"Usir! Usir mereka dari desa ini!"
"Betul. Mereka harus pergi sekarang juga!"
"Sumber bencana itu harus kita enyahkan!"
Suara-suara ramai orang berteriak dan mengeluarkan sumpah serapah terdengar dari luar gubuk Nyai Dhira. Tangan perempuan tua itu terlihat gemetaran memasukkan barang-barangnya yang tak seberapa ke dalam buntalan kain.
Di sudut rumah, seorang remaja putri ikut kebingungan dan berjalan mondar-mandir. Dia ingin keluar dan menjawab ancaman orang-orang desa itu tapi dicegah oleh ibunya.
"Mbok! Kenapa kita hanya diam saja? Kita tak bersalah!" protes gadis itu.
"Nalini, mereka sedang gelap mata. Jumlah mereka puluhan orang. Apa yang bisa dilakukan oleh dua orang perempuan lemah seperti kita?" balas Nyai Dhira.
"Tolong ambilkan sisa ramuan obat di dalam karung itu, Nduk!" lanjutnya sambil menunjuk karung kecil di atas meja.
Nalini, gadis remaja itu, menyambarnya dengan cepat. Ia kemudian buru-buru membantu ibunya membereskan barang yang akan mereka bawa.
"Ta-tapi, Mbok … kemana kita akan pergi?!" Nalini berbisik gelisah. Dadanya terasa sesak. Ia tak tahu kemana mereka akan pergi. Gubuk reyot peninggalan ayahnya adalah harta satu-satunya yang mereka miliki saat ini.
Nyai Dhira menggeleng. Tetes air mata tampak bergulir di sudut matanya. Tapi, perempuan itu segera menyusutnya. Ia tak mau terlihat lemah di depan anak gadisnya.
"Ke mana saja, Nduk. Pasti ada tempat berteduh untuk kita. Yang penting saat ini kita menyelamatkan diri dari amukan orang-orang yang kesetanan," jawab Nyai Dhira memcoba tabah.
Nalini tak berkata-kata lagi. Ia tahu, ibunya adalah korban fitnah. Wabah penyakit di desa mereka yang belum bisa diatasi, menjadikan Nyai Dira sebagai kambing hitam. Sudah tujuh orang yang meninggal dalam tiga bulan ini. Sebagai seorang tabib, Nyai Dhira sudah berusaha mengobati mereka, tapi justru dituduh sebagai penyebab bencana.
"Ayo, Nduk. Cepat berkemas!" sergah Nyai Dhira mengagetkan Nalini yang tertunduk melamun.
"I-iya, Mbok." Nalini menyambar buntalan kain yang berisi pakaian dan barang pribadinya. "Kita pergi sekarang?"
Belum sempat Nyai Dhira menjawab, terdengar rumah mereka mulai dilempari batu dari luar.
"Keluar kau dukun jahat!" teriak seseorang dengan nada marah dari halaman rumah mereka.
"Bakar saja rumahnya! Bakar!" seru yang lain memanas-manasi.
Tanpa menunggu lagi, Nyai Dhira dan Nalini berusaha kabur. Gemetar tangan perempuan setengah baya itu membuka pintu dapur. Beruntung halaman belakang rumah mereka ditanami dengan banyak pohon pisang. Batang pohon dan daunnya yang rimbun menghalangi pandangan dari orang-orang yang mulai semakin banyak berdatangan ke rumah mereka.
Nalini terus memegangi ujung kain kebaya yang dikenakan ibunya. Detak jantungnya semakin kencang. Lututnya terasa lemas mendengar suara-suara orang yang mengancam mereka.
Tanpa berkata-kata, tangan Nyai Dhira menggenggam erat tangan anaknya dan menyeretnya. Setengah berlari mereka meninggalkan rumah mereka tepat saat seorang lelaki mendobrak pintu depan rumahnya.
"Hai, dukun jahat! Keluar dan pertanggungjawabkan perbuatanmu!" bentak lelaki itu sambil mencari-cari sosok Nyai Dhira.
Beberapa pemuda terlihat ikut masuk ke dalam rumah dan mulai mengacak-acak isi rumah. Mereka menelisik setiap sudut tapi tak menemukan yang mereka cari.
Seorang pemuda kemudian memeriksa ke dapur dan mendapati pintu yang terbuka. Sepintas ia melihat kelebatan bayang Nyai Dhira dan Nalini di kegelapan malam.
"Mereka sudah kabur! Cepat kita kejar mereka!" serunya.
Seperti diaba-aba, puluhan orang lelaki dewasa berlarian mengejar Nyai Dhira.
"Jangan sampai kita kehilangan jejak perempuan itu!" teriaknya seraya menghunuskan sebilah golok.
Sementara dari depan, terdengar gemeretak bangunan kayu dilahap api. Bau hangus terbakar dan asap yang membumbung tinggi menguar di udara malam.
Nyai Dhira dan Nalini terus berlari menghindari para pengejarnya. Mereka tak peduli kain yang dikenakan mulai compang camping dan robek terkena ranting-ranting tajam.
