'Apa yang harus aku lakukan?' tanya Zara dalam pikirannya. Ia terus melangkah mengikuti Kakaknya dan juga Nifa. Hingga mereka terhenti di depan Ayahnya. Ia menatap mata ayahnya yang seperti menyembunyikan kesedihan di dalamnya, ia berusaha keras untuk terus tersenyum. 'Ayah, aku baik-baik saja. Tersenyumlah. Hatiku teriris jikalau melihat engkau menangis. Aku tak akan kuat lagi menopang berat tubuh ini.'
"Nona, Silahkan tanda tangan di sebelah sini.." Ucapan menteri itu membuyarkan lamunannya. Ia berjalan mendekat ke arah meja, mengambil balpoin dan juga menandatanganinya pada tempat yang ditunjukan. Terus begitu hingga beberapa kali, dan Zara melihat tangan laki-laki itu pun melakukan hal yang sama. Ya, ia masih belum berani menelan kekecewaan ketika melihat suaminya itu.
"Ayo tukar cincin terlebih dahulu. Lalu foto bersama.." Ucap sang fotograper. Zara dan Zia mengikuti perintahnya, dan mengikuti acara hingga dzuhur tiba.
Acara mereka memang dirancang sampai dzuhur saja. Karena keluarga mereka sepakat tidak mau repot-repot harus meninggalkan shalat mereka dan tidak mau membebani sepasang pengantin untuk menunaikan kewajibannya dengan riasan-riasan yang menghalangi shalat. Dan hal itu membuat Zara lega, karena tidak perlu berlama-lama dengan dandanan ondel-ondel itu dan juga berat gaun yang ditopang tubuhnya sungguh menyesakkan.
Sebelum Adzan berkumandang, Zia telah meninggalkan pelaminannya. Disusul oleh Zara yang dibantu oleh Nifa, sahabatnya. "Bagaimana rasanya jadi pengantin, serukan?" Tanyanya seraya bercanda.
Zara fokus pada langkahnya, takut ia melakukan pendaratan yang tak mulus. Setelah dirasa seimbang barulah ia berani membuka suara, "Biasa aja. Gak suka dengan pakaian seperti ini, ribet. Apalagi sepatu nenek sihir ini, kakiku pegal sekali rasanya mau copot." Keluhnya.
"Hahahaha.. Kau ini. Nikmatilah, nanti kau tidak akan mengalaminya lagi, kecuali kalau kau mau nikah lagi." Kelekarnya, yang dihadiahi oleh cubitan panas dari Zara.
"Kau mendoakan aku untuk cepat pisah?" tanyanya sinis.
"Oh, ternyata kau pengen langgeng juga ternyata." Balasnya tak kalah pedas, yang dibalas dengan dengusan dari Zara. "Cepat shalat sana, imammu sudah menunggu." Candanya, lalu meninggalkan Zara sendirian di dekat pintu kamarnya.
Sungguh hatinya tak bisa berdiam diri, rasanya aneh. Bahkan untuk memasuki kamarnya saja, ia takut. Zara mengulurkan tangannya dan mendorong pintu itu ke dalam. Ia masih tidak berani untuk melihat suaminya. Ya, sedari tadi mereka berfoto bersama melalui agenda yang sudah dirancang indah, ia memutuskan untuk tidak melihat wajah suaminya. Bahkan meliriknya pun enggan.
'Apa-apaan ini? Kenapa untuk masuk ke dalam kamar milikku sendiri aku takut?' Pikirnya. Lalu ia memutuskam untuk masuk ke kamarnya, dan mulai membuka mahkota dan berbagai hiasan yang ada di kepalanya.
Ia menghentikan kegiatannya, ketika seseorang mengetuk pintu dan mendorongnya hingga tampaklah seorang laki-laki yang memiliki tubuh proporsional. Zara tak sengaja melihat manik matanya yang cokelat itu, namun ia tidak memalingkan wajahnya.
Dia, kenapa ada di sini?