Bab 5 - Welcome to Medan
Suara azan subuh membangunkanku. Segera aku ke luar kamar untuk mandi dan mengambil wudhu. Suasana masih sepi, mungkin Mas Azzam dan Kak Winda belum bangun.
Mungkin juga mereka kelelahan setelah melepas rindu semalaman. Mereka itu kan, sudah berpisah dua minggu lebih. Aku tertawa geli mengingat ekspresi Mas Azzam yang kecewa setiap malam saat di rumah papaku kemarin.
Waktu malam pertama, sih, aku bohong kalau aku sedang datang bulan. Malam selanjutnya, jelas-jelas aku menolak karena tahu Mas Azzam sudah beristri.
Suara Iqamah dari masjid membuatku bergegas masuk ke kamar kembali. Lalu menyelesaikan kewajiban salat Subuh. Setelah selesai, aku bingung mau ngapain.
Apa aku masak untuk sarapan saja, ya? Sebaiknya jangan, aku belum tahu bagaimana selera Kak Winda dalam memasak. Aku gak mau disalahkan jika masakanku nanti tak sesuai selera mereka.
Aku pun memilih sibuk dengan ponselku, sampai tak terasa waktu dengan cepat berlalu. Tiba-tiba saja, hari sudah terang, cahaya matahari yang masuk melalui ventilasi jendela yang membuatku tahu kalau hari telah siang.
Sementara suasana di luar masih sepi, aku belum mendengar aktivitas apa-apa di luar kamarku ini.
Masa mereka belum bangun juga, kulirik waktu yang ditunjukkan oleh layar ponselku. Sudah pukul tujuh lebih tiga puluh menit, perutku juga sudah mulai bernyanyi minta di isi.
Dengan pelan aku membuka pintu kamar, lalu kuintip suasana di luar. Benar-benar masih sepi. Aku pun berinisiatif ke dapur.
Kuperiksa isi lemari es yang ada di sana. Hanya ada telur satu butir, selebihnya hanya botol-botol kosong serta tumpukan cabai dan bawang yang sudah mengering.
Ternyata Kak Winda itu sangat jorok, rak-rak di dalam lemari esnya juga berwarna hitam, sepertinya sudah satu tahun tak pernah dibersihkan. Dengan bergidik aku mengambil telur yang tersisa, lalu mencari tempat penyimpanan minyak goreng.
Lagi-lagi aku bergidik geli melihat botol minyak gorengnya. Lemak dari minyak goreng tampak menumpuk di bibir botolnya. Sebagian bahkan sudah berwarna hitam.
Kubatalkan niat untuk menggoreng telur, aku memilih untuk mencari makanan di luar rumah saja. Siapa tahu ada yang menjual bubur ayam atau ketoprak di luar sana.
Sampai di luar rumah, aku melihat sudah banyak orang yang berlalu lalang di jalan depan rumah Mas Azzam. Anak-anak juga sudah banyak yang bermain, aku pun menghampiri segerombolan ibu-ibu yang sedang duduk di bawah pohon asem. Mereka menatapku dengan tajam sejak aku keluar rumah tadi.
"Selamat pagi, ibu-ibu cantik. Aku boleh tanya, gak?" sapaku sok akrab.
"Pagi, dek. Senang kali hati kakak dibilang cantik. Tau aja kau, ya, tapi jangan panggil ibu lah. Panggil aja kakak biar lebih akrab. Mau tanya apa?" jawab salah satu dari ibu-ibu, eh, kakak-kakak tersebut dengan senyum lebar.
Aku juga ikut tersenyum, gak sia-sia aku memuji mereka.
"Aku mau cari sarapan, tapi gak tahu tempatnya."
"Oh, sarapan. Itu di pinggir pasar sana dek. Ada yang jual lontong, nasi gurih juga ada. Enak kok masakannya." jawabnya lagi.
"Pasar? Memangnya di sini ada pasar, Kak?" tanyaku bingung.
Perasaan waktu lewat kemarin, aku tak melihat tanda-tanda adanya pasar di jalan besar sana.
"Ada lah, Dek. Kalau gak ada pasar, kek mana kita lewat."
Aku masih berdiri dengan bingung, pasar untuk lewat. Maksudnya apa, ya?
Untung saja salah seorang dari mereka mungkin sadar kalau aku sedang bingung.
"Memangnya Adek dari mana?" tanyanya dengan ramah.
"Dari Jakarta, Kak. Baru datang kemarin malam," jawabku tak kalah ramah juga.
"Oh, dari Jakarta. Pantas saja kamu bingung. Kalau di sini, pasar itu bukan tempat orang berjualan seperti di Jakarta. Di sini tempat itu namanya pajak. Pasar itu, ya, jalan besar di depanku maksudnya, Dek," terangnya panjang lebar.
"Oala, itu maksudnya. Terima kasih, ya, Kak," ucapku. Aku pun permisi pada mereka, tetapi salah seorang dari mereka kembali bicara.
