Masih dengan Haidar dan Wiyana, di ruangan yang sama. Wiyana sudah mulai kembali mendapatkan kepercayaan dirