"Kenapa kau sangat lama?!"
Senyum lembut Ilona berikan. Ekspresi wajah dengan getaran sedikit ketakutan juga perempuan itu tambahkan. Seakan, dirinya adalah seseorang yang begitu rapuh dan perasa.
"M–maaf, Kak. Pekerjaan yang Kak Jeannie berikan tadi sangat banyak, saya salah karena tak bisa menyelesaikannya tepat waktu." Begitulah Ilona menjawab. Namun, hanya mendapat semburat kemarahan dari kakak tirinya.
"Lupakan! Cepat, buat wajahku cantik seperti yang kau katakan!" Shilla mengibaskan rambut hitam panjangnya, lalu duduk di depan meja rias. Pandangannya terarah ke depan, di mana cermin besar dengan bingkai berwarna emas memperlihatkan wajahnya. Shilla terkadang iri dengan Jeannie dan adik-adiknya yang cantik, terutama Ilona.
Senyuman manis mengambang di wajah menawan Ilona. Dalam pikiran perempuan itu, 'Aku sepertinya harus menjahili kakak tiri ini. Mengubah sedikit alur, tidak akan berpengaruh terhadap ending cerita novel ini, 'kan?'.
Oh, tampaknya Ilona ingin membuat sebuah drama atau keributan. Katakan saja, bahwa itu adalah balasan yang harus diberikan karena hari ini Ilona harus susah payah mengepel lantai.
"Kak Shilla, saya membutuhkan bahan-bahannya ...."
Shilla berdecak, dan terpaksa harus mengalihkan netra mata dari cermin. "Ketty!"
"Ya, Nona Shilla?" Seorang wanita dengan gaun kusamnya berjalan mendekati Shilla. Rambutnya digulung, menampilkan sosok dayang-dayang seperti yang Ilona lihat.
"Siapkan semua bahan-bahan yang dia butuhkan! Berikan kualitas yang tinggi!" perintah Shilla kepada dayang pribadinya. Setelahnya, perempuan itu tidak peduli dan kembali menikmati pantulan wajahnya dari cermin.
"Baik, Nona Shilla." Dayang tersebut membungkukkan badannya pelan, kemudian menatap datar ke arah Ilona. "Bahan apa yang kau butuhkan?" tanyanya penuh dengan nada sinis.
"Apakah ada lemon? Aku hanya membutuhkan itu saja," ujar Ilona. Niatnya sungguh besar, dia akan membuat kekacauan dengan buah asam tersebut. Sebelumnya, ia bertanya, untuk memastikan bahwa lemon telah dikenal di dalam novel ini. Penulis dapat membuat world bulidingnya sendiri, bukan? Bisa saja tak ada lemon di latar cerita ini.
Beberapa detik mencoba untuk mengingat, dayang tersebut kemudian mengangguk. "Ada. Apa hanya itu?"
"Ya, hanya itu, Ketty."
Tanpa menjawab balasan Ilona, lantas Ketty segera keluar dari kamar Shilla untuk menuju dapur kediaman Berenice. Menunggu beberapa saat sambil terus berdiri, akhirnya dayang pribadi Shilla kembali datang dengan membawa sepiring buah lemon segar.
Ilona tersenyum, ia memperhatikan Ketty yang menaruh piring logam berisi beberapa buah lemon di atas nakas. Setengah gila memang, tetapi ini adalah hal yang ingin Ilona lakukan. Dirinya muak terus menjadi pelayan di kediaman ini. Padahal, jika dihitung, belum ada tiga jam perempuan itu bereinkernasi dan masuk dalam raga tokoh utama. Pada dasarnya, dia memang tidak sabaran. Padahal sebelum mati, ia terus mengharapkan menjadi Ilona dan tak henti-hentinya mengatakan bahwa hidup tokoh utama sangat indah.
"Terima kasih banyak, Ketty." Ilona berjalan mendekati nakas, dirinya mengambil sebuah lemon, dan mangkuk logam kecil. Mangkuk berbahan dasar logam tersebut Ilona letakkan di atas meja bundar mewah, lalu kembali ke nakas untuk mengambil sebilah pisau. Dengan kasar, perempuan itu memotong lemon sama besar, dan memerasnya di atas mangkuk yang dipersiapkan.
Katty, dayang yang selalu melihat Ilona berperilaku lembut sampai terheran. Sejak tadi dirinya merasa ada yang berbeda dari putri kandung Count Berenice tersebut.
"Ilonaaaa! Cepatlah! Aku lelah menunggumu sejak tadi!"
'Aku juga lelah mendengar cercaanmu sedari tadi'. Di dalam hati, Ilona mendengkus. Tidakkah kakak tirinya itu sadar, bahwa dia sejak tadi hanya terus mengomel. Masih beruntung dirinya dapat duduk santai di kursi rias. Lalu, Ilona? Perempuan itu sejak tadi hanya berdiri, seakan tubuhnya tak berarti.
"Ini sudah siap, Kak Shilla. Oh, Ketty. Aku lupa dengan baskom berisi air dinginnya. Apa aku bisa minta tolong untuk kau mengambilnya?" Ilona beralih menatap Ketty dengan tangan yang telah membawa semangkuk perasaan lemon. Tatapannya dibuat seolah merasa bersalah, padahal hannyalah sebuah akting belaka.
"Ya, akan kuambilkan."
Ilona hampir tertawa, melihat ekspresi Ketty yang terpaksa.
"Ketty, tunggu! Maaf, ini yang terakhir. Tolong tambahkan kain juga," pinta Ilona menghentikan langkah dayang yang baru saja akan keluar kamar. Ah, seorang tokoh utama tersebut sengaja melakukannya. Dia ingin membuat ekspresi wajah kesal Ketty.
"Baik." Satu kata itu terlontar dari bibir Ketty, setelahnya dia benar-benar berlalu untuk mengambil hal yang dibutuhkan Ilona.
Waktu berjalan, akhirnya Ketty datang membawa apa yang Ilona perintahkan. Selama itu juga Ilona terus mendapatkan omelan dari Shilla. Seharusnya ada earphone di zaman ini. Agar perempuan itu dapat menutup telinganya, dan mendengarkan lagu-lagu pop.
Ilona memasukkan kain ke dalam baskom berisi air dingin. Lalu, memerasnya sebagian, dan meratakannya ke wajah Shilla dengan hati-hati. Dirinya ingin membersihkan wajah kakak tirinya sebelum akhirnya mengoleskan perasan lemon.
"Uh, mengapa terasa sedikit tak nyaman?!" Shilla membuka kedua matanya, menatap ke arah pantulan Ilona di cermin marah.
Sedang, Ilona berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Ia beralasan, "Memang, begitu, Kak. Awalnya akan terasa dingin, lalu sedikit sakit. Namun, semuanya akan baik-baik saja."
Ilona menghela saat kemudian Shilla terdiam. Dia harus mengoleskan perasan lemon sewajarnya, tidak terlalu banyak. Bagaimana pun juga, Ilona masih memiliki hati. Dia tidak akan membuat wajah kakak tirinya terlalu berbintik-bintik merah.
"... sudah. Kak Shilla harus istirahat setelah memakai cream ini." Ilona meletakkan mangkuk kembali di atas meja bundar. Dia memperhatikan wajah Shilla yang baru saja dibilas dengan air dingin. Tidak mungkin Ilona membiarkan wajah kakak tirinya terkena perasan lemon terlalu lama.
"Hem. Sudah, keluarlah dari kamarku!" ketus Shilla sembari bangkit dari duduknya. Perempuan dengan gaun mahal tersebut kemudian merebahkan diri di atas ranjang besar, dibantu oleh Ketty.
Ya, Ilona sama sekali tidak diperhatikan. Dirinya memang hannyalah sebuah angin lalu, padahal dia merupakan putri kandung Berenice.
Keluar dari kamar Shilla seperti apa yang perempuan itu perintahkan, Ilona beralih untuk kembali ke kamarnya yang sederhana. Ah, sampai di ruangan minimalis tersebut, dapat dirasakan bagaimana besarnya perbedaan antara kamar Ilona, dengan kamar para kakak tirinya.
Ranjangnya kecil, keras, dan terlihat rapuh. Ilona menghela.
"Aku benar-benar tidak tahan menjadi tokoh utama!" Ilona kesal sendiri. Lantas, perempuan itu memilih untuk duduk di ranjangnya, yang tak seberapa dengan yang dimiliki Shilla.
Menghembuskan napas, kemudian memejamkan kedua mata untuk merasakan angin yang sayup-sayup membelai rambut pirangnya. Ilona ingin mempercepat alur cerita novel ini, dia tidak sabar mendapatkan happy ending yang begitu sempurna.
Ramos.
Kedua mata Ilona terbuka begitu sebuah nama tokoh heroin pria terlintas di pikirannya. Ia ingat, ya, Ramos! Dia adalah tokoh yang akan menjadi pendamping Ilona. Seorang Putra Duke yang terkenal karena ketampanan, kekayaan, serta sifat lembutnya. Ya, lebih ke dingin, sebenarnya.
Tokoh yang nantinya akan bertemu dengan Ilona, dan jatuh cinta di pandangan pertama. Lalu Ramos juga yang akan mengubah kehidupannya, membuat Ilona bagaikan seorang ratu. Ah, kenapa Ilona baru mengingatnya sekarang?
"Aku harus segera menemui Ramos, dan membuat pria itu jatuh cinta dengan waktu yang cepat!"