webnovel

Menikahi Putri Mafia

Tamat! Bagaimana rasanya menjadi putri mafia yang berada dalam lingkungan mansion penuh para mafia binaan sang Ayah dan mendapatkan pengawalan ketat setiap waktu? Bagaimana dengan dirinya yang tidak bebas memilih pria yang dicintainya? Ah, pasti sangat tidak enak. Apalagi Redita jatuh cinta dengan pria yang tidak disukai oleh seluruh anggota keluarganya. Ada apa dengan pria itu? Belum lagi masa lalunya yang kelam menjadikan ia wanita yang terlihat lemah dan tak berdaya hingga harus selalu merapat pada pengawalnya. Banyak cerita di sini. Tidak hanya tawa dan tangis, tapi juga berbagai macam kisah para mafia itu sendiri. Namun pertanyaannya, siapa akan berakhir bersama sang Nona? Pria yang dicintainya atau .... Nb : Semua nama tempat hanyalah khayalan penulis semata.

Viviani · 现代言情
分數不夠
380 Chs

Membesuk

Suasana makan malam kali ini terlihat tenang. Aron berdiri di sana bertugas mencicip makanan sebelum disajikan. Setelah memastikan semua makanan cukup aman, dia lalu berdiri di dekat meja makan. Mengamati keadaan.

"Kapan aku akan memberitahukan tentang tato itu?" batin Aron. Sesekali matanya melirik ke arah Merlin. Sampai akhirnya sang Tuan Besar Darmawan itu menyadari lirikan Aron. Merlin balas menatapnya.

"Ada apa, Aron? Ada yang ingin kau sampaikan?"

"Ehm ... ya Tuan," jawab Aron terlihat ragu.

"Baiklah, setelah makan malam ini kita akan bicara," jawab Merlin berwibawa.

Mendengar jawaban Merlin kepada Aron, Redita dan Elena langsung menatap Aron dan Merlin bergantian. Sepertinya mereka akan membahas sebuah masalah serius.

"Aron, tolong tanyakan Jonathan, apa tubuh pria yang tadi kubawa sudah dieksekusi?" Tiba-tiba saja Redita menanyakan perihal yang sebenarnya tidak pantas dibahas di meja makan.

Aron sontak gelagapan mendengar pertanyaan Redita. Gugup. Dia menarik napas panjang lalu menghelanya perlahan untuk menghilangkan kegugupannya.

"Sebenarnya saya ingin membahasnya bersama Tuan Merlin, karena ini ada kaitannya dengan jasad itu. Jonathan belum melakukan apa-apa pada jasad tidak bernyawa itu," sahut Aron.

"Oh ... baiklah aku akan ikut kalian membahas masalah ini," pungkas Redita dengan senyumnya.

Elena yang mendengar penuturan sang anak kemudian menanggapi, "Tidak perlu, Dita. Kamu istirahatlah lebih awal. Hari ini kamu telah mengalami hal yang luar biasa, 'kan?"

"Tapi Ma ...."

Redita tidak meneruskan perkataannya karena Elena meregasnya dengan pelototan mata yang membuat Redita menarik dagunya takut. Tanpa kata-kata Elena berhasil membuat Redita tidak banyak berbicara lagi. Lalu mereka pun meneruskan makan malam dengan suasana tenang kembali.

Selang beberapa lama kemudian, acara makan malam selesai. Redita baru saja bangkit dari duduknya dan bersiap kembali kembali ke kamar. Sedangkan Merlin dan Aron sudah pergi lebih dulu entah ke mana. Tiba-tiba Elena memanggilnya.

"Dita."

Wanita itu pun menoleh ke arah Elena. "Bagaimana keadaan Martin? Apa kamu sudah melihatnya?" tanya Elena seraya mengibaskan kipas coklat di tangannya.

"Ya, Ma. Tadi aku sempat melihatnya. Dia sudah sadar dan bisa berbicara."

"Baiklah, Mama akan melihatnya sekarang. Kamu segera beristirahatlah di kamar," sahut Elena bersiap pergi dari ruang makan mansion.

"Ma ...," panggil Redita yang membuat Elena sontak menengok ke belakang, menatap wajah anak gadisnya. "Maafkan Martin yang belum bisa menjagaku hari ini. Aku sungguh tidak menyangka akan ada penyerangan tiba-tiba seperti itu," kata Redita lagi.

"Ya, Mama mengerti. Mama hanya ingin mengetahui kabar Martin," sahut Elena kemudian berlalu pergi.

Redita menghela napas panjang. Dia sangat takut jika sang Ibu akan memaki habis-habisan Martin karena membiarkan ia sedikit terluka. Elena sangat menyeramkan jika sudah mengeluarkan taring kemarahan.

Redita pun beranjak dari ruang makan dan berjalan menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. Wanita itu segera merebahkan dirinya di atas kasur.

Ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Radit muncul di layarnya. Sambil mengulas senyum, dia pun menjawab panggilan itu.

"Halo, Sayang. Apa yang sedang kamu lakukan?" Suara lembut pria itu terdengar di antara suara lain yaitu suara musik yang sedikit mendayu.

"Berbaring di kamar. Kalau kamu?" sahut Redita dengan mata terpejam, mendengar sebuah lagu melow di seberang sambungan teleponnya. Dia lalu berkata lagi, "Jangan kamu jawab, biar aku tebak," sahut Redita.

"Tebaklah."