"Mbok! Mereka membakar rumah kita!" seru tertahan Nalini ketika menengok ke belakang dan menyaksikan kobaran api dari rumahnya.
"Sudah, Nduk. Tak usah dilihat lagi. Kita harus cepat mencari tempat persembunyian!" ujar Nyai Dhira dengan nafas memburu. Ia tahu warga desa tak sekedar membakar rumahnya tapi juga mengejarnya.
Memang benar, tak jauh di belakang mereka, mulai terdengar derap langkah orang-orang yang berlari dan menyingkirkan tanaman perdu dengan bilah pedang atau goloknya.
Nalini tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika mereka sampai menemukannya. Ia mempercepat larinya, meski telapak kakinya perih. Dirasakannya darah mengucur dari kulit yang tertusuk kayu lancip.
Nyai Dhira yang sudah setengah baya mulai kepayahan berlari. Nafasnya tersengal-sengal saking letihnya. Tapi ia tak hendak menyerah. Tangan kanannya terus menggenggam erat lengan anak gadisnya. Hanya satu tujuan yang ada di pikirannya, hutan.
"Aaahh …" Nalini berteriak dan tiba-tiba tubuhnya terjatuh. Rupanya ia kehilangan banyak darah hingga lemas dan tak kuat lagi berlari.
"Nduk! Kamu kenapa?" teriak Nyai Dhira panik.
Cahaya bulan menyinari wajah pias Nalini. Nyai Dhira melihat bibir putrinya pucat. Dengan sigap ia memeriksa bagian tubuh Nalini dan menemukan darah yang mengucur dari kakinya.
"Kamu terluka, Nduk! Kenapa diam saja, hah?!" serunya seraya cepat menyobek ujung kainnya dan membebat luka di kaki Nalini agar menghentikan pendarahan. Hatinya terasa hancur dan pilu melihat kondisi putrinya yang tak berdaya.
"A-aku tak apa-apa, Mbok. Cepatlah sembunyi, tinggalkan aku di sini," ujar Nalini. "Simbok harus selamat …"
Nyai Dhira tak menghiraukan perkataan Nalini. Ia mengangkat tubuh anaknya yang sudah besar itu dan bermaksud menggendongnya. Namun, belum juga terangkat, mereka berdua justru sama-sama jatuh.
Tiba-tiba dari arah balik pohon, seorang pemuda melihat mereka dan berteriak memanggil teman-temannya.
"Mereka di sini! Aku menemukannya!" teriaknya.
Para pengejar Nyai Dhira segera mengepung buruannya dengan muka-muka beringas.
Nyawa mereka berdua kini seolah berada di ujung tanduk.
Seorang lelaki berbaju hitam dan berkumis tebal maju dan menempelkan goloknya tepat di leher Nyai Dhira.
"Angkat wajahmu, dukun sialan!" teriaknya.
Nyai Dhira terpaksa mengangkat wajahnya dibawah ancaman golok. Cahaya bulan memantulkan bayangan golok yang tajam. Dalam sekali tebas, sudah pasti nyawa melayang.
Perempuan itu sudah tak bisa lagi berpikir jernih, hanya jemari tangannya yang semakin erat menggenggam tangan Nalini.
"Sim-simbok …" bisik Nalini lemah. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Ia menangis tanpa suara.
Para pengejar itu semakin merangsek maju. Pandangan mata mereka memancarkan sinar kebencian yang mendalam. Seolah hanya kematian Nyai Dhira yang sanggup memuaskan mereka.
"Nyawamu di ujung golok ini. Sekarang beri tahu kami, bagaimana caranya mengobati warga desa yang sakit itu?" tanya lelaki berpakaian hitam itu.
Nyai Dhira tak kunjung menjawab. Dia terdiam karena memang tidak tahu apa yang menyebabkan orang-orang itu sakit dan dia belum menemukan obat penawarnya.
"Kalau kau tidak mau menjawab. Dalam sekali tebas, kepalamu akan menggelinding ke tanah!" bentak si lelaki berkumis.
"A-ampun … sa-saya benar-benar tidak tahu, wabah itu jenis apa dan bagaimana mengobatinya," terbata-bata Nyai Dhira menjawab.
"Bagaimana mungkin kau tidak tahu? Kau jadi dukun sudah lama, kau juga kemarin memberikan ramuan untuk orang-orang yang sakit itu!" bentak seorang pemuda kerempeng dari arah kanan.
"Aku hanya menolong sebisaku, aku memberikan ramuan dan jamu untuk menguatkan daya tahan tubuh, tapi nyatanya …" Nyai Dhira tak meneruskan perkataannya.
Seorang lelaki maju sambil meludah di depan Nyai Dhira. Cih!
"Kau tak bisa menyembuhkan istriku, kau justru membunuhnya!" teriaknya marah. "Aku bersumpah akan membalaskan kematian istriku!"
