Hari-hari ku teramat menyedihkan tanpa adanya Mocha, Mama juga sering ku dapati sedang duduk melamun. Namun begitu, Aku tetap harus tegar untuk bangkit kembali dengan ketiadaan Mocha di hidup kami sekarang.
6 bulan setelah kepergian Mocha
Mocha rutin memberi kabar kepadaku dan Mama, hingga malam itu malam dimana aku dan Mocha seperti biasa melakukan sambungan jarak jauh,
"Eh, lo No, kapan lo punya pacar? Nyokap lo udah cerita tentang sikap cuek yang mau pdkt sama lo. Wah parah sih lo, No " ucapnya lewat sambungan telepon
"Cha, kan udah gue bilang, gue mau nyari yang bener-bener bisa di jadiin calon istri," jawabku sekenanya.
"Ya, nggak gitu juga kale, No"
"Gue memang gak tertarik dengan cewek di luar sana yang cuma mandang gue dari status dan tampang doang, gue ngerti lo itu mudah dapet pasangan. Pasti di sana pacar lo udah bejibun kan, berapa totalnya?" tanyaku bermaksud menggodanya, namun, tak ada jawaban dari sana.
"Cha.."
"Are you Oke?" tanyaku memastikan
"I-iya No. Gue lagi pipis tadi, lo bilang apa tadi?"
"Gue telen juga Lo biji salak"
"Cha, Gimana kalo kita bikin perjanjian, ya sekedar buat lucu-lucuan aja. Peraturannya kalo umur kita lebih dari 30 tahun tapi belum juga menikah, gue janji bakal nikahin lo" ucapku menambah percakapan agar rame.
"Lo nantangin gue No, siapa takut! lo tau gue kan, dalam tiga menit juga gue bisa dapetin pacar, bayangin deh udah 20 bule yang ngedeketin gue tapi gue tolak, No. Gue kagak suka bule, sukanya yang Indo." Mocha terkekeh, lalu sambungan terputus. Sepertinya wifi di rumahku belum di bayar. Hehehe
Ku tatap jam weker yang berada di sebelah ku, sudah pukul 22.30 wib. Harusnya aku udah merem jam segini, seperti ada yang mengganjal di kepala. Iya, aku baru sadar telah membuat perjanjian dengan Mocha demi menutupi gengsi ku. Bersaing dengan Mocha? Gak bakal bisa di lawan. Aku lupa bahwa Mocha dulunya seorang Fucekgirl. Setelah itu aku mulai berfikir, sekarang usia ku sudah 26 tahun apa bisa aku mendapati istri yang sesuai harapan ku? Apa ada yang mau menjadi istri ku. Aku harus semangat!
Lambat laun Mocha yang tak pernah absen menghubungiku menjadi jarang memberi kabar, aku mencoba positif mungkin dia sibuk dengan tugas kuliahnya, aku sangat berharap dia lekas pulang dan berkumpul kembali bersama aku dan Mama.
Tak terasa sudah 2 tahun setelah kepergian Mocha.
Mungkin hanya beberapa kali dia menghubungi ku dan Mama, saat itu aku mendapati Mama sedang menangis di kamar nya,
"Ma, sudahlah, Mocha juga sudah dewasa. Mocha pasti bisa jaga diri. Mama di sini fokus saja dengan kesehatan Mama. Soal Mocha, biar Chino yang urus." Aku mencoba menenangkan Mama dan mengatakan kalau Mocha akan baik-baik saja di sana, Mocha sudah dewasa untuk kota semacam London.
Aku mencoba memberi pengertian kepada Mama, untunglah Mama mulai memahami dan berfikir positif tentang keadaan Mocha di sana.
Setelah Mama terlelap, aku kembali ke kamar dengan beberapa tugas yang tergeletak di tempat tidurku, aku mencoba merefleksikan tubuhku untuk mendapat kesegaran otak, tiba-tiba dering handphone ku menghentikan gerakan peregangan ku.
"Hai Cha, gue kira lo lupa." Sudah hampir 5 bulan Mocha tak mengabari, lantas aku sangat senang ketika melihat siapa yang baru saja menelfonku. Sengaja aku mengatakan seperti itu agar dia tahu kalau aku sangat mencemaskannya.
"Maaf, No, gue banyak tugas di sini. Sampai gue gak sempat ngabarin lo dan nyokaplo, dimana Tante? " tanyanya padaku sangat pelan. Tidak, aku merasa Mocha sedang tidak baik-baik saja di sana.
"Mama barusan tidur mikirin lo Cha, Mama cemas ngeliat lo gak ngabarin dia," aku yang memang sedang kesal mencurahkan isi hati mama pada Mocha tanpa fikir panjang.
"Sorry, No, Gue. ." belum sempat lagi Mocha menjawab, sambungan terputus. Sial! handphone lowbath.
Tapi syukurlah, aku sudah tahu bahwa Mocha baik-baik saja di sana, jadi aku bisa tidur dengan pulas malam ini.