webnovel

Perahu Darurat

Sungai itu ternyata cukup dalam, arusnya kuat akibat dorongan dari aliran air terjun yang berada tak jauh dari sana. Tangan Nyai Dhira terlihat menggapai-gapai. Tubuhnya timbul tenggelam karena tak bisa berenang. Matanya perih kemasukan air. Paru-parunya serasa mau meledak karena mulai sulit menghirup oksigen.

Suara Nalini yang berteriak-teriak lambat laun terdengar sayup di telinganya. Nyai Dhira tak kuasa lagi bergerak, tenaganya habis, seluruh tubuhnya lemas. Perempuan itu sudah pasrah, hanya kegelapan yang kini dilihatnya.

Tepat saat sisa-sisa kesadaran Nyai Dhira masih menyatu dengan badannya, ia merasakan tubuhnya diangkat dan diseret keluar dari dalam air. Setelah itu ia tak ingat apa-apa lagi.

Nalini berlari-lari menembus ilalang tinggi. Gadis itu menghampiri Eyang Guru yang sedang berusaha mengeluarkan air dari perut ibunya. Wajah Nyai Dhira tampak pucat, bibirnya membiru dan tak berdaya.

"Mbok, sadar … jangan pergi, Mbok," isak Nalini sambil menggoncang-goncang kaki ibunya.

Eyang Guru berkali-kali mengeluarkan air yang tertelan oleh Nyai Dhira. Tapi perempuan itu belum kunjung siuman. Kelelahan fisik bercampur dengan tekanan mental membuatnya sulit untuk dibangunkan lagi.

"Bagaimana ibu saya, Guru?" tanya Nalini cemas. Ia terus memijit kaki Nyai Dhira. Berharap ibunya segera membuka mata.

"Dia sangat kelelahan. Baringkan sejenak dan biarkan dia istirahat," jawab Eyang Guru. "Aku akan menyalurkan tenaga dalam supaya ibumu bisa bertahan," imbuh lelaki tua itu kemudian mengambil posisi bersila di atas kepala Nyai Dhira.

Kedua tangan Eyang Guru terangkat tepat di atas kepala Nyai Dhira. Ia menyalurkan energi hangat yang perlahan masuk dan menyebar ke seluruh tubuh perempuan yang pingsan itu.

Setelah beberapa lama, tangan Nyai Dhira terlihat bergerak dan menggapai-gapai. Matanya perlahan terbuka. Dilihatnya Nalini yang sedang memijat ujung kakinya.

"Nduk …" ucapnya lemah. Nyai Dhira berusaha mengangkat tubuhnya tapi dirasakannya seluruh persendiannya terasa lemas seperti mau lepas.

Nalini sontak mengangkat kepalanya dan gembira melihat ibunya sudah siuman. "Simbok sudah sadar? Syukurlah," katanya lega. Gadis itu kemudian membantu ibunya duduk dan menyandarkan di bahunya.

Langit di ufuk timur mulai terlihat berwarna merah. Rupanya sudah semalaman mereka melarikan diri dan melintasi hutan belantara. Entah di sisi hutan sebelah mana mereka berada saat ini. Tempat itu sangat sepi. Tak terlihat tanda-tanda pernah terjamah tangan manusia.

"Tunggu sebentar. Kita harus segera sampai di dalam gua sebelum matahari terbit," ujar Eyang Guru sembari beranjak dari tempat itu.

Nalini menjawab dengan menganggukkan kepalanya. Semakin lama kenal dengan lelaki tua itu, rasa percayanya tumbuh semakin dalam. Ia yakin, Eyang Guru orang baik dan bukan manusia sembarangan. Ia merasakan aman berada di dekatnya.

Nyai Dhira tiba-tiba teringat dengan kaki anaknya yang robek. Ia khawatir luka itu bertambah menyakitkan dan membuat putrinya menderita.

"Bagaimana dengan cederamu, Nduk?" tanya Nyai Dhira berusaha memeriksa kaki kiri putrinya. Nalini berusaha menyembunyikan lukanya dengan menarik kakinya.

"Tidak apa-apa, Mbok. Sudah tidak berdarah lagi," balas Nalini. Ia tak mau ibunya mengkhawatirkan dirinya. Meski rasa nyeri masih dirasakan, tapi seolah tertutup dengan daya juang yang harus terus dipompa agar mereka bisa tetap hidup.

