"Jangan takut. Aku tak akan membunuh kalian," ucap lelaki itu datar. Tangan kanannya membuka caping yang menutupi wajahnya.
Cahaya bulan tanggal tiga belas menampilkan wajah pria berumur sekitar 60 tahun. Rambut dan cambangnya yang panjang berwarna kelabu. Sorot matanya tajam tapi ramah. Senyuman kecil tersungging di bibirnya.
"Apa kalian melihat tampang penjahat di wajahku?" tanyanya sembari menatap Nyai Dhira dan Nalini bergantian.
"Te-terima kasih sudah menolong kami. Siapa sebenarnya anda, Kisanak?" Nyai Dhira memberanikan diri bertanya. Tubuhnya gemetar menahan rasa takut yang masih melingkupinya. Nyaris saja nyawanya melayang terkena sabetan golok jika tak diselamatkan lelaki itu.
Lelaki itu memakai lagi capingnya dengan gerakan halus. Setengah wajahnya kembali tertutup.
"Aku tak punya nama. Terserah kalian mau memanggilku siapa," ujarnya sembari terkekeh. Kedua tangannya bersedekap, seperti tak peduli mau bagaimanapun pendapat orang tentangnya.
Nalini yang mulai kembali mendapatkan keberanian mencoba bertanya. "Bagaimana mungkin seseorang tidak bernama? Aku yakin Guru sengaja menyembunyikan identitas."
Lelaki itu tergelitik dengan pernyataan gadis muda di depannya. "Kamu cerdas, Nduk. Karena itu, kuberikan kesempatan untukmu memanggilku apa saja," ucap lelaki tua itu. Ia masih tak ingin menyebutkan nama aslinya.
"Eyang Guru. Aku akan memanggilmu dengan nama itu," ucap Nalini mantap. Entah dapat ide dari mana, tiba-tiba Nalini ingin sekali berguru pada lelaki itu.
"Nduk," tegur Nyai Dhirah sembari menyenggol lengan Nalini. Iya tak ingin anaknya ceroboh mempercayai orang yang baru mereka kenal. Alis matanya berkerut memperingatkan.
"Tenang saja, Mbok. Aku rasa dia orang baik. Kalau dia jahat tak mungkin menyelamatkan kita dari keroyokan orang kampung itu," bisik Nalini di telinga ibunya. Nyai Dhira terdiam, benar juga apa yang dikatakan anaknya.
"Hmm, tapi aku bukan seorang guru. Aku hanyalah pengelana yang kebetulan sedang lewat di sini," ucap lelaki misterius itu. Ia berbalik badan dan memberi isyarat pada Nyai Dhira dan Nalini untuk mengikutinya sekali lagi.
"Ada gua rahasia di dalam hutan sana, jika kalian percaya padaku. Tempat itu tak diketahui oleh orang desa, bahkan oleh para pendekar sekalipun," terangnya seraya melangkahkan kakinya.
Nyai Dhira menggoyang lengan Nalini. Dia masih ragu tapi seolah tak ada pilihan lain selain mengikuti lelaki itu.
"Sudah, Mbok. Kita ikuti dia saja. Kalau pergi sendiri belum tentu juga kita selamat. Lihat orang-orang yang pingsan itu, sebentar lagi mereka sadar dan akan mengejar kita lagi." Nalini panjang lebar membujuk ibunya.
Gadis itu tertatih berdiri. Raya nyeri bersumber dari kaki kirinya yang terluka dan kini seolah merayapi sekujur tubuhnya. Ia meringis, tapi tak ingin mengeluh.
Nyai Dhira ikut bangkit dan menopang Nalini. "Hati-hati, Nduk. Kakimu terluka cukup dalam," ujarnya.
Nalini mencoba berjalan meski sambil terpincang-pincang. Ia menahan rasa perih yang luar biasa.
Mereka berjalan perlahan mengikuti lelaki tua itu.
Rupanya sang penolong sangat hafal tempat itu. Ia membuat jalan pintas. Tak lama mereka sudah masuk ke dalam hutan yang lebat dan gelap.
"Eyang Guru, jangan cepat-cepat. Gelap sekali hutan ini, kami tak dapat melihat apapun," ujar Nalini. Bulu kuduknya seketika berdiri melihat pohon-pohon besar yang berdiri samar-samar. Jika tak awas bisa saja ia menabraknya.
Tak banyak cakap, lelaki yang dipanggil Nalini sebagai Eyang Guru mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Entah apa itu, tapi benda itu terlihat memantulkan cahaya dalam gelap.
Meski redup, tapi benda itu sangat menolong mereka agar tak kehilangan jejak.
