webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · 青春言情
分數不夠
93 Chs

Hubungan Terpaksa

Semua orang terdekatku mulai mengkhawatirkan keadaanku.

Aku lebih sering melamun dan menangis sendirian.

Mungkin aku terlalu konyol, dan payah, karna sudah memikirkan orang yang tidak jelas keberadaannya.

"Mel, elu itu mau sampai kapan kayak gini terus?!" bentak Elis. Nampaknya sahabatku ini sudah mulai muak dengan kegalauanku.

"Iya, Mel! Kamu itu jangan nyiksa diri cuman karna mikirin Cowok Brengsek, kayak Dion!" cantas Jeni.

Seketika aku langsung bangkit karna tak terima mendengar Jeni yang mengatakan jika Dion itu, 'Cowok Brengsek' karena bagiku Dion itu malaikat.

Dia pria baik yang pernah kutemu, pria yang sabar dan penuh kasih sayang.

Bahkan dia rela mengorbankan masa muda dan pendidikannya demi untuk mengurus orang tua.

"Jeni! Dion itu bukan 'Cowok Brengsek!'" bentakku.

Seketika Jeni langsung terdiam dengan wajah ketakutan.

"Maaf, Mel. Tapi Jeni gak suka lihat Dion bikin sahabat Jeni jadi sedih," ucapnya.

Elis turut angkat bicara.

"Elu gak usah bentak-bentak Jeni, Mel! Apa yang diucapkan Jeni itu memang benar! Dion itu 'Cowok Brengsek!' dia udah ninggalin elu seenak jidat! Dan memberi harapan tanpa kepastian! Kita semua muak lihat elu yang uring-uringan gak jelas gini, Mel! Nilai sekolah elu juga berantakan gara-gara ini! Padahal elu itu siswi berprestasi! Mau sampai kapan elu menghancurkan masa depan sendiri hanya demi, Cowok?!" Elis mengangkat ujung bibirnya dengan pandangan sinis kepadaku.

"Sekarang keputusan ada di tangan elu, Mel! Elu mau lanjut menggapai cita-cita elu bersama gue dan Jeni, atau mau menghancurkan hidup elu bersama Dion!?" tanya Elis dengan tegas.

Aku tak bisa menjawabnya. Mungkin benar kata mereka, aku ini gadis yang bodoh dan lemah karna menyiksa diri sendiri demi memikirkan pria yang belum tentu memikirkanku. Secara logika aku sadar perbuatanku ini sangat bodoh, tapi dalam hatiku tak bisa mengelak. Aku benar-benar masih mencintai Dion. Dan sampai kapan pun aku tetap akan mencintai Dion.

Perlahan Jeni mendekatiku, dia berbisik di telingaku dengan lirih.

"Mel, udah dong, kamu jangan egois. Kalau kamu seperti ini terus apa kamu gak kasihan sama orang-orang yang sayang sama kamu? Aku, Elisa, Tente Diani, serta kedua orang tua kamu? Kami ingin kamu suskes dan bisa menggapai cita-citamu. Tapi kamu malah menghabiskan masa mudamu dengan menyiksa diri ... dengan memikirkan seorang pria yang tidak tahu keberadaannya," tutur Jeni.

Gadis itu memang berbicara dengan nada rendah, tapi ucapannya berhasil mengetuk hatiku.

Mungkin sudah saatnya untukku tersadar dari mimpi. Dan aku harus kembali bangkit menjalani hidupku. Ini bukan untuk diriku saja, tapi untuk mereka yang dengan tulus menyayangiku.

Aku harus melepaskan Dion. Aku percaya jika memang kami berjodoh, suatu hari nanti, Tuhan akan mempertemukan kami kembali.

"Jenita, Elisa! Aku minta maaf, dan terima kasih masih di sampingku sampai detik ini," ucapku sambil memeluk kedua sahabatku secara bersamaan.

Rona bahagia tampak di wajah mereka.

"Nah gitu dong! Ini baru, Mel!" ujar Elis menepuk pundakku dengan bangga.

*****

Perlahan tapi pasti, aku mulai menjalani hidupku dengan normal.

Meski bayangan Dion masih sering menghampiriku, tapi aku berusaha untuk menepisnya. Aku pasti bisa!

***

"Mel, dari tadi, Dino itu ngelihatin kamu terus," bisik Jeni di telingaku.

"Sst! kayaknya dia naksir sama elu deh, Mel," tebak Elis.

"Ih kalian jangan ngacok deh!" sangkalku.

