Adiyaksa yang merasa terpanggil sontak menghentikan langkahnya dan Cintia sudah berada tepat di depan laki-laki itu. Merasa aneh saat wanita pujaanya berada di kantornya pada siang hari saat cuaca benar-benar panas. Bahkan kedua tangan wanita itu tampak sibuk membawa banyak barang.
Adiyaksa masih terus mengerutkan dahinya sambil menatap bingung ke arah Cintia.
"Iya?" Pertanyaan singkat Adiyaksa yang begitu membuat kesal Cintia. Cintia merasa dia tidak diharapkan sama sekali.
"Mas," panggil Cintia lagi. Pasalnya dia masih belum memercayai apa yang baru saja keluar dari bibir Adiyaksa.
"Iya, Cintia … kenapa?" Sungguh rasanya Cintia ingin menangis pada saat itu juga. Begitu banyak pertanyaan muncul di dalam pikirannya dan semua berisikan makian pada Adiyaksa. Terlebih tidak ada lagi panggilan 'adik' untuknya.
Cintia dengan cepat mengubah raut mukanya menjadi lebih angkuh. Tidak ada lagi senyum merekah yang dia berikan pada Adiyaksa. "Bisa kita bicara sebentar? Aku harap mas bisa meluangkan beberapa menit saja." ucap Cintia tegas.
Adiyaksa tidak langsung menyetujui paksaan Cintia. Melainkan menatap ke arah wanita yang berjalan bersamanya. Adiyaksa dengan reflek menggaruk sebelah alisnya yang tak gatal.
"Emm … begini, mas ada sesuatu yang harus dikerjakan dengan rekan kerja mas."
Cintia masih terus memperhatikan wajah Adiyaksa yang menurutnya terlihat aneh dan hal itu semakin memperkuat dugaannya kemarin, bahwa Adiyaksa memang memiliki wanita lain.
"Aku gak peduli, aku cuma mau bicara beberapa menit." Adiyaksa menghela napas kasar setelah melihat sikap Cintia yang begitu berkeras ingin bicara bersama dirinya.
"Oke, kamu tunggu di ruanganku."
Adiyaksa segera menatap wanita yang berjalan bersamanya tadi. "Bagaimana kalau kita bicara di ruang meeting saja? Apakah akan nyaman? Atau kita perlu mencari tempat lain?"
"Emm … bagaimana kalau kita … bicara di kafe seberang saja." Adiyaksa segera menganggukan kepalanya setuju lalu pergi begitu saja dan hanya menatap Cintia sekilas.
Rasanya amarah Cintia begitu memuncak saat itu juga. Bahkan segala sumpah serapah sedang ia ucapkan di dalam hatinya. Apalagi melihat Adiyaksa yang memperlakukan wanita itu begitu manis, mengingatkannya saat Adiyaksa begitu mengejarnya beberapa waktu lalu.
Wajah angkuh yang sempat Cintia perlihatkan pada Adiyaksa pun hilang, kini berganti menjadi wajah muram berwarna merah padam karena amarahnya yang tak tersalurkan. Mengabaikan beberapa mata yang menatapnya, Cintia terus melangkah ke arah ruangan Adiyaksa.
Terlebih Cintia memang tidak pernah datang ke perusahaan Adiyaksa. Dan jelas hal itu menimbulkan beberapa bisik-bisik yang cukup keras, bahkan sampai terdengar ke dalam telinga Cintia begitu jelas.
"Tunggu nyonya!" panggil wanita berseragam itu keras ke arah Cintia. Kebetulan memang Cintia Sedang berada di dekat meja resepsionis, hanya saja terpisahkan jarak yang cukup jauh hingga wanita itu berteriak.
Cintia menatap wanita itu heran. "Ya?"
"Maaf, ada yang bisa saya bantu? Dan khusus tamu diharapkan untuk mengisi buku tamu terlebih dahulu nyonya." Cintia memejamkan matanya sejenak demi menghilangkan rasa kesal yang kembali timbul karena karyawan Adiyaksa.
Cintia tahu memang karyawan Adiyaksa tidaklah salah, karena mereka hanya bekerja sesuai prosedur. Tapi kondisi hati Cintia lah yang sedang tidak memungkinkan untuk diberi peringatan oleh orang lain.
"Saya akan ke ruangan Adiyaksa, kamu lihat sendiri kami bicara di depan dan dia meminta saya menunggu di ruangannya. Perlu saya tetap mengisi buku tamu itu?" Cintia menatap lelah ke arah karyawan wanita itu. Tentu saja wanita bernama Farah itu semakin bingung dalam memilih keputusan. Disisi lain, dia hanya ingin menjalankan prosedur perusahaan tapi disisi lain juga, dia takut memperlakukan tamu atasannya dengan buruk.