Nyai Dhira menengok ke kanan dan ke kiri, mencari sesuatu. "Di mana buntalan barang bawaan kita, Nduk?" tanyanya cemas. "Ada kantong obat dan ramuan yang bisa mengobati lukamu di sana," ujarnya. Nalurinya sebagai penyembuh tetap muncul meski berada di kondisi terburuk.

"Itu, Mbok. Ada di bawah pohon pisang itu," jawab Nalini sambil menunjuk buntalan kumal milik mereka. "Tapi yang tadi dibawa Simbok sepertinya hanyut tak bisa diselamatkan," ucap Nalini seraya menunduk sedih.

"Tidak hanyut, ini aku bawakan." Suara Eyang Guru muncul dari balik rimbun tanaman perdu. Tangan kanan dan kirinya tampak menyeret benda panjang dan besar. Sepertinya berat tapi lelaki itu ringan saja menjinjingnya.

Nalini memperhatikan dan mengenali benda itu adalah batang pohon pisang. Rupanya Eyang Guru tadi pergi mencari batang-batang pisang yang besar dan kuat.

Lelaki itu kemudian meletakkan gedebog pisang tak jauh dari pinggir sungai. Ia kembali menghilang tapi sejurus kemudian sudah muncul lagi dengan dua tanda pisang yang sudah tua. Sisir pisang paling atas mulai terlihat menguning.

Eyang Guru mengambilkan beberapa buah pisang yang sudah masak dan memberikannya pada Nalini. "Makanlah dulu, kalian perlu tenaga sebelum berjalan lagi," ucapnya.

Nalini menerimanya dan mengupaskan pisang yang paling masak untuk ibunya. "Ini, Mbok. Dimakan dulu." Pandangannya lalu beralih pada lelaki itu. "Terima kasih, Eyang Guru," ucapnya tulus.

Eyang Guru mengangguk dan kembali meneruskan kesibukannya. Ia memotong gedebog pisang yang panjang itu menjadi empat bagian lalu disusun sejajar. Setelahnya, ia memotong batang pohon kecil dan meruncingkan ujungnya untuk menyatukan keempat batang itu. Terakhir, diikatnya kuat-kuat dengan tali dari pelepah dahan pisang yang sudah tua dan dibuang daunnya.

Eyang Guru membuat rakit darurat. Ia tersenyum puas melihat hasil kreasinya. "Baiklah, sudah jadi perahu ini," ucapnya dengan bangga.

"Perahu? Itu rakit guru, biasa dibuat anak-anak di sungai jika banjir," celetuk Nalini. Ia berulangkali melirik sosok Eyang Guru yang kini semakin jelas karena langit sudah mulai terang. Lelaki tua itu mengenakan baju putih seperti seorang pandita, ikat kepalanya juga putih, tertutup caping lebarnya. Tubuhnya masih terlihat kuat dan gagah, meski tak lagi muda.

"Terserah mau kau sebut apa saja, Nduk. Benda ini akan membawa kalian menyeberangi sungai dan menembus masuk ke gua. Apa kaliah sudah siap berangkat sekarang?" tanyanya sembari membereskan peralatannya.

"Baik, Guru. Semakin cepat pergi dari tempat ini semakin bagus," ucap Nalini. Ia berdiri dan memapah ibunya yang sudah mulai bertenaga. Mereka mengikuti Eyang Guru yang sedang mendorong rakit batang pisang ke pinggir sungai.

'Perahu darurat' itu mengapung di atas sungai dengan baik, menunggu para penumpangnya.

"Naiklah kalian berdua, aku akan berenang dan mendorongnya menembus air terjun," perintah lelaki itu. Ia kemudian terjun ke dalam air sungai dan memegangi sisi belakang rakit.

Nalini dan Nyai Dhira pelan-pelan naik dan duduk di atas batang-batang pisang. Baju mereka tetap basah terkena air yang masuk, tapi setidaknya itu jauh lebih baik daripada harus berenang sendiri. Dua tandan pisang dan buntalan kain ikut dinaikkan di atas rakit.

Eyang Guru perlahan mendorong mereka melawan arus. Bukan pekerjaan yang mudah, beberapa kali rakit seperti oleng dan nyaris terbalik. Tapi lelaki itu meyakinkan para penumpangnya untuk tetap tenang dan diam saja di atas rakit. Tentu saja, ia kembali menggunakan kesaktiannya agar perahu darurat itu tetap stabil berjalan dan berhasil membawa muatan.

"Berpegangan erat-erat, kita akan menembus air terjun itu!" teriak Eyang Guru kencang agar terdengar di tengah debur dan suara keras air terjun. Tinggal beberapa jengkal lagi mereka melewatinya.

