Di sana Dinda termenung, dia masih berdiri di tempat yang sama di mana dia bicara dengan Haidar tadi.
Yaitu di ambang pintu rumahnya, Dinda terus memikirkan apa yang Haidar katakan sampai dia tak sadar kalau kekasihnya Dev sudah berdiri di depannya dengan dahi berkerut melihat Dinda yang termenung.
"Sayang, kenapa?" tanya Dev sembari mendekat, pria itu tampak tampan dengan pakaian santainya sudah siap untuk berangkat liburan.
"Oh, kamu udah dateng."
Dinda memaksakan senyumannya agar terbit untuk Dev, supaya Dev tak banyak bertanya tentang perubahan pada wajahnya.
"Kita jadi pergi, kan?"
Dinda mendongak guna melihat wajah Dev, tinggi mereka sangat beda jauh. Dinda hanya sebatas dada dengan Dev.
"Sekarang?" tanyanya balik, Dinda tampak linglung. Gara gara kedatangan Haidar yang tak terduga duga mood dan pikiran Dinda jadi teralihkan sepenuhnya.
"Iya, dong. Bukannya tadi siang kita udah bahas ini, aku udah beli tiketnya ini." Dev menunjukkan dua tiket pesawat dengan tiket first class pada Dinda.
Tak lupa dia tersenyum girang, seakan sangat senang akan pergi berlibur dengan sang kekasih.
Dinda melirik tiket yang sudah Dev pindahkan ke telapaknya, jelas dari tatapannya dia tak berminat.
"Din?" Dev menyentuh bahu Dinda membuat wanita itu kembali tersadar, setelah beberapa saat sempat melamun memikirkan Haidar.
"Eh, iya?"
Dev menghela napas kasar, dia menjauhkan tangannya dari pinggang Dinda. Lantas membuat Dinda menghadap pada dirinya.
"Kamu kenapa, sih? Ada masalah? Atau kamu masih mikirin bocah itu? Kamu masih peduli sama dia, aku ada di sini loh," kata Dev sedikit tak suka.
Secara terang terangan dia menunjukkan kalau dia tak suka Dinda terus memikirkan Ken, walaupun Ken itu putra wanita itu sendiri.
"Bukan, Dev. Bukan gitu maksudnya," kilah Dinda cepat.
Dia menggeleng cepat, tapi itu sia sia saja. Sebab Dev masih tampak kesal, terbukti dari wajahnya yang memerah seperti menahan kesal.
"Ya, udahlah. Aku pulang aja, kita batalkan liburannya kalau kamu memang masih memikirkan putra kamu itu."
Hampir Dev pergi, tapi cepat cepat Dinda mengejar pria itu. Dia berdiri di depan Dev dengan merentangkan tangannya, menghalangi jalan Dev.
Dev membuang muka, tak tahu malunya Dinda memeluk Dev begitu erat dengan wajah memelas. Tanda dia sangat menyesal karena sudah memikirkan Ken.
"Aku minta maaf, aku nggak maksud buat melamun tadi. Jangan batalin liburannya, aku siap siap sekarang ya?" pinta Dinda manja.
Dev melirik Dinda yang kini sudah mendongak guna melihat wajahnya, Dev memutar bola matanya jengah sebab Dinda memasang wajah sangat memelas. Dinda tahu pasti Dev tak akan bisa menolak dirinya.
"Ya, udah. Jangan ulangi lagi, oke? Kamu jangan pernah pikirin putra kamu itu lagi, dia nggak penting bagi kamu. Aku yang penting buat kamu, oke?" tegas Dev seenak jidatnya.
Dinda memang wanita bodoh, dengan senang dia mengangguk mengiyakan ucapan kekasihnya itu.
***
Suara ketukan dari luar yang terdengar sangat tak sabaran itu sukses membuat dua wanita di dalam sana saling berpegangan karena takut.
"Kalau sampai ada masalah ini karna lo!" tuduh Alea dengan wajah ketakutan.
Di sekeliling kontrakan mereka ada banyak pengawal Haidar, yang mengetuk adalah anak buah Haidar. Pria itu tampak tenang memasukkan ke dua telapaknya ke saku celana.
"Jangan salahin gue, gue mana tau kalau dia anaknya orang kaya. Dia duduk di pinggir jalan pas hujan," kilah Wiyana cepat. Sama seperti Alea, dirinya juga sangat waspada. Takut kalau ucapan Alea tentang kisah di novel itu terjadi ke kehidupan mereka.
"Kalau dia beneran psikopat gimana?"
"Lo, kok. Yakin dia psikopat, sih? Dukun lo?" tanya Wiyana, matanya tak henti melirik keluar jendela.
"Karna dia ganteng, kayaknya cuek, kaya juga, fiks dia psikopat!" seru Alea dengan semangat empat lima.
Wajah Wiyana sontak berkerut, sebenarnya Alea takut atau tidak pada situasi yang sedang menimpah mereka. Sebab alih alih tampak takut, Alea malah terlihat exaited.
"Lo stress, ya? Lo keliatan kayak girang banget, sih."
"Enggaklah, gila lo. Walau dia ganteng tetep aja di orang yang jiwanya rusak, sebelum dia hancurin tuh pintu. Mending kita pergi, ayo!"