"Kamu sedang berada di sebuah kafe dengan live musik," tebak Redita.

"Ehm, ya. Aku sedang di kafe bersama teman-temanku. Kamu mau ke sini? Nanti biar kujemput."

"Tidak, Sayang. Hari ini sangat melelahkan ...." Redita kemudian menceritakan semua apa yang dialaminya tadi siang setelah bertemu dengan Radit.

"Astaga! Apa kamu terluka, Sayang?!" Suara Radit terdengar cemas.

"Sedikit."

"Istirahatlah. Jangan sampai kamu tidak masuk esok hari. Kamu sudah berjanji akan membantuku, bukan?"

"Ehm, ya. Tentu saja. Ayah pasti akan menyetujui dan membantu proyekmu."

"Mudah-mudahan, Sayang. Sudah dulu ya. Aku sudah dipanggil teman-temanku."

"Iya. Selamat bersenang-senang, Sayang."

"Kamu juga. Selamat beristirahat."

Radit menyudahi panggilannya. Redita menaruh ponselnya di atas nakas. Kemudian meraih remote televisi di dekatnya dan mulai menonton.

***

Aron mengajak Merlin ke ruang mayat tempat jasad pria itu diletakkan. Di sana juga sudah terlihat Jonathan yang menunggu. Merlin memperhatikan jasad yang sudah sedikit berbau itu dengan hati-hati. Wajahnya terlihat begitu serius lalu ia menganggukkan kepalanya mengerti.

"Hei, menurut kalian apa motif di balik ini semua?" tanya Merlin kepada Aron dan Jonathan.

"Ini hanya pemikiranku. Aku rasa mereka ingin memfitnah The Fog Shadow, Tuan," sahut Aron

"Fitnah?" Merlin menoleh kepada Aron, terkejut.

"Atau mereka ingin mengadu domba The Black Shadow dan The Fox Shadow," ucap Jonathan.

"Dua motif yang kalian katakan ada benarnya. Kita tidak boleh gegabah. Sial! Antony belum juga memberitahu saya bagaimana perkembangan kasusnya di sana," kata Martin dengan nada kesal.

"Saya dengar mereka akan kembali ke Legiland besok. Tuan Judy yang mengabarkan saya."

Seketika sorot mata Merlin berubah menoleh kepada Aron. "Apa yang dipikirkan anak itu? Saya menyuruhnya bersenang-senang lagi setelah kondisi Venda membaik, tapi dia malah ingin kembali."

"Mungkin Tuan Judy khawatir kepada adiknya, Tuan. Apa lagi dia juga menanyakan bagaimana kabar Martin." Aron mulai kelepasan berbicara padahal dia sudah diwanti-wanti Judy untuk merahasiakannya kepada sang Ayah karena akan memberikan kejutan.

"Apa lagi yang dia bicarakan kepadamu?!" Mata Merlin mulai berkilat kesal.

Aron menarik dagunya terkejut. Baru menyadari bahwa dia sangat bodoh dan bisa kelepasan berbicara. "Ti-tidak ada lagi, Tuan."

"Haish!" dengkus Merlin kesal. "Lalu sudah kau telusuri siapa keluarga pria ini?" tanya Merlin kepada Aron dengan sorot mata menakutkan.

Aron menahan napas sejenak lalu menelan ludahnya seketika, "Ya, Tuan. Dia tinggal di Little Heaven dan memiliki seorang istri dan anak gadis."

"Kirim mayat ini kembali ke keluarganya. Jangan sampai ada yang tahu kalau organisasi kita terlibat. Beri uang kompensasi juga kepada keluarganya," perintah Martin.

"Baik, Tuan," jawab Aron dan Jonathan serempak sambil menundukkan setengah badannya, hormat.

Tidak lama kemudian Elena tiba-tiba masuk ke ruangan itu. Semua yang berada di sana sontak menoleh ke arah Nyonya Besarnya. Begitupun Martin yang menengok ke belakang.

"Sayang, apa kamu sudah membesuk Martin?" tanya Elena menepuk lembut bahu sang suami.

"Belum, El. Apa kamu mau ke sana?" tanya Merlin menatap wajah istrinya dengan penuh cinta.

"Iya, Sayang. Ayo kita ke klinik," ajak Elena langsung menggamit lengan sang suami.

Martin mengangguk. Kemudian dia menoleh kembali ke arah kedua anak buahnya. "Besok pagi saya tunggu laporannya."

"Baik, Tuan."

Pasangan suami istri itu lalu berjalan keluar ruangan menuju klinik Dokter Anne. Klinik itu tidak terlalu jauh. Hanya sekitar dua puluh meter untuk mencapainya. Dokter Anne terlihat santai di malam itu. Dia sedang membaca sebuah surat kabar di tangannya.

Dokter perempuan itu cepat-cepat melipat surat kabar saat menyadari Tuan dan Nyonya Darmawan berkunjung ke kliniknya. Dia bangkit berdiri menghampiri sang empu mansion sambil tersenyum.

"Di mana Martin?" tanya Merlin dingin seraya melihat sekeliling ruangan. Dia tidak memedulikan senyuman manis wanita di depannya.

"Ya, di mana Martin, Dok?" tambah Elena. Wanita ini yang lantas membalas senyuman sang dokter.

"Sebelah sini, Nyonya," katanya lalu membimbing keduanya masuk ke sebuah ruangan.