webnovel

C L B K

Bab 16 - C L B K

"Mama, maafkan Clara," ucapku sambil menangis.

Aku masuk bergantian dengan Papa yang sudah masuk menemui Mama terlebih dahulu.

Mama tak menjawab, malah tangisannya semakin keras terdengar. Hatiku terasa bagaikan diiris-iris melihat kesedihan di mata mamaku.

Lagi-lagi Mama masuk rumah sakit karena masalahku. Aku jadi menyesal mengambil keputusan untuk berpisah dengan Mas Azzam. Jika saja ... ah, tapi ini bukan salahku! 

Aku harus siap dengan akibat dari keputusan yang kuambil. Sebagai anak aku memang berdosa menolak permintaan orang tua.

Seharusnya aku teruskan saja pernikahan dengan Mas Azzam. Namun, aku juga ingin bahagia. Maafkan aku, Ma!

Tiba-tiba Mama mengelus rambutku dengan pelan. Mulutnya bergetar seperti ingin berkata sesuatu padaku. 

"Mama mau ngomong apa?" tanyaku.

Mama memberi isyarat agar aku mendekat padanya, aku pun mendekatkan telingaku ke bibir Mama. 

"Ma-maafkan Mama. Su-sudah membuat ka-kamu susah. Ka-kamu bo-boleh memilih ... berpi-sah dari Azzam," ucap Mama terputus-putus.

Mama kelihatan sangat kepayahan membuka mulutnya. 

"Mama gak salah, gak ada yang salah. Memang sudah begini jalan yang ditakdirkan untuk Clara, Ma. Yang penting sekarang Mama harus semangat agar cepat sembuh," sahutku.

Mama mengangguk sambil berusaha tersenyum. 

"Sekarang, Mama istirahat. Jangan berpikiran macam-macam, Mama harus sembuh dulu!" sambungku lagi.

Mama mengangguk lagi, lalu memejamkan matanya. Aku mengelus lengannya yang kelihatan lemah dan mulai keriput. 

Padahal umur Mama belum terlalu tua, mungkin karena sedang sakit jadi kulitnya pun ikut bereaksi. 

Tak lama terdengar suara dengkuran halus dari mulut Mama. Beliau sudah tertidur, aku pun keluar dari ruangan agar Mama bisa beristirahat.

Tiba di luar ruangan, Papa mendekatiku. Katanya dia mau pulang dulu untuk mengambil pakaian Mama.

Sambil menunggu Papa datang, aku pun memilih duduk di taman kecil yang ada di samping ruang IGD. Aku menikmati suasana hari menjalang sore dengan pikiran gundah. 

Tiba-tiba ponselku berbunyi, ada panggilan masuk dari Mas Azzam. Segera kujawab panggilannya, ternyata dia sudah mendengar kabar kalau Mama masuk rumah sakit lagi. 

Pasti Papa yang memberitahunya, dia pun meminta maaf belum bisa menjenguk Mama tak bisa izin lagi di kantornya. 

"Gak apa-apa, Mas. Tenang aja, Mama juga sudah sadar, kok. Beberapa hari lagi pasti sembuh," kataku di telepon. 

"Syukur alhamdulilah, kalau begitu. Sampaikan permintaan maaf Mas pada Papa kamu, ya. Nanti jika sudah bisa cuti lagi, Mas akan segera datang ke rumah," sahut Mas Azzam di ujung sana. 

"Iya, Mas. Sudah dulu, ya! Aku mau lihat keadaan Mama," ucapku berbohong. 

Mas Azzam pun mengakhiri panggilannya setelah mengucapkan salam. Lama kupandangi layar ponsel yang telah berubah menjadi hitam.

"Kalau saja kamu tak berbohong, mungkin sekarang kita masih bersama, Mas," keluhku dalam hati.

Cukup lama aku duduk termangu di taman itu, sampai sebuah suara memanggilku. Suara dari seseorang di masa lalu yang tak ingin kutemui lagi. 

"Rara, sedang apa kamu di sini?" tanya Dokter Umam alias Umami.

"Nunggu angkot," jawabku tanpa menoleh. 

Terdengar tawa khas dari Umami, seperti biasa dia bisa tertawa terbahak hanya karena celetukanku.

"Kamu belum berubah, Rara. Masih tetap gokil seperti dulu," ucapnya. 

Kulirik sosok yang pernah kurindu di masa lalu itu. Dia duduk di samping kananku. Aku bergeser sedikit ke kiri agar ada jarak di antara kami. 

"Aku bukan Satria Baja Hitam yang bisa berubah, oh, iya, satu lagi. Jangan panggil aku Rara! Namaku Clara!" protesku. 

Umami, eh, Dokter Umam kembali tertawa. 

"Hari ini sangat bahagia bisa melihat kamu kembali, Rara!" ucapnya setelah berhenti tertawa. 

"Ohya? Aku gak, tuh. Sebaiknya kamu jaga jarak dari aku, jangan terlalu dekat. Nanti suami aku marah!" 

Umami tampak terkejut, matanya membulat dan menatapku tak percaya. 

"Kamu sudah punya suami? Di mana dia sekarang?" 