Tanpa basa basi Alea menarik tangan Wiyana agar keluar dari kamar itu dan segera melarikan diri.
"Ishhh, mau ke mana kita kalau lari dari kontrakan ini?" sungut Wiyana sembari menyentakkan tangannya yang secara otomatis juga membuat pegangan Alea terlepas.
Alea rasanya sangat ingin menjambak rambut sahabatnya itu, kenapa Wiyana harus bodoh di saat saat terdesak begitu.
"Wi, gue tau lo cewek pinter walau cuma lulus SMA. Setidaknya tolong manfaatin kepintaran lo yang sebesar biji kurma itu buat selamatin diri!" usul Alea menggebu gebu.
Gemas sekali dia dengan Wiyana yang lelet, sementara mereka berdebat. Ken, bocah yang menyebabkan kontrakan mereka terkepung masih asik dalam tidurnya. Dia memang kalau sudah tertidur tidak akan peduli dengan sekitar.
"Apa, sih. Lo yang bodoh, ini tempat kita. Ngapain kita lari, lo mau tinggal di kolong jembatan kalau pergi dari sini?"
Alea menggeleng cepat dengan wajah berkerut sarat akan ketakutan.
"Lo mau kedinginan di luar sana tanpa selimut Doraemon lo?"
Lagi, Alea menggeleng cepat. Sungguh tidur tanpa selimut kesayangannya itu bukanlah hal yang indah untuk dibayangkan.
"Ya, udah ngapain kabur. Ayo kita hadapi dia, kita tanya apa tujuannya datang ke sini bawa orang banyak."
Keberanian Wiyana yang hanya secuil sudah membara, dia gantian menarik tangan Alea lantas mendekati pintu.
Alea berhenti ketika Wiyana hampir membuka pintu, tapi dia menahan tangan Wiyana dan secara otomatis itu membuat Wiyana ikut berhenti.
"Kenapa lagi?" tanyanya kesal.
Alea menggeleng, dia bersembunyi di belakang tubuh kecil Wiyana. Padahal tubuh mereka sama kecilnya.
"Takut," rengek Alea dengan nada super manja.
Wiyana mendengkus, lagi lagi suara ketukan mengisi kekosongan kontrakan mereka.
"Penakut lo!" cibirnya.
Detik ketiga setelah Wiyana mengatur napasnya, dia membuka pintu dengan cepat. Di luar sana tampak dua orang pengawal menatap ke arah Wiyana dan Alea, mereka langsung bergeser ketika pintu sudah terbuka lebar.
Tatapan Wiyana dan Haidar bertemu, Wiyana diam membeku melihat wajah tampan di depannya.
"Saya Haidar Saadi Adityawarman, tadi saya mendapat pesan dari Ken, putra saya kalau dia berada di sini. Jadi, saya ke sini ingin menjemputnya," ungkap Haidar dengan wajah datar dan suara beratnya.
Satu detik, dua detik, bahkan sampai dua puluh detik Wiyana masih diam. Dia sedikit membuka mulutnya karena tak percaya pada apa yang dilihat oleh ke dua matanya.
"Ha––Haidar?"
"Hmmm," gumam Haidar sedikit mengangguk.
Kembali senyap, Wiyana lagi lagi diam membeku. Wajahnya, namanya sangat melekat di benak Wiyana.
"Ka––"
"Jadi, apa Ken ada di sini?" potongnya sebelum Wiyana menyelesaikan kalimatnya.
"Ada!" seru Alea cepat, sebab sahabatnya hanya diam saja. Alea menggeserkan tubuhnya dan Wiyana ke samping agar Haidar bisa melihat Ken yang sedang tertidur dengan posisi duduk di sofa.
Tanpa permisi atau sekedar basa basi, Haidar masuk dengan sepatunya yang kotor.
Haidar menggendong Ken dengan mudah di depan tubuhnya, dia sedikit menepuk punggung putranya.
Haidar kembali keluar, dengan sigap anak buahnya langsung mengambil ahli tubuh kecil Ken. Dan memasukkan Ken ke mobil, sementara Haidar kembali berdiri di tempat yang sama.
"Tarik kembali yang lain!" perintahnya, hanya dalam hitungan detik belasan anak buahnya sudah berbaris rapi berdiri di mobil mereka masing masing.
"Apa tadi Ken menyusahkan kamu? Apa dia makan?"
Wiyana mengangguk pelan.
"Makan apa?"
"Ikan goreng sama nasi, dia juga ikut saya menanam," lanjut Wiyana masih belum bisa mengumpulkan kesadarannya.
Tangannya berpegangan pada tembok, dia sedang berusaha menahan kakinya agar tak jatuh sebab rasanya kakinya sudah berubah menjadi jeli.
"Hmmm, ini sebagai ganti rugi apa yang putra, saya. Makan di tempat kamu!"
Haidar mengambil lima lembar uang berwarna merah, dia menyodorkannya pada Wiyana. Wiyana diam menatap Haidar, dan uangnya secara bergantian.
"Oh, iya. Makasih!" timpal Alea sembari mengambil uangnya dari tangan Haidar dengan cepat.
Haidar mengangguk sekali, setelahnya dia benar benar pergi dengan pengawal dan putranya kembali pulang.
Sepeninggalan Haidar, Wiyana langsung jatuh terduduk di lantai.
"Eh, lo kenapa?"
***