webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · 青春言情
分數不夠
93 Chs

Elis Yang Ugal-ugalan

Satu minggu telah berlalu, aku menyandang siswi kelas 2 SMA.

Aku menjalani hari-hariku yang tak jauh beda seperti dulu.

Hari ini Laras mengirimiku pesan, yang menceritakan hubungannya dengan Bagas.

Dalam pesan itu bertuliskan,

[Mbak Mel, aku minta maaf ya, karena waktu itu aku sudah keterlaluan. Harusnya aku gak nyalahin, Mbak Mel! Karena, Mbak Mel, memang gak salah. Dan sekarang berkat Mbak Mel, Bagas ngajak aku pacaran, walau aku tahu pacaran ini sebagai percobaan. Tapi aku akan berusaha untuk membuat Bagas jatuh cinta kepadaku. Aku ucapan terima kasih Ya, Mbak.]

Aku tersenyum membacanya, dan pesan masih berlanjut.

[Mama juga bercerita banyak tentang, Mbak Mel. Mama bilang kalau aku memang harus berbaikan dengan Mbak Mel. Intinya aku pengen hubungan kita kembali baik kayak dulu lagi, Mbak. Aku harap Mbak Mel, mau dengan senang hati menjadi sahabat, sekaligus kakak buat aku.]

[Eh, udah dulu ya, Mbak, Bagas udah jemput, aku mau berangkat ke sekolah dulu,]

Kurang lebih seperti itulah pesan yang ditulis oleh Laras untukku.

Aku merasa lega. Sekarang Laras sudah tidak marah lagi kepadaku.

Satu beban pikiran kembali hilang.

Aku harap Laras dan Bagas bahagia dengan hubungan baru yang mereka sandang.

Tak lama klakson motor Elis membuyarkan pikiranku.

"Mel! Buruan!" teriaknya dari balik gerbang.

"Iya! Bentar gue ambil tas dulu!" sahutku.

"Ma! Mel, berangkat sama Elis, ya!" teriakku.

"Iya! Hati-hati!" sahut Mama.

***

Aku baik-baik saja, setidaknya aku masih bernafas dengan normal.

Bisa berangkat ke sekolah seperti biasa, dan bisa bercengkrama dengan kedua sahabatku yang sangat baik hati. Yah ... walau tak jarang mereka juga sering menyebalkan! Tapi itulah persahabatan. Aku bahagia bisa mengenal mereka yang bisa menerimaku apa adanya. Yang sangat peduli, dan bahkan turut menangis saat aku bersedih.

Mereka sangat berharga, Elisa dan Jenita ....

Selama ini aku yang bodoh, memikirkan orang yang tak peduli denganku. Dan bahkan membuat mereka yang peduli denganku menjadi bersedih.

Aku sadar jika aku bodoh, tapi anehnya dulu aku tak bisa berlari dan meninggalkan kebodohan itu.

Sekaranga aku sudah bisa, ya ... aku bisa!

"Mel, kata Jeni kemarin Dino nyariin elu tau!" ucap Elis.

"Ah ngapin sih tu orang masih aja nyariin gue?" tanggapku.

"Ya mungkin dia masih ngarep kali sama elu?"

"Ah itu sudah pasti! Tapi amit-amit ya, gue mah gak bakalan sudi balikan sama dia, cih!"

"Ya iyalah, kalau sampek elu balikan sama dia, gue juga gak bakalan rela kali, Mel!"

"Nah makanya!"

"Sayangnya si Dino, gak berani tanya sama gue! Kalau aja dia masih berani tanya sama gue, bakalan gue pastiin begitu balik mukanya udah gak rata lagi!" kata Elis dengan nada penuh emosi.

"Emangnya tuh orang bakalan elu apain, Lis?" tanyaku.

"Ya sudah pasti tu orang bakalan gue tonjok sampai kening benjol, bila perlu sampek dia lupa ingatan!" jawab Elis.

"Ah, elu mah, Lis! Emosian mulu kayak Tante Diani!" cercaku.

"Ya habisnya Dino itu udah keterlaluan, Mel! Harusnya dia itu ditarok di Rumah Sakit Jiwa, bukan malah berkeliaran di sekolah begini!" ujar Elis.

"Ah, udah ah! Jangan bahas Dino! Mending elu fokus bawa motornya! Bahaya tahu bawa motor sambil nyerocos!" kataku mengingatkan Elis.

"Ah elu mah, Mel! Bawel banget kayak Emak gue!"