Cintia yang melihatnya semakin merasa tidak tega dan akhirnya dia juga yang memilih mengalah. "Oke, mana buku tamunya? Biar saya tulis nama saya." Cintia melanjutkan langkahnya menuju meja resepsionis, lalu meletakkan segala barang yang ia bawa.
"Sudah selesai. Apakah ada prosedur lain yang harus saya ikuti?" tanya Cintia lebih lembut. Bahkan wanita itu sadar, bahwa mengalah pada orang lain justru membuat amarahnya lebih mereda dan bisa membuatnya melupakan wajah Adiyaksa untuk sesaat.
"Sudah selesai nyonya. Maafkan saya atas segala ketidaknyamanan ini, terlebih saya sempat berteriak pada nyonya. Terima kasih sudah membantu saya mengikuti prosedur perusahaan." Farah tersenyum manis ke arah Cintia.
"Bukan apa-apa." Cintia berlalu pergi begitu saja dengan bisik-bisik para karyawan Adiyaksa yang justru berbalik memujinya.
"Dasar mnusia! Tadi aja caci maki aku, ngata-ngatain! Eh sekarang malah muji-muji!" batin Cintia kesal.
Sesampainya Cintia di lantai lima dimana ruangan Adiyaksa berada, dia sempat melirik ke arah ruangan sekretaris Adiyaksa dan memang sedang kosong. Cintia juga semakin yakin bahwa hanya ada dirinya di lantai itu, karena ia yakin semua orang akan pergi makan siang. Hanya dirinya saja yang justru terdampar di ruangan Adiyaksa yang begitu senyap ini.
Cintia mendudukkan dirinya dengan nyaman, bersandar pada sofa sambil menikmati dinginnya pendingin ruangan. Cintia juga mulai membuka ponselnya untuk melihat beberapa laporan dari kafenya hari itu. Bahkan Cintia sempat memesan beberapa stok bahan makanan untuk kafenya, dan selama itu juga Adiyaksa belum sampai ke ruangan. Jika saja Cintia tidak ingat kalau dia sedang merayu Adiyaksa untuk memaafkannya, dia pasti sudah pergi dari ruangan tak berpenghuni itu.
***
Adiyaksa melirik jam mahal yang melingkar pada pergelangan tangannya dan menunjukan pukul dua siang. Tepat dua jam sudah dia membiarkan Cintia menunggu di dalam ruangannya.
Apalagi resepsionis mengatakan bahwa Cintia tidak terlihat keluar dari dalam ruangannya dan mengatakan bahwa tamu Adiyaksa mengikuti segala prosedur perusahaan. Jelas hal itu membuat Adiyaksa cukup tersanjung, karena ternyata wanita dingin seperti Cintia tetap mau melakukan hal remeh tapi penting seperti itu.
Saat memasuki ruangannya, yang dia dapati adalah Cintia yang tengah terlelap sambil menggenggam ponselnya erat.
"Emm … dek." Adiyaksa mencoba menggoyangkan lengan Cintia perlahan. Pasalnya dia merasa tidak tega melihat posisi tidur Cintia yang sangat tidak nyaman. Bahkan Adiyaksa seolah bisa merasakan nyeri pada lehernya saat melihat leher Cintia yang tidak nyaman.
Cintia perlahan membuka matanya, mengerjapkan beberapa kali sampai ia sadar bahwa Adiyaksa sudah berada di depan matanya. "Ehm … barusan selesai?" tanya Cintia sambil mengubah posisi duduknya menjadi lebih nyaman.
"Sudah. Maaf membuat kamu nunggu lama. Jadi … ingin bicara apa? Kamu juga kenapa bawa barang banyak sekali? Kamu dari mana?"
Cintia tidak langsung menjawab, melainkan mengalihkan pandangannya ke arah lain demi memberanikan diri untuk mengucapkan apa keperluannya pada Adiyaksa. "Aku tadi bawain kue sama makan buat mas. Dan yang aku bawa itu ya makanan sama kue buatanku itu."
"M-makan?"
Cintia menatap Adiyaksa semakin curiga. Bahkan firasat Cintia mengatakan bahwa Adiyaksa pasti sudah melakukan hal yang akan membuatnya marah. "Iya makan siang, kenapa? Ah! Aku tahu, mas sudah makan siang kan?"
Cintia terkekeh lirih setelah melihat Adiyaksa menganggukan kepalanya.