Bab 12 - Mama Yang Jeli
"Kak Neti bisa bantu aku, kan?" tanyaku penuh harap pada Kak Neti.
"Duh, cemana, ya, Dek? Kakak juga bingung, kekmana kita bikin nanti?" Kak Neti malah balik bertanya padaku.
Setelah selesai sarapan, aku menemui Kak Neti untuk meminta bantuannya. Aku bingung karena Mama mengajakku keliling di sekitar perumahan ini.
Bagaimana kalau nanti ada yang salah omong, bisa ketahuan sandiwara kami selama ini.
"Kalian kenapa? Kok cemas kali kutengok?" tanya Kak Winda.
"Ngapain kau ke sini, Win?" tanya Kak Neti ketus.
"Kok marah pula kau. Kutengok si Clara ke rumah kau dengan wajah cemas. Penasaran aku, jadi kudatangi lah kelen di sini," jawab Kak Winda.
"Sudah-sudah! Jangan bertengkar, kalian bantu aku cari solusinya dong," potongku sebelum keduanya bertengkar lagi.
"Solusi apa, Ra! Cakaplah sama aku, mana tau aku bisa bantu," sahut Kak Winda.
"Mama dan Mama mertua pengen jalan-jalan keliling perumahan sini, Kak. Aku takut nanti ada yang memberitahu sama Mama soal sandiwara kita. Gimana menurut Kakak?"
"Ih, bahaya itu. Sebentar aku cari ide dulu!"
Kak Winda tampak seperti sedang berpikir. Aku dan Kak Neti menunggunya dengan tak sabar.
"Clara! Lho, malah ngobrol di situ. Ayo kita jalan-jalan keliling perumahan sini. Mumpung masih pagi, jadi belum terlalu terik mataharinya!" seru Mama dari teras rumahku.
Gawat, bagaimana sekarang? Apa yang harus aku lakukan? Aku mulai panik, tapi Kak Winda malah tersenyum.
"Sudah, bawa saja mereka keliling perumahan sini. Nanti aku yang urus! Tapi ingat, jangan bertamu ke rumah pak RT!" kata Kak Winda dengan yakinnya.
Selesai berkata, dia pun pergi begitu saja. Aku merasa heran lalu meminta pendapat dari kak Neti.
"Bagaimana, Kak?"
"Kakak juga gak ngerti, Dek. Tapi coba sajalah dulu. Ajak orang tua dan mertuamu jalan-jalan sekitar sini. Kakak kawani, yuk!" jawab Kak Neti.
Tak ada jalan lain, aku terpaksa mengikuti saran Kak Winda tadi. Dengan hati deg-degan dan cemas, aku dan Kak Neti membawa Mama dan Mama mertuaku berkeliling.
Sementara kedua Papa tinggal di rumah. Sepanjang perjalanan kami berpapasan dengan tetangga yang akan pergi bekerja dengan motor atau mobilnya.
Aku merasa bersyukur karena mereka sedang buru-buru, jadi Mama gak bisa mengobrol dengan mereka. Namun, tiba di persimpangan gang, kami bertemu dengan orang yang malas aku temui.
"Assalamualaikum, Ibu-Ibu cantik," sapa Mak Ijah seraya melirikku.
Aku mendesah pelan, berharap kalau dia tak bicara macam-macam.
"Waalaikumsalam, Nek. Kenalkan saya, Mamanya Clara dan ini mertuanya," sahut mamaku membuatku merasa horor.
Kenapa juga ketemunya Mak Ijah?
"Oh, jadi ini mertuanya Winda, eh, Clara. Kenalkan saya Neneknya Winda," ucap Mak Ijah membuatku melotot.
Sementara Mak Ijah tersenyum licik sambil melirik lagi.
"Oh, Nak Ijah, neneknya Winda. Teman kamu itu, kan, Ra?" tanya mertuaku.
Aku mengangguk dengan kaku, hatiku semakin deg-degan. Kak Winda, apa ini rencana kamu? Kalau begini malah akan membuat semuanya semakin berantakan.
"I-iya, Ma. Kak Winda mana, Mak?" Aku menjawab dengan gelagapan.
Mak Ijah lagi-lagi tersenyum. Kemudian berkata tidak tahu di mana Kak Winda berada.
"Kami, kan, beda rumah," jawabnya santai.
"Dasar nenek-nenek minta disambal, nih, mulutnya," sungutku.
"Kenapa, Ra?" tanya mamaku.
"Gak, Ma. Aku kebelet, kita cepat pulang, yuk!" Aku terpaksa berbohong agar kami bisa pergi secepatnya.
"Ya, ampun. Kenapa baru ngomong. Ayo kita pulang sekarang!" ajak mamaku.
Sambil menarik napas lega, aku mengikuti dua orang wanita cantik di depanku.
Selamat, pikirku
---
Insiden tadi pagi masih membekas di ingatanku. Bahkan rasa cemasnya masih bisa kurasakan. Kak Neti yang ikut bersamaku tadi juga ikutan cemas sampai dia tak bisa membantuku dengan kata-katanya.
Syukurnya Mama percaya saat aku bilang kebelet. Maafkan anakmu ini, ya, Ma!
Aku merasa penasaran dengan rencana Kak Winda sebenarnya. Katanya mau menolong, tapi kenapa Mak Ijah malah seperti akan membongkar kebohongan kami tadi.