Itu pertanyaan karena penasaran atau mengejek, ya?

Bertemu dengan Umami--nama kesayangan yang kuberikan padanya--membuatku kembali teringat pada kenangan di masa silam. 

Saat itu aku dan Umami sedang kuliah di kampus yang sama, tapi berbeda jurusan. Umami kuliah di Fakultas Kedokteran sedangkan aku di keuangan.

Kami menjalin kasih kurang lebih tiga tahun lamanya. Namun, Jinan kasih yang dibina sejak berada di tingkat dua itu harus berakhir sia-sia. 

Mamanya Umami tak suka denganku yang hanya ank seorang pegawai di perusahaan swasta. Bagi mamanya yang keturunan ningrat di Jogjakarta iru, bibit, bebet, dan bibirku tak memenuhi kriterianya.

"Imam itu anak saya satu-satu, dia adalah tumpuan dan harapan saya beserta suami. Saya juga sudah mempunyai calon untuk Imam, dia lebih cantik dan juga keturunan ningrat seperti Imam. Saya harap kamu paham maksud saya!" 

Kata demi kata yang diucapkan oleh mamanya Umami serasa menusuk ke dalam jantungku. Perih tapi tak berdarah, itulah yang kurasakan saat itu. Di akhir pertemuan, mamanya Umami meminta dengan sangat agar aku meninggalkannya. 

Aku menuruti permintaan mamanya Umami, perlahan aku mulai merasa jauhinya. Padahal rasa cinta dan sayangku pada Umami sangat besar. 

Umami yang tak tahu apa-apa akhirnya hanya bisa pasrah saat aku meminta putus. Terpaksa demi nama hormat pada orang tua, aku memilih berpisah agar Umami tidak di cap sebagai anak durhaka.

Hubungan kami pun akhirnya kandas dan membuat kami menjadi orang asing sampai akhir semester. Setelah lulus dan sibuk dengan pekerjaan, perlahan aku bisa melupakan Umami. 

"Rara, pertanyaanku belum dijawab?" tanya Umami menyadarkan aku dari nostalgia masa lalu.

Ternyata dia masih duduk di samping kananku. Matanya menatap tajam tepat mengunci pandanganku. 

"Pertanyaan apa?" tanyaku dengan bodohnya.

Umami tersenyum lalu mengacak rambutku, kebiasaannya jika merasa gemas padaku dulu.

"Jaga sikap kamu, Umam! Aku ini wanita yang sudah bersuami!" ingatku sebelum dia bersikap melewati batas. 

"Suami, mama suami kamu? Itu yang aku tanyakan padamu tadi," sahut Umami sambil tertawa.

Tawanya seperti sedang melecehkan harga diriku. 

"Suamiku sedang bekerja di Medan, dia ...."

"Dia sudah punya istri yang sedang hamil, dan kalian akan segera bercerai. Benar begitu, kan?" potong Umami.

Aku berdecak kesal, lalu berdiri hendak meninggalkan dia. Namun, Umami menahan langkahku dengan genggamannya di tanganku.

"Jangan pergi! Maafkan aku, Rara. Aku tak bermaksud membuat kamu marah. Aku tak sengaja mendengar percakapannya dengan papamu kemarin.

"Kamu! Gak pantas kamu menguping pembicaraan orang lain. Lepaskan tanganku!" balasku dengan berteriak. 

"Maafkan aku, Ra. Aku tahu kamu sedang bersedih, aku ingin kembali menjadi sandaran mu, Ra. Kumohon kembalilah padaku!" 

Ini aku bukan sedang ditembak, kan? 

"Maksud kamu apa, Umam?" 

"Aku sudah tahu alasan kamu meminta kita berpisah dulu. Aku sudah berhasil meyakinkan Mama, sekarang aku ingin kita seperti dulu lagi, Ra!" 

Umam menggenggam tanganku dengan sangat erat, wajahnya kelihatan sangat berharap. Namun, aku ingat statusku masih istri dari Mas Azzam. 

Segera kutarik tanganku dan berkata kalau aku tak bisa menerimanya kembali. Umam tampak terkejut. Pasti dia tak menyangka jika aku akan menolak permintaannya. 

"Kenapa, Ra? Kamu akan bercerai dengan suamimu, kan? Aku akan menunggu sampai kamu bebas. Aku ... masih sangat mencintai kamu, Rara!" ucap Umami.

"Maafkan aku, Umam. Kisah kita sudah lama selesai dan aku tak berminat untuk mengulanginya kembali!" 

Tanpa menunggu jawabannya lagi, aku pun meninggalkan Umami sendirian. Aku berdiri di depan ruang IGD, menunggu Mama bangun dari tidurnya. 

Tiba-tiba sebuah tangan menyentuh bahuku, sepertinya Umami belum menyerah. 

"Tolong mengerti aku, Umam. Kita tidak ...." Aku tak melanjutkan perkataanku saking terkejutnya. 

Saat menoleh ke belakang, ternyata bukan Umami yang menyentuh bahuku.

"Mas Azzam!" pekikku kaget.

"Hmm, siapa Umam?" tanyanya balik. 

Bersambung.