webnovel

BUNDA

BUNDA

"Jangan lari!" Teriak Stefan memperingatkan Danish, putranya memang cukup aktif dalam berbagai hal. Sekalipun Danis memiliki tubuh gempal, tetap tak menghalangi kekencangan Danish dalam berlari. Danish tetap berlari, ia tak peduli dengan suara ayahnya yang sudah seperti toa masjid itu.

"Eyang," sapa Danish kepada eyang utinya di meja makan.

"Pagi sayang," Sapa eyang uti Danis. Satu kecupan mendarat di pipi gembulnya.

Stefan berkacak pinggang dihadapan Danish yang sedang asik menerima suapan nasi goreng dari eyang uti. "Ayah udah bilang jangan lari-lari, kalau jatuh gimana?." Omel Stefan. Namun bocah tersebut hanya tersenyum menampakkan deretan gigi putihnya saat sang ayah kembali mengomel.

"Udah si, nggak usah ribut. Kamu juga nggak usah teriak-teriak Stefan. Ini di rumah bukan di hutan!." Stevan menggerutu, begitulah bundanya. Bukannya membela dirinya atas kesalahan Danish, justeru dia lah yang balik kena marah.

"Habisnya Danish ngeselin dan kenapa bunda selalu membela dia?" Stefan masih saja mengomel sambil mengambil sarapan paginya.

"Udah, sarapan dulu. Kalian udah telat sarapannya, lihat sudah jam sepuluh lewat tuh."

Semua anggota keluarga Stefan sudah sarapan, tinggal Danish dan Stefan saja karena mereka telat bangun terutama Stefan.

"Besok kamu nggak boleh se siang ini lho, Stef. Restoran kan buka pagi jam sembilan harusnya kamu berangkat sebelum jam itu."

"Iya bun, habis masih cape akunya."

"Alasan...."

"Kamu titipin anak kamu sama kak Alana kemarin?." Tanya Bunda membuat Stefan yang hendak memasukkan makanan kedalam mulutnya seketika terhenti.

"Iya bun," Jawab Stefan pasrah. Setibanya di Indonesia, Stefan memang langsung mengunjungi kakak nya, anak tertua di keluarga William.

"Anak macam apa kamu ini, kamu kan bisa langsung pulang ke rumah bawa Danish ke bunda. Bukan kamu tinggal gitu aja di rumah Alana dan kamu enak-enak tidur di apartemen."

"Bun, kak Alana yang minta. Lagian anak-anak kak Alana nggak mau jauh dari Danish. Kemarin aja aku kena timpuk mereka karena bawa Danish pulang. "

"Banyak alasan kamu mah...."

"Tanya aja sama Danish kalau bunda nggak percaya."

Mereka bertiga menghiasi sarapan pagi yang sudah cukup telat dengan berbagai bahan pembicaraan. Stefan merasa kesal karena sekarang anaknya lebih memilih bersekongkol dengan bundanya daripada dengan Stefan. contohnya saat sang Eyang bertanya tentang kebenaran akan Danish yang tinggal di tempat Ontinya, si kecil Danish menjawab jika ayahnya sengaja meninggalkan Danish di sana. Stefan dengan lucunya langsung mencebikkan bibir sembari menggerutu kesal.

"Danish mau ikut ayah atau sama yang ti di rumah?"

"Ikut ayah...."

"Pamit dulu sama eyang utinya."

"Yang ti, Danish itut yayah keja dulu. Assalamualaikum, " Pamit Danish pada eyang utinya.

"Yang ti sendirian dong di rumah, "

"Nanti Danish puwang yang ti. "

"Oke oke, waalaikumsalam. "

Stefan bersama Danish berjalan bergandengan tangan keluar dari rumah penuh kehangatan dan cinta itu. Di luar mobil Steven sudah disiapkan oleh Pak Min satpam rumahnya. Mobil Steven terlihat kinclong dan bersih setelah dicuci.

"Jalan sekarang Mas?." Tanya pak Min pada tuannya.

"Iya pak, jaga rumah ya? Kabari saya segera jika ada apa-apa. "

"Siap, Mas. "

Stefan menyamakan tingginya dengan Danish. Ia membetulkan letak topi Danish yang sedikit miring karena ulah jahil tangan Danish sendiri. Mereka berpakaian kembar lengkap atributnya, seperti kebiasaan mereka selama di Paris.

"You are handsome boy... " Puji Steven pada anaknya.

"Ayah uga.... "

"Sudah pasti.... " Jawab Steven bangga.

Stefan membawa Danish ke dalam gendongannya, salah satu tangan Stefann membuka pintu mobil kemudian menurunkan Danish, membiarkan Danish duduk sendiri di kursi penumpang. Tak lupa Steven memasangkan sabuk pengaman milik anaknya.

Setelah dirasa selesai, Steven menutup pintu dan dia memutari bagian depan mobil menuju pintu kemudi. Ia membuka pintu kemudian masuk ke dalam mobil dan siap untuk menjalankan mobilnya ditemani Danish tentunya.

"Siap boy?."

"Siap Yah!"

Brum

Mobil Steven melaju dengan kecepatan sedang menuju Restoran, tak lupa Ia menyalakan musik anak-anak favorit Danish hal ini juga sebagai trik agar Danish anteng dan merasa nyaman di dalam mobil.

"Ayah, nanti Danish mau belenang. Boleh ya, yah?. " Danish memasang muka imutnya untuk membujuk Stefan. Cukup sulit membuat Stefan mengijinkan Danish berenang karena Danish pernah hampir tenggelam saat sejenak ia meninggalkan Danish di pinggiran kolam untuk mengambil minum tanpa ada pengawasan dari siapapun.