"Lah ngapa jadi nyama-nyamain gue sama Emak elu deh! Gue bilangin ya sama Emak elu, biar di pelintir kupingnya!" ancamku pada Elis.

Elis malah semakin kesal kepadaku dan menaikan kecepatan motornya hingga aku sampai ketakutan diboncengnya.

Jantungku hampir copot, karena Elis membawa motor tanpa arah, tidak peduli krikil, lubang, hingga polisi tidur ia terjang semaunya.

"Elis! Jangan ngebut-ngebut woy! Gue masih jomblo!" teriakku menghentikan Elis.

"Apa hubungannya motor ngebut sama, Jomblo, Melisa!?" tanya Elis.

"Ya ada ... lah pokoknya! Gue gak aku mati dalam keadaan jomblo!" jawabku dengan lantang.

"Haha! Dasar, Mel! Stres!" cerca Elisa kepadaku.

"Eh, Elis! Elu yang stres! Naik motor gak pakek arah!"

GRUBAK!

BYUAAR!

Aku dan Elis, tiba-tiba melayang kami jatuh berjamaah ke dalam aliran sungai, sementara motor Elis masih tergeletak di atas jembatan.

Aku merasa terkena ilmu sihir yang mampu memindahkan tubuhku dari motor pindah ke dalam sungai.

"El! Elu baik-baik aja?" tanyaku sambil menepuk pundak Elis.

"Eng-gak, kok, Mel ...." Mendadak Elis berubah menjadi aneh, aku mulai memikirkan hal yang tidak-tidak.

"Lis, elu masih inget gue, 'kan?"

"Iya, ingatlah, Mel! Gue gak lupa ingatan kok!" sengut Elis.

Dan orang-orang pun mulai berdatangan dan membantu kami naik ke atas jembatan.

Rasanya lega bisa keluar dari dalam sungai yang dipenuhi dengan sampah itu. Astaga! Mimpi apa aku semalam!

Elis benar-benar ... hmm ...!

"Neng, gak apa-apa, 'kan?" tanya salah seorang warga yang menolong kami.

"Enggak, Pak!" sahutku seraya menggelengkan kepala.

"Lain kali kalau naik motor hati-hati, Neng! Masih untung kalian selamat! Dan pastinya juga gak ada polisi, coba kalau ada, pasti kalian udah digiring ke kantor polisi!" oceh Bapak itu menasehati kami.

Untung para warga itu sangat baik sehingga mereka hanya memperingatkan kami supaya lebih berhati-hati lagi agar tidak melakukan hal yang membahayakan seperti tadi. Dan tidak melaporkan kami ke Polisi, kerena telah membahayakan keselamatan umum.

Lagi pula salah Elis juga yang naik motor secara ugal-ugalan.

Masih bersyukur kami selamat dan tanpa cidera apapun.

Hanya saja seragam kami kotor dan tidak bisa berangkat ke sekolah.

Ini adalah pelajaran berharga bagi kami terutama Elis agar tidak ugal-ugalan ketika di jalanan.

Karena selain membahayakan bagi dirinya sendiri tapi juga membahayakan orang lain. Sudah pasti setelah pulang nanti aku akan mengocehi Elis habis-habisan, dia sudah hampir membuatku celaka.

Sebenarnya dari peristiwa kecelakaan tadi aku sedikit heran dengan kejadian yang menimpa kami.

Entah bagaimana ceritanya kami tiba-tiba sudah berada di dalam sungai, padahal motor kami masih berada di atas jembatan.

Dan anehnya kami tidak memiliki luka sedikit pun?

Mungkin Tuhan masih ingin kami hidup, dan Tuhan ingin agar kami menjadikan pristiwa ini sebagai pelajaran berharga, terutama bagi Elis.

Dengan tubuh yang masih bergetar, Elis kembali menyalakan starter motornya.

Aku tahu dia masih trauma, tapi tak ada pilhan lain, kami harus meninggalkan tempat ini, apalagi badan kami basah kuyup, terjebak air sungai yang sangat kotor, bahkan kulitku sudah mulai merasa gatal.

"Lis, kalau elu masih takut, gue aja deh yang bawa motornya!" ujarku.

"Bo-boleh deh," sahut Elis.

"Yaudah elu pindah kebelakang!" sergahku.

"Oke!" jawab Elis.

Dan aku langsung berpindah ke depan.

"Eh, Mel! Gue mau tanya sesuatu sama elu?"

"Tanya apa, El?"

"Emangnya elu bisa naik motor ya?" tanya Elis.

Dan suasana mendadak hening ....

Bersambung ....