Nyai Dhira mengenali lelaki itu. Dia adalah Sapto. Kemarin sore istrinya meninggal setelah sebelumnya meminum ramuan jamu dari Nyai Dhira. Sapto menuduh Nyai Dhiralah yang meracun istrinya dan menghasut orang-orang agar melenyapkannya.
"Mohon ampun, Kang Sapto. Aku tak membunuh istrimu … aku hanya memberikan ramuan penguat, tidak ada racun," jelas Nyai Dhira. Matanya berkaca-kaca. Ia tahu penjelasannya tak akan didengarkan oleh orang yang sedang marah sekaligus bersedih.
"Banyak saksinya. Kau yang membuatkan ramuan aneh. Begitupun dengan orang-orang yang telah kau berikan ramuan itu. Semuanya meninggal! Mau alasan apalagi?" sergah Sapto sambil menarik kepala Nyai Dhira.
"Sudah habisi saja dia," ucap lelaki berkalung sarung. "Tak usah banyak cingcong. Jika dibiarkan hidup, dia akan semakin banyak membawa bencana untuk desa kita."
Nalini yang sudah hampir pingsan tiba-tiba kekuatannya bangkit saat mendengar orang-orang itu hendak membunuh ibunya.
"Bunuh saja aku, tapi jangan kalian bunuh ibuku!" seru Nalini sembari tubuhnya melindungi ibu. Golok tajam itu pun hanya berjeda beberapa inci dari lehernya.
Orang-orang itu mengamati Nalini. Meski kondisinya tak karuan dan wajahnya pucat pasi, alangkah sayangnya membunuh gadis secantik Nalini.
"Kau jangan mati dulu. Sayang sekali kecantikanmu belum ada yang menikmati. Jadilah istri mudaku, aku akan membebaskanmu. Bagaimana?" Lelaki berkumis maju dan mendekati wajah Nalini hingga hanya berjarak sejengkal tangan.
Mana sudi Nalini menukar nyawa ibunya dengan kebebasan dirinya. "Aku tak mau!" jawab Nalini galak sembari memalingkan mukanya. Hembusan nafas lelaki itu terasa di atas dahinya.
"Hahaha … hahaha!" para pengeroyok itu tertawa melihat Nalini yang menolak mentah-mentah tawaran jadi istri muda.
"Sudah, pisahkan mereka. Bawa gadis ini dan habisi ibunya!" ujar lelaki yang mengacungkan golok.
Sapto merangsek maju dan menarik tubuh Nalini, menjauhkannya dari Nyai Dhira.
"Mbok! Simbok ...!" teriak Nalini putus asa. Air mata bercucuran dari kedua sudut matanya.
Sapto membawa Nalini menjauh dari lokasi itu.
Lelaki pembawa golok sudah mengangkat senjatanya dan siap mengeksekusi Nyai Dhira.
Tring!
Golok tiba-tiba terlepas dari tangan dan jatuh ke tanah. Sebutir kerikil yang dilempar dari jarak jauh adalah penyebabnya.
Lelaki berkumis terpana dan mundur ke belakang.
Sesosok lelaki berbaju putih dan bercaping tiba-tiba sudah berdiri tak jauh dari tempat itu. Kedua tangannya bersedekap. Posisinya santai sekali meski tahu sedang berada di saat kritis.
"Siapa kau? Berani-beraninya datang ikut campur!" seru Sapto.
Lelaki itu melemparkan lagi sebutir kerikil pada Sapto. Meski cuma sebutir rupanya lemparan itu cukup kuat dan membuat tubuh lelaki itu terjengkang ke belakang.
Nalini segera melarikan diri dari Sapto dan menghambur pada ibunya.
"Habisi dia! Tak usah banyak basa-basi, angkat semua senjata kalian!" perintah lelaki bersarung sambil menghunus golok panjangnya dan maju menyerbu penolong Nyai Dhira.
Teman-temannya ikut maju dan mulai mengeroyok sosok bercaping.
Namun, rupanya lelaki itu bukan orang sembarangan. Puluhan pengeroyok itu sama sekali bukan lawan yang berat untuknya. Ia hanya menghindari serangan dan beberapa kali mengeluarkan jurus untuk melumpuhkan pengeroyoknya.
Dalam beberapa pukulan saja, semua pengeroyoknya sudah tumbang tak berkutik. Mereka mengaduh, merasakan tubuhnya yang kaku dan tak bisa bergerak.
Sosok bercaping lalu menghampiri Nyai Dhira dan Nalini. "Ikuti aku. Akan aku tunjukkan tempat yang aman untuk kalian," ujarnya.
Nyai Dhira dan Nalini saling berpandangan satu sama lain, walaupun tidak ada kalimat yang dilontarkan oleh mereka tetapi tatapan keduanya seolah saling terhubung.
Siapa orang asing yang menawarkan pertolongan itu? Bagaimana jika dia ternyata memiliki niat jahat? Atau bahkan ingin membunuh mereka juga!