"Iya, Guru." Nalini menyahut sembari menguatkan cengkeraman tangannya di rakit. Rambut dan bajunya mulai basah terkena percikan air. "Pegangan, Mbok!" Nalini juga mengingatkan ibunya.

Dalam satu sentakan yang cukup kuat, rakit berhasil menembus air terjun. Nalini dan Nyai Dhira gelagapan saat air menyiram tubuh mereka tanpa jeda. Basah kuyup semuanya. Spontan mata mereka menutup agar tidak kemasukan air.

Saat air tak lagi mengguyur tubuh, mereka pelan-pelan membuka mata. Tadinya Nalini membayangkan gua itu gelap dan menyeramkan, tapi ternyata dugaannya salah.

"Mbok, benarkah ini gua??" tanya Nalini dengan mulut ternganga. Ia sungguh takjub dan tak habis pikir ada tempat seindah itu di balik air terjun, di tengah hutan lebat pula.

"I-iya, Nduk. Simbok juga baru tahu ada tempat seperti ini," sahut Nyai Dhira sembari mengagumi tempat baru yang mereka datangi.

Dinding-dinding gua tampak terang, entah terbuat dari jenis batuan apa. Permukannya halus, lebih mirip sebuah lorong daripada gua alami yang dipenuhi stalakmit atau stalaktit. Terdapat pilar-pilar berjajar rapi di sepanjang tepinya. Di atas pilar itu ada batu putih sebesar buah kelapa. Nyalanya tidak menyilaukan tapi cukup terang. Sepertinya terbuat dari bahan yang sama dengan benda yang semalam digunakan Eyang Guru sebagai penerangan.

Nalini semakin heran saat melihat beraneka tanaman bunga tumbuh di sela-sela pilar. Beberapa bunga dikenalinya, seperti mawar dan melati tetapi selebihnya belum pernah dilihatnya. Gadis itu berdecak kagum mengamati keindahan yang tersaji di depannya.

"Eyang Guru, apa ini surga?" tanya Nalini tiba-tiba. Ia yang memang memiliki sifat selalu ingin tahu tak bisa membendung pertanyaan yang menumpuk di kepalanya.

Eyang Guru terkekeh mendengar pertanyaan Nalini. "Surga di bumi, itu baru betul, Nduk." Lelaki itu menjawab sembari menyandarkan rakit di tepi sungai. Air di bawahnya terlihat sangat bening dan bersih.

"Turunlah, kita sudah sampai. Ada ruangan yang bisa kalian gunakan untuk istirahat di sini," ujar Eyang Guru. Ia berjalan mendahului dan menuju sisi lain gua yang lebih mirip seperti ruangan.

Ada beberapa ruangan di dalam gua itu. Semuanya terawat dan dibuat seperti kamar yang bisa digunakan untuk tidur. Bahkan, ada dipan kecil, tikar lipat dan setumpuk selimut hangat.

Di ujung lorong ada ruangan terbuka yang lebih besar. Rak-rak berisi persenjataan tampak berjajar rapi di salah satu sudut. Beraneka macam keris, tombak, pedang dan panah ada di sana. Semuanya terlihat istimewa.

Nalini juga melihat ada lemari tinggi berisi kotak-kotak kayu kecil yang bersusun. Masing-masing kotak kayu diberi tulisan yang menunjukkan isinya. Sayang sekali gadis itu tak bisa membaca. Ia tak pernah belajar aksara.

Melihat semua yang ada di dalam gua, Nalini semakin tercengang. Ia mencubit tangannya sendiri. Terasa sakit. Ini bukan mimpi atau ilusi semata. "Ini nyata, Mbok," ucapnya lirih seraya menoleh pada ibunya.

Nyai Dhira yang masih terbengong-bengong hanya bisa membesarkan kedua netranya. Ia bertanya lewat sorot mata, 'Sebenarnya kita di mana? Siapa lelaki misterius itu?'

Seolah mengerti dengan pertanyaan ibunya, Nalini menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku juga tak tahu, Mbok. Anggap saja dia dewa penolong kita," bisiknya lirih, takut didengar oleh Eyang Guru yang berdiri tak jauh dari mereka.

Meskipun berbisik, Eyang Guru mendengarnya. Tapi ia diam saja dan hanya menyunggingkan senyuman kecil. 'Kalau kalian tahu siapa aku, mungkin kalian akan pingsan.'