wajah Dion berubah sayu nan lemas. Kedua pasang mata itu kini tidak intens seperti sebelumnya, melainkan menunjukkan seseorang yang sedang putus asa.
Kedua pasang mata Dion itu memandangi ibunya.
"Ma... tolong..."
Pintanya lirih sebelum akhirnya mata itu terpejam dan tubuhnya kembali terkulai lemas di atas ranjang. Lelaki itu kembali tertidur seperti sebelumnya.
Bima yang dibantu Oki untuk berdiri melihat kondisi dari lelaki di atas ranjang tersebut. Dia lalu melirik ke tangan misterius yang ada di genggaman Lani.
Tangan misterius tersebut, bagai sebuah abu, mulai menghilang tersapu angin. Lani hanya menggeleng, karena dia sendiri tidak mengerti.
"Berapa lama perkiraan sari kehidupannya habis?" Tanya Bima kepada Lani.
"Hmm, sekitar dua minggu. Tapi, setelah aksimu tadi, kurasa apapun yang ada di balik fenomena ini akan mempercepat prosesnya."
"Tsk! Ki, segera siapkan kendaraan dan peralatan untuk kemping. Secepatnya kita pergi ke bumi perkemahan itu."