Semakin masuk ke dalam hutan, suasana bertambah menyeramkan. Sesekali terdengar bunyi burung atau hewan-hewan liar yang melintas. Nalini memegang erat tangan Nyai Dhira.
Tak ada yang berbicara di antara mereka. Masing-masing awas memasang mata dan telinga.
Ketika berada di bawah deretan pohon asam besar, langkah kaki Nalini tiba-tiba terhenti. Sendi-sendi lututnya seolah kaku tak bisa digerakkan. Hanya tangannya yang mengacung menunjuk ke sebelah kiri dan kanan mereka. Ia melihat beberapa pasang sinar yang menyala dari arah kegelapan.
"Mbok ... apa itu?" lirih suara Nalini di tengah ketakutan yang menjalari sekujur tubuhnya.
Nyai Dhira ikut menghentikan langkahnya. Keringat dingin sebesar jagung dirasakannya berjatuhan di punggungnya.
"I-itu maung, Nduk. Macan," bisiknya nyaris tak terdengar. Tenggorokannya terasa kering. Bahkan untuk menelan ludah pun dirasakannya sakit.
"Gu-guruuu ..." Nalini berseru tertahan memanggil Eyang Guru.
Tiga pasang mata yang menyala semakin mendekat ke arah mereka. Kini mulai terdengar suara aumannya yang khas.
ROARRGH ... ROARGHHH
Eyang Guru menghentikan langkahnya dan bersikap waspada. Meski begitu ketenangannya patut dipuji. Lelaki itu justru seperti menunggu kedatangan kawanan macan itu.
"Mendekatlah kawan, kami temanmu, aku tidak takut," ucap Eyang Guru. Tangannya yang membawa batu bercahaya terbuka agar bisa lebih terang. Benar saja, dilihatnya dua macan loreng dan satu macan hitam mengepung mereka.
Suara menggeram terdengar semakin keras, ekor mereka berkibas-kibas siap menyerang.
Eyang Guru tampak bersedekap lalu memejamkan matanya. Ia berulangkali menarik nafas dan mulai merapal mantra. Lelaki tua itu berusaha mengadakan kontak batin dengan harimau yang mengepungnya.
"Kami hanya numpang lewat, tak ada maksud jahat. Kami masuk hutan ini karena ingin menyelamatkan diri dari kejaran musuh." Eyang Guru berkata-kata seolah sedang menjawab pertanyaan para harimau itu.
Auman harimau kembali terdengar. Ketiganya berjalan pelan mengelilingi mangsanya.
Eyang Guru masih bersikap tenang-tenang saja. Ia tak mengeluarkan sebilah senjata pun.
Sementara Nyai Dhira dan Nalini saling berpelukan dan menggigil semakin ketakutan.
'Oh, apakah ini akhir hidupku? Lepas dari kejaran orang desa malah berujung terperangkap di sarang harimau,' suara hati Nyai Dhira meratapi nasibnya.
Seolah membaca ketakutan ibunya, Nalini berbisik di telinganya.
"Aku percaya Eyang Guru orang hebat, Mbok. Lihat, dia seperti sedang berunding dengan harimau itu."
Nyai Dhira mengangguk lemah. Ia memang berharap lelaki tua itu membawa keajaiban lagi.
Benar saja, macan yang berwarna hitam melangkah maju mendekati Eyang Guru. Hewan besar itu berjalan dengan anggun dan penuh wibawa.
"Oh jadi namamu, Mandala. Kamu yang berkuasa di sini? Salam hormatku untukmu." Eyang Guru membungkuk pada macan hitam itu dengan takdzim.
Aneh. Kucing besar itu seperti mengerti dan menundukkan kepalanya, membalas salam Eyang Guru.
"Terima kasih sudah mengijinkan kami menumpang untuk sementara di hutan ini," ucap Eyang Guru lagi sambil membelai kepala macan hitam itu dengan hati-hati.
Satu auman keras terdengar dari Mandala. Ia seolah menjawab perkataan Eyang Guru.
Perlahan kawanan harimau itu berjalan menjauh lalu menghilang di kegelapan malam. Suara aumannya terdengar sayup-sayup seperti memberi pengumuman. Semacam pemberitahuan untuk seluruh warga hutan agar tidak menganggu tamu yang datang di wilayah mereka.
Nalini menarik nafas panjang. Diusapnya air mata yang tak sadar sudah mengalir di pipinya sedari tadi.
"Kita selamat lagi, Mbok," ucapnya terbata. Ia sangat terharu sekaligus bersyukur. Berulangkali nyawa mereka seperti berada di ujung tanduk.
"Iya, Nduk. Eyang Guru berhasil membujuk mereka," kata Nyai Dhira. Sejak kecil ia sudah sering mendengar cerita kawanan macam yang menjaga hutan di pinggir desa mereka. Siapa sangka malam ini mereka benar-benar bertemu dengan raja hutan itu.
"Terima kasih, Guru." Nyai Dhira menghaturkan hormat pada lelaki berbaju putih itu.
"Ayo jalan lagi. Sebentar lagi kita sampai," ajak Eyang Guru. Kali ini ia berjalan lebih lambat. Dua perempuan yg mengikutinya sudah sangat letih ditambah salah satunya cedera.
Mereka terus bergerak. Jalanan yang mereka lewati selanjutnya cukup terjal dan menanjak. Nyai Dhira dan Nalini sesekali harus berjalan merangkak agar tak terpeleset.
Setelah melewati puncak tanjakan, terdengar suara air terjun dan gemericik air. Gua yang mereka tuju belum juga terlihat.
"Guru, apakah masih jauh?" tanya Nalini seraya menghela nafas. Dia benar-benar sudah lelah. Tubuhnya terduduk lemas di atas rerumputan. Anak-anak rambut berjatuhan di dahinya.
Eyang Guru menunjuk air terjun. "Itu di depan, sudah sampai," ucapnya datar.
Nyai Dhira memicingkan matanya. Ia tak melihat mulut gua. Yang dilihat hanyalah air terjun yang cukup besar. Suara gemuruhnya terdengar tiada henti.
"Di balik air terjun itu, ada gua rahasia. Kita harus berenang dan menerobos ke sana," jelas Eyang Guru. Tangannya menyibak tanaman ilalang setinggi lutut, bermaksud membuka jalan ke arah sungai.
Nalini terkesiap mendengar ucapan Eyang Guru. "Hah? Berenang? Malam-malam gelap begini?
Nyai Dhira ikut kebingungan. Seumur hidup ia tak pernah berlatih berenang. Belum lagi dengan kebaya dan kain yang melilit tubuhnya. Bisa jalan cepat saja sudah bagus.
"Maaf, Guru. Kami tak bisa berenang," ucap Nyai Dhira. Ia berharap Eyang Guru mempunyai jalan pilihan lain.
Eyang Guru memperhatikan dua perempuan di depannya. Dihelanya satu nafas panjang. Tampaknya ia berusaha untuk bersabar. Resiko bepergian dengan perempuan, antara sering mengeluh atau cerewet.
"Aku tak memaksa kalian, kalau keberatan ikut, aku tinggalkan saja kalian di sini," ucapnya dengan nada tak peduli.
"Ampun, Guru. Ampun. Kami ikut," sela Nalini sambil cepat-cepat bangkit dari duduknya. "Ayo Mbok. Kita pasti bisa berenang."
Nyai Dhira mengangguk lemah. Di saat-saat sulit begini, putrinya selalu bisa menjadi penyemangat hidup untuknya.
Tertatih mereka berdua mengikuti jejak langkah Eyang Guru. Jalanan terasa licin tertutup rerumputan yang basah oleh embun pagi. Batu-batu hitam menonjol tak beraturan menambah sulitnya medan.
"Pegang tangan Simbok erat-erat, Nduk." Nyai Dhira mengulurkan tangannya saat mereka hendak melewat turunan yang cukup curam.
Nalini menggapai tangan ibunya.
Namun, belum sempat mereka berpegangan tangan, Nyai Dhira kehilangan keseimbangan. Kaki kirinya tersandung batu dan membuatnya jatuh bergulingan ke bawah.
Nalini tak bisa mencegahnya. Kejadian itu begitu cepat. Matanya membelalak lalu ia berteriak kencang-kencang.
"Mbookk ... Simbookk!"
Tubuh Nyai Dhira terus menggelinding jatuh ke bawah. Tak ada batu besar atau pohon perdu yang menahannya. "Toloong ...!" jeritnya dengan putus asa.
Eyang Guru tampaknya juga kaget dan baru menyadari apa yang terjadi. Sontak lelaki tua itu meloncat-loncat, menyusul turun dengan ilmu meringankan tubuhnya.
Tapi terlambat ... Ia kalah cepat.
BYUR!
Suara tubuh Nyai Dhira yang tercebur ke sungai terdengar oleh Nalini.
Gadis itu tak peduli lagi dengan rasa sakit di kakinya, ia buru-buru menuruni tebing sungai, hendak mengejar ibunya.
"Mbok, tunggu aku!"