"Hati-hati kalau jalan di depan nanti, Dek. Banyak kali kereta yang jalannya ngebut," katanya.
Hah! Kereta jalannya ngebut. Apa bisa kereta jalan di aspal?
---
Aku sudah sampai di pasar, eh, jalan raya maksudnya. Namun, aku tak melihat satu pun kereta yang dikatakan kakak itu tadi. Yang ada sepeda motor yang berlalu lalang dengan kecepatan tinggi.
Sambil menggeleng tak mengerti, aku pun mendekati lapak penjual lontong Medan yang ada di depanku.
Aku memesan satu porsi untuk makan di tempat. Penasaran juga sama rasanya, sebab penampilan makanan ini sangat menarik dengan warna cerah dan menggoda seleraku.
Mataku membulat saat sesendok lontong beserta sayurnya sudah berada di dalam mulutku. Luar biasa rasanya enak, pedas dan gurih menyatu di dalam mulutku.
Dalam sekejap sepiring lontong sayur itu sudah habis kulahap.
"Berapa, Kak?" tanyaku pada penjualnya.
"Sepuluh ribu aja, Dek," jawabnya sambil tersenyum manis.
Sepuluh ribu? Gak salah, nih? Sepiring lontong dengan sayur lengkap, plus telur dan sambalnya hanya berharga sepuluh ribu saja. Murah sekali, aku pun memberikan selembar uang sepuluh ribuan lalu kembali ke rumah Mas Azzam dengan perut kenyang.
Saat kembali, aku melihat rombongan ibu-ibu tadi masih asyik mengobrol di bawah pohon asem. Langsung saja kudekati mereka, aku masih penasaran dengan ucapannya salah atau dari mereka tadi.
"Kakak cantik masih di sini aja," sapaku sok akrab.
"Kita memang udah jadi penghuni tetap tempat ini, Dek," jawab mereka sambil tertawa dengan nyaring.
Bulu kudukku mendadak berdiri, tapi hatiku menolak rasa takut yang tiba-tiba muncul. Masa, iya, ada hantu bisa muncul di siang hari. Bisa menggosip lagi, itu tidak masuk di akal!
"Eh, maaf. Kami hanya bercanda, Dek. Janganlah jadi pucat kayak gitu muka Adek. Kami ini masih manusianya, Dek," ucap mereka lagi membuatku lega.
Ternyata mereka masih manusia juga, sama seperti diriku.
"Mau nanya apa lagi tadi, Dek. Tanyalah, siapa tahu kami bisa jawab," sambungnya lagi.
"Tadi kata kakak banyak kereta yang lewat, tapi tak ada satu pun yang aku lihat tadi di sana," jawabku.
"Masa sih, Dek. Apa gak nampak sama Adek? Nah itu salah satu contohnya," jawab si kakak beradik aku merah.
Dia menunjuk pada sebuah sepeda motor yang melintas di sampingku dengan kencang.
"Itu sepeda motor, Kak. Bukan kereta," sahutku kesal karena merasa dibohongi.
"Di sini namanya kereta, Dek, memangnya Adek pikir kereta itu apa?"
"Kereta api," jawabku singkat.
Mereka malah tertawa terbahak mendengar jawabanku.
"Aduh, lucu kali lah kau, Dek. Sampai sakit perut kakak ketawa terus," ucap mereka kompak.
Dasar orang-orang aneh, akhirnya aku meninggalkan mereka dengan perasaan dongkol bin kesal.
"Dari mana saja kamu, Clara?" sambut Mas Azzam dengan pertanyaan saat aku masuk ke dalam rumah.
Rupanya mereka berdua sudah bangun. Kak Winda sedang sibuk memasak sesuatu di dapur. Aku bergidik saat ingat kebobrokan yang kulihat tadi di dapurnya.
"Clara, kamu belum menjawab pertanyaanku. Dari mana saja kamu, sepagi ini sudah keluyuran di luar rumah!" tanya Mas Azzam lagi.
"Aku cari sarapan, Mas. Lapar," jawabku singkat saja.
"Kalau lapar, harusnya kau masak. Bukannya malah beli di luaran. Pemborosan itu namanya!" sela Kak Winda.
Sepertinya dia sudah selesai memasak. Dua piring mie kuah yang masih mengepulkan asap di letakkan ya di atas meja makan.
"Ngapain nengok masakanku terus, selera, ya? Masak sendiri sana!" ucapnya dengan sombongnya.
"Tidak, terima kasih. Aku sudah kenyang," sahutku lalu meninggalkan mereka berdua.
Lebih baik aku mandi saja, sementara Mas Azzam kulihat tengah asyik melahap mie yang dimasak istri joroknya itu.
Apa perutnya tak sakit, pasti banyak kuman yang ikut masuk ke perutnya. Mungkin sudah kebal kali, ya?
Bersambung