Untuk mengetahui itu semua, aku pun mendatangi rumah Kak Winda. Dia sedang santai menikmati semangkuk mie instan yang masih mengepul asapnya.
Dalam hati aku merasa miris melihatnya. Setiap hari hanya mie instan dan mi instan lagi yang dimakannya. Bagaimana dengan pertumbuhan janin yang dikandungnya itu.
"Masuk, Ra! Mau kau mie ini? Masak dua bungkus aku tadi," sapanya sambil menyodorkan mangkuk yang dipegangnya.
"Gak, Kak. Terima kasih. Aku datang ke sini karena ada hal yang ingin kutanyakan," tolakku.
Aku duduk di depan Kak Winda yang masih asyik menghabiskan mie di dalam mangkuknya. Setelah selesai makan, barulah dia menatapku sambil tersenyum.
"Ada masalah apa rupanya?" tanyanya dengan santai.
Lalu kuceritakan kejadian di jalan tadi. Kak Winda kelihatan kaget kemudian aku bisa melihat senyum tipis terbit di bibirnya. Kak Winda kelihatannya senang, tapi secepatnya dia merubah ekspresinya.
"Mak Ijah gak bisa diajak kerjasama rupanya. Tadi aku udah bilang sama dia, kalau jumpa sama mertua kau, jangan singgung nama aku. Gak didengarnya rupanya," ucap Kak Winda.
Kok, aku seperti tak percaya dengan pernyataan Kak Winda, ya? Apa lagi sempat kulihat senyumnya tadi. Namun, aku gak bisa menuduhnya sengaja melakukan hal itu. Aku gak punya bukti.
Akhirnya aku kembali ke rumah dengan perasaan dongkol pada kak Winda. Sampai di rumah, aku melihat Mama mertua sedang berbincang serius dengan suaminya.
Melihat kedatanganku, mereka memanggil agar aku mendekat.
"Ada apa, Ma? Mamaku di mana?" tanyaku setelah berada di depan mereka.
"Mama kamu sedang istirahat di kamar, sepertinya kelelahan," jawab Mama mertuaku.
"Pasti karena jalan-jalan tadi, ya, Ma?"
"Mungkin juga, Ra. Hmm, Mama ingin bicara serius sama kamu. Kira-kira di mana ada tempat biar Mama kamu gak mendengar pembicaraan kita ini?" tanya Mama Mertua membuat aku merasa heran.
Sepertinya Mama mertua sedang serius, tapi mengapa dia tak mau mamaku mendengarnya.
"Mama takut kesehatannya terganggu jika mendengar masalah ini, Ra. Apa ada tempat agar kita bisa lebih leluasa mengobrolnya?" sambung Mama mertuaku lagi.
Setelah sempat berpikir sejenak, akhirnya aku mengajak kedua mertuaku ke rumah Kak Neti. Itu tempat yang cocok untuk berbincang, karena hanya ada Kak Neti dan anaknya yang masih kecil.
Suaminya sedang bekerja dan mereka hanya tinggal bertiga di rumah itu.
"Ini rumah si Neti? Cantik juga, ya, rapi dan bersih sama seperti rumah kamu, Ra," ceria Mama mertuaku.
Kami telah tiba di depan rumah Kak Neti. Aku hanya tersenyum saja, lalu memanggil Kak Neti.
"Assalamualaikum, Kak Neti."
Tak ada jawaban, aku pun mengulang sekali lagi dengan lebih kencang. Tak lama pintu depan terbuka dan muncullah Kak Neti yang sedang memakai celemek, sepertinya dia sedang memasak.
"Waalaikumsalam, eh, ada mertuanya Clara juga. Ayo masuk, Tante!" ajak Kak Neti sambil membuka pintunya dengan lebar.
Aku pun mengajak Kak Neti ke belakang sementara kedua mertuaku menunggu di ruang tamu.
Aku meminta izin untuk mengobrol di sini sesuai permintaan Mama mertua. Kak Neti pun tak keberatan malah dia merasa senang kedatangan tamu seperti mertuaku.
Aku pun mengucapkan terima kasih lalu mengajaknya ke depan kembali.
"Silakan, Tante. Bicaralah kelen di sini. Aku di dapur lagi masak, dikit lagi siapnya," kata Kak Neti.
Kedua mertuaku mengucapkan terima kasih. Kak Neti menanggapinya dengan tertawa kecil, lalu meninggalkan kami bertiga.
Mama mertua menatapku dengan tajam, sepertinya ada hal yang ingin ditanyakannya padaku.
"Ada apa, Ma. Bicaralah!"
"Hmm, kalian berbohong tentang si Winda itu, kan? Mama sudah ingat sekarang, dulu pernah melihat wajahnya di foto yang dikirimkan oleh Azzam. Apa mereka sudah menikah karena kulihat dia sedang hamil muda?" todong mertuaku dengan pertanyaan yang membuatku kaget.
Ternyata Mama mertua mulai ingat siapa Winda.
"Ma-maksudnya gimana, Ma?"
"Kamu jangan menutupi kebohongan mereka, Ra. Mereka itu sudah menikah diam-diam tanpa sepengetahuan Mama, kan?
Aku harus berbuat apa? Apa harus aku katakan saja keadaan yang sebenarnya. Agar Mama mertua mau menerima kehadiran menantunya yang sudah
"Katakan, Ra. Mereka itu sudah menikah, kan?"
Bersambung.