Sejak saat itu, Dino sering menghampiriku di kelas, yah kelas kami memang berbeda. Dino mulai menunjukkan perhatiannya kepadaku, dengan sering membawakanku coklat, kue dan bahkan dia juga memebelikanku boneka panda di hari valentine.

Dia tahu dari Jeni dan Elis, jika aku sangat menyukai boneka panda. Sehingga Dino membelikan untukku sebagai hadiah Valentine.

Dan tepat di hari yang orang bilang sebagai 'Hari Kasih Sayang' itu, Dino juga menyatakan persaannya kepadaku.

Tepat di depan kelas, dan disaksikan siswa-siswi yang lainnya, tak terkecuali dengan Elis dan Jeni. Pria itu berlutut di hadapanku.

"Mel, di hari kasih sayang ini, aku ingin menyatakan perasaanku ... aku cinta kamu, Mel. Kamu mau ya, jadi pacar aku?" ucapnya.

Seluruh teman-teman sekelasku bersorak, dan ingin agar aku mengatakan 'mau' kepada Dino, dan teriakkan yang paling kencang berasal dari mulut Jeni dan Elis.

"Terima aja, Mel!"

"Iya Mel, terima aja!" Dua gadis itu tampak heboh sendiri.

Akhirnya aku menerima perasaan Dino. Lagi pula kalau aku menolaknya sekarang, kasihan Dino... pasti dia akan malu karna sudah di tolak gadis di depan umum.

Kupaksakan bibir ini untuk tersenyum, lalu kuanggukan kepalaku.

"Iya, Dino. Aku mau jadi pacar kamu," ucapku.

"Beneran?!" Dino tampak heboh, matanya melotot tajam, dan kedua tangannya menggengam erat tanganku.

"Iya, Dino! Aku mau jadi pacar kamu!" tegasku.

Dino sampai lompat kegirangan, dan semua orang menyoraki kami.

***

Genap satu minggu aku menjalin hubungan dengan Dino.

Rasanya begitu hambar, tidak seperti saat aku behubungan dengan Dion. Mungkin karna aku tak mencintai Dino.

"Mel, kamu mau pesan apa? Kenapa malah ngelamun aja sih?" tanya Dino.

Aku mengerjapkan mata dengan cepat.

"Eh! Maaf, Dino," ujarku.

"Mel, aku liat semenjak kita jadian, kamu itu kelihatan gak seneng gitu? Apa kamu terpaksa pacaran sama aku?" tanya Dino.

"Eh, ya bukan begitu, Din. Tapi aku—"

"Kamu masih belum move on sama cowok yang bernama Dion itu ya?"

"Bukan, Din, tapi—"

"Mel, kamu sekarang pacar aku! Kamu hargai aku dong!" bentak Dino.

Aku pun langsung terdiam dan menunduk, "Maafin aku, Din ...," tukasku dengan perasaan bersalah.

"Iya, kali ini aku maafin kamu!" sengut Dino. Awalnya Dino memang manis kepadaku, tapi setelah satu minggu aku mengenalnya lebih dekat, dia mulai menujukkan sifat aslinya.

Dino agak temperamen. Dia sangat kasar bicaranya, dan gampang sekali tersinggung. Memang dia belum pernah melakukan kekerasan kepadaku, tapi aku merasa jika Dino itu bukanlah laki-laki yang baik untukku.

Drrrt....

Panggilan masuk di ponselku.

'Bagas,' aku mengangkatnya.

"Halo, Gas! Ada apa?" sapaku.

[Halo, Mbak Mel, apa kabar?] sahut Bagas.

Aku senang dia menelponku, karena setiap dia mengajakku bicara, pasti aku dibuat tertawa olehnya. Tapi sayang dia menelponku di saat yang tidak tepat. Saat ini aku sedang bersama dengan Dino.

"Siapa yang telepon, Mel?" tanya Dino.

"Em ... temen aku yang ada di Jawa," jawabku.

"Cewek apa cowok?"

"Co-cowok, sih ...," jawabku agak terbata-bata.

Tanpa berbasa-basi lagi, Dino merebut ponselku.

"Sini!" ucapnya dengan kasar.

"Jangan ganggu cewek gue lagi!" hardik Dino kepada Bagas.

Bersambung ....

Cinta itu datang tanpa memilih.

Dan pergi tanpa permisi.

Cinta juga tak bisa di paksakan.

Kupikir dengan menerima Dino aku bisa melupakan Dion.

Tapi ternyata aku salah ... cintaku tak semudah itu lenyap dan tergantikan oleh cinta yang baru.

Melisa Aurelie