"Nggak boleh, ayah nanti harus bekerja. Danish hanya boleh main di dekat ayah. "

"Tapi yah, kata eyang ti aku bisa belenang disana kalena kolamnya nggak dalam."

Stefan memicing, menatap tajam Danish. Rupanya si bunda yang memberitahu Danish jika di Restoran mereka terdapat kolam renang. Ingin rasanya Stefan protes tapi sayang sudah terjadi.

"Pokoknya nggak boleh, harus tunggu ayah selesai bekerja baru kita berenang!!" Putus Stefan.

Danish bersorak gembira, mulutnya tak henti berucap terimakasih kepada sang ayah karena sudah mengizinkan. Danish itu maniak sekali dengan kolam dan kolam renang, sehingga dia langsung antusias kalau melihat atau mendengar kata kolam. Bagaimanapun Steven melarang, Danish akan berusaha membuat ayahnya mengizinkan.

Danish kembali memperhatikan jalanan setelah lelah memuji sang ayah. Ia melihat betapa ramainya kota kelahiran mereka meski jam sudah menunjukkan siang hari. Jalanan masih dibayangi oleh kemacetan, gedung-gedung tinggi menjulang menahan langit. Asap-asap mengepul berkumpul menjadi gumpalan kehitaman di atas sana.

Sesekali Danish bertanya pada Stefan akan apa yang ingin ia ketahui saat matanya menangkap sesuatu yang aneh di kota ini. Tak jarang Danish juga mengeluh akan cuaca panas yang begitu terik, membuat kulitnya tersengat.

Stefan hanya menjawab jika Danish harus terbiasa dengan udara dan cuaca kota tempat kelahiran mereka. Tiga puluh menit lewat 30 detik mereka sampai di parkiran mobil restoran. Stefan terlebih dahulu keluar kemudian membantu Danish keluar dari mobil. Stefan hendak menggendong anaknya tapi dengan sigap Danish menolak. Danis menggeleng menandakan ia tak mau untuk gendong, anak kecil berumur 3 tahun kurang dua bulan itu lebih memilih menggandeng tangan kekar ayahnya kemudian berjalan bersama memasuki restoran.

Hal kecil seperti ini yang kadang membuat Stefan sedih. Anaknya yang manja luar biasa diam-diam berubah menjadi pribadi yang dewasa dan mandiri dari anak seumurannya. Bahkan Steven harus menyiapkan rayuan ataupun ancaman agar Danish mau dimanja-manja.

"Danish duduk si sini, jangan kemana-mana. Ayah akan ke dapur dulu."

Danish mengangguk patuh saat Stefan mendudukkan badan Danish di salah satu kursi pengunjung yang tak jauh dari pintu dapur. Sehingga Steven masih bisa mengawasi Danish dari dapur.

"Janji?."

"Janji, ayah."

"Good, nanti ayah bawakan kesukaan Danish pokoknya."

Stefan masuk ke dalam dapur, ia terlebih dahulu menyapa para karyawannya di bagian masak memasak kemudian ia mencoba dengan tangan tampilnya mengolah bahan menjadi makanan lezat sesuai dengan pesanan pelanggan. Hari ini ia akan melayani secara pribadi bagi pengunjung yang beruntung.

Tak ada kecanggungan saat tangan Stefan memegang pisau pemotong bawang, tuna dan banyak lagi dengan rapi dan cepat. Stefan bahkan mendapatkan beberapa pujian dari karyawannya yang sedari tadi ikut memperhatikan gerakan Stefan.

Berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Danish, anak itu sedang memainkan game dari ponsel Stefan. Bukannya menang, Danish justru selalu membuat kesalahan dalam bermain sehingga tak ada satu poin pun yang ia kumpulkan, meski begitu Danish tetap tertawa. Tawa Danish ternyata menyalur kepada semua orang yang mendengarnya, baik para karyawan mahupun pengunjung yang sedang menikmati makan siang mereka, mereka gemes sendiri melihat kelakuan Danish. Beberapa dari mereka mendekati meja Danish, mengajak Danish mengobrol secara ringan, obrolan khas anak-anak.

"Namanya siapa anak manis?." tanya seorang wanita yang tak lain adalah pengunjung di sana.

"Danish," Jawab bocah cilik itu cuek. Tangan mungilnya masih asik berada di atas keypad telepon genggamnya.

"Jangan cuekin Onti donk, onti kan ingin kenalan dengan Danish." Bujuknya dengan halus berharap Danish memperlihatkan wajah gantengnya.

"Ayo Danish. Onti kasih susu ni, Danish mau kan?."

Danish berbinar kala melihat susu kotak kesukaannya ada di depan mata. Tangan mungilnya hendak meraih susu kotak, namun wanita itu segera menarik susu kotaknya menjauh.

"Mari kita kenalan dulu."

"Onti menyebalkan," rajuk Danish.

"Jangan merajuk jagoan, ini buat kamu."

Akhirnya si wanita menyerah, memberikan susu kotak kepada Danish. Ia mengamati dengan seksama apa yang dilakukan Danish, bagaimana Danish meneguk dengan cepat susunya.

"Onti pulang dulu, besok-besok onti datang lagi dan bawakan Danish susu."

"Iya onti, makasih. "

"Sama-sama, jadi anak yang baik!."

Wanita itu pergi setelah mencuri ciuman di pipi gembul Danish.

Salah seorang pelayan datang menghampiri Danish. Memberikan kepada Danish sekotak susu dan juga makanan ringan pemberian dari Steven.

"Tuan kecil, ini susu dari siapa?." tanyanya pada Danish. Padahal si pak bos baru menyuruhnya, ia takut jika Danish diracuni.

"Dari bunda.”