Matahari yang masuk ke dalam ruangan kamarku menyoroti mata ku begitu tajam sampai aku harus memicingkan mata dan terpaksa bangun.
"Ma, ini kan hari Minggu. Chino nggak kerja ma. Chino masih ngantuk Ma, please." Aku menarik selimut untuk menutupi cahaya yang menyilaukan mata ku.
"Chino," panggilnya. Seperti aku sudah mengenal suara itu, aku berusaha membelalakkan mata ku yang seperti di lem, sedikit bayangan seseorang mulai masuk ke dalam retina mata ku. Seorang perempuan berkulit putih berambut pirang sebahu mengejutkan aku dipagi hari.
"Mocha?!" Mataku langsung terbelalak dengan kedatangannya yang tanpa ku duga, ku peluk dia sangat erat, agar dia tak pergi lagi. Aku sangat merindukannya.
"Lo katanya sibuk nugas, tapi kok bisa sampe sini." Ocehku, melepaskan pelukan
"Gue mau ngasih lo kejutan, gue kira lo marah tadi malam langsung matiin sambungan" katanya lagi dengan senyumnya yang khas,
"Hape gue mati, Cha."
Mama memperhatikan kami dari balik pintu, raut bahagia tak bisa di khianati pada wajah Ibu yang semakin bertambah usia. Hari ini adalah hari kebahagiaan, dia sudah datang lagi menyinggahi kediaman kami.
Untuk beberapa hari aku memang sengaja mengambil cuti agar bisa menghabiskan waktu dengan Mocha, hari ini aku dan Mocha akan hangout di cafe tempat biasa kami kongkow. Mocha terlihat begitu berubah, fisiknya, sikapnya, berubah semenjak kepergian Mamanya, tidak ada lagi riang, ceria, positif seperti yang ku kenal dulu. Logat bicaranya sudah seperti bule. Setelahnya, dia menjadi sangat pendiam dan pemurung. Tak sama seperti saat sedang menelponku kala itu.
Setibanya kami di Caffe itu, aku dan Mocha memesan MochaChino yang memang jadi favorit kami berdua, lalu aku memesan makanan lagi, namun, dia bilang tidak ingin makan karena sudah kenyang. Minuman yang sedaritadi sudah tiba menyonggok begitu saja di depan Mocha, gadis itu hanya diam melamun, tanpa mengatakan sepatah kata.
"Cha, kalo lo disini buat sedih-sedihan aja mending lo ke London aja gih." Aku yang sudah memperhatikan Mocha selama 10 menit agaknya menjadi terpengaruh, juga merasa tak nafsu untuk makan.
"Gue ingat Mama, No, kenangan Mama di sini. Terakhir kali gue makan bareng Mama ya disini." Air mata nya jatuh bebas di pipi Mocha, ku sodorkan beberapa tissue untuk membersihkan genangan air mata yang mengalir di pelupuk matanya, aku mencoba menyadarkan bahwa hidup itu tak perlu di sesali tetapi harus dijalani. Jodoh, maut dan rejeki. Semua sudah di atur.
Mocha menyeruput sebagian coffee nya dan merapikan mascara nya yang sudah luntur terkena ombak air mata, beberapa saat kemudian ku ajak dia pergi berbelanja semaunya, sekaligus aku berusaha mengobati lukanya yang masih basah.
Di perjalanan pulang, Mocha menyuruhku berhenti di sebuah minimarket, dia ingin membelikan sesuatu untukku katanya, aku dengan sabar menunggunya di dalam mobil seraya memperhatikannya dari kejauhan, Mocha memang terlihat cantik dan lebih dewasa sekarang. Sosok yang tak pernah kulihat sebelumnya pada diri seorang Mocha.
Suara ketukan kaca mobil membangunkan lamunanku,
"Nih, gue beliin coklat sama yogurt, ini masih kesukaan lo kan?" tanyanya padaku menyodorkan beberapa batang coklat dan yogurt yang memang menjadi kesukaanku.
"Wah, makasih Mocha, sini gue cium." Aku memonyongkan bibirku ke arahnya, namun bukannya di cium, aku malah di gampar habis-habisan dengannya. Tanpa pikir panjang, langsung saja aku menyomot dan menghabisi coklat-coklat itu, keburu Mocha berubah fikiran.
"Lo ini gak berubah ya, No, masih suka belepotan aja," Mocha menjulurkan tangannya ke sudut bibirku, aku menatapnya. Mata kami saling beradu pandang. Sungguh, Aku merasa ada yang berbeda dari biasanya.