Zara dengan cekatan membereskan beberapa perlengkapannya ketika memasuki kamar mereka. Zia yang menyusulnya belakangan, hanya menatap wanita yang memiliki tubuh semampai itu. Berjalan ke sana kemari merapikan barang-barangnya.
Zara merasa ada yang memperhatikan, ia menolehkan kepalanya ke arah pintu, dan tangannya masih sibuk melipat beberapa pakaian di hadapannya. Laki-laki itu tengah bersandar dengan bersedekap dada, menyorotkan kebahagiaan dari balik matanya. Senyum itu, senyum yang terlukis di wajahnya sangat tampan dan tampak berwibawa.
"Kalau berdiri terus seperti itu, nanti bisa diabetes loh." Ucap Zara. Ia sudah tidak malu lagi untuk melontarkan candaan yang ada dalam kepalanya.
"Kok bisa?" Tanya Zia dengan alis yang sedikit berkerut. Ia melenggang masuk dan mendudukan diri di atas tempat tidur yang dipenuhi pakaiannya dan pakaian Zara.
"Karena kamu terus menikmati manisnya diriku." Jawabnya dengan kerlingan mata. Lalu ia mengangkat tangannya untuk menutupi senyumannya.
"Wah.. wah.. wah.. Gadis ini sudah pintar menggombal ya." Ucapnya ia mengulurkan tangannya menarik Zara ke dalam pelukannya.
Zara yang tertarik ke bawah, langsung mendudukan diri di atas pangkuan laki-laki yang memiliki aroma memabukkan itu. Mereka saling menatap satu sama lain, mengalirkan cerita pada hati yang yang kian menggembur penuh taman bunga.
Zia mengecup singkat bibir di depannya, "Manis." Ucapnya polos.
Zara tersenyum, lagi dan lagi ia mendapatkan ciuman singkat itu di bibir. Tentu saja ia berbunga-bunga, wanita mana yang tidak akan bahagia diperlakukan seperti itu oleh lelakinya. Zia sungguh pintar membuatnya terbang. "Sudah, hentikan.. Biarkan aku berkemas, biar cepat selesai. Sebentar lagi makan siang tiba, kau pasti lapar." Ucap Zara dengan lembut. Ia mengelus rambut pendek Zia dengan aliran kasih sayang dari setiap jarinya.
"Aku tidak akan lapar selama kamu di sini.." Balasnya.
Zara hanya memutarkan bola matanya, "Yakin?" Tanya Zara dengan penuh telisik.
Zia mengangguk dengan semangat, lalu ia membisikan "Karena aku bisa memakanmu setiap saat." Kata-kata itu membuat pipi Zara merah merona.
"Tapi, untuk memakanku kamu membutuhkan energi yang banyak." Timpalnya lagi, ia berdiri melepaskan diri dari pelukan sang kekasih. Lalu, ia mengerlingkan matanya membuat Zia tak bisa menahan nafasnya. Ia baru sadar, ternyata istrinya tak sepolos yang ia kira.
Zara kembali melipat pakaian mereka, dan tangan Zia terulur membantunya agar pekerjaan itu cepat selesai. Jam menunjukan pukul 11.25, mereka telah menyelesaikan perlengkapan yang akan mereka bawa.
"Selesai.. Makasih sayang." Ucap Zara dengan senyum yang lebar di wajahnya. Ia menghembuskan nafasnya lega.
Zia yang tengah terlentang di atas tempat tidur berwarna hitam yang bercorak itu membuka matanya dengan cepat. Ia merasakan kebahagiaan baru setelah mendengar kata sayang yang pertama kali Zara ucapkan padanya, padahal ia tak pernah mau walaupun di paksa dengan hebat.
Ia menarik tangan Zara yang tengah berdiri di hadapannya. Dalam hitungan detik gadis itu limbung dan menjatuhkan diri diatas tubuhnya yang atletis itu. Zara menatapnya dengan debaran yang kembali tak terkendali. "Apa tadi yang kamu katakan hmm? Ulangi lagi." Pintanya.
Dengan jarak yang sedekat itu membuat Zara masih kehilangan fokus. Ia masih mengontrol jantungnya untuk tidak berlari jauh-jauh. "Apa?" Tanyanya.
"Ulangi lagi." Jawab Zia.
"Gak mau ah. Lepaskan.." Pinta Zara sambil menggeliat kecil.
"Ah.. "
"Zia, lihat jam. Cepat mandi sana, bentar lagi dzuhur. Jangan sampai kau ketinggalan waktu shalat. Gak malu apa, permintaanmu selalu dikabulkan tapi kau selalu tidak menepati janji?" Omel Zara yang masih berada di pelukannya.
"Ayo ulangi lagi, baru aku akan melepaskanmu dan segera mandi untuk mendinginkan otak ini." Jujurnya dengan wajah yang dibuat memelas.
"Aish.. Makasih." Ucap Zara. Zia yang mendengar itu hanya mengangkat sebelah alisnya, kata-kata yang Zara ucapkan barusan tidak sesuai dengan yang tadi ia katakan. "Sayang.." Tambahnya denga lirih. Ketika pelukan itu mengendur dan senyuman menghiasi wajah Zia lagi, ia dengan cepat melepaskan diri. Menyambar handuk dan memberikannya pada Zia.
"Ayo.. nanti terlambat."
Zia dengan cepat menerima uluran handuk itu dan masuk ke dalam kamar mandi. Zara memutuskan untuk keluar membatu Mamanya mempersiapkan makan siang.
***
"Ma.. Maafkan Zara ya kalau banyak salah ke Mama." Ucap Zara sambil memeluk wanita paruh baya itu. Mei hanya meresponnya dengan mengelus punggung Zara dengan sayang. Sedangkan Keira hanya melihat adegan itu dengan tatapan sebal.
"Zara pamit dulu. Mohon doanya juga dari Mama, Papa dan Dek Keira.." Ucapnya lagi lalu melirik gadis cantik yang masih berpakaian seragam sekolah itu.
Keira hanya memutar bola matanya, tanda tak suka. Namun, Zara berusaha untuk tetap tersenyum. "Pasti kok, sayang. Zia hati-hati ya bawa mobilnya, awas jangan ngebut-ngebut." Peringatan itu keluar dari mulut Mama tercintanya.
"Okay, Ma." Ucap Zia dari dalam rumah dengan gantungan kunci ditangannya. Lalu ia menghampiri adik tersayangnya. "Dek jaga Mama ya.. Awas jangan buat pusing Mama terus. Hal sekecil apapun kalau Allah gak ridha pasti ada balasannya." Ia juga memberi peringatan pada adik kecilnya itu yang hanya dibalas dengan tatapan dingin.
"Jangan jutek gitu, nanti gak ada yang suka loooh.." Goda Zia lagi.
"Bodo ah." Balasnya lalu mengulurkan tangan kanannya untuk menyalami sang kakak. Setelah itu ia melenggang pergi masuk ke dalam rumah.
"Aiishh.. anak itu." Gerutu Mei. "Yasudah, cepat kalian masuk mobil. Keburu sore, nanti hujan lagi."
"Hujan kan berkah, Ma.. Apalagi bagi pengantin baru." Ucap Zia, lalu mengerlingkan matanya pada Zara. Zara merespon dengan cubitan kecil di lengan Zia. Hal favorit Zia sekarang adalah menggoda Zara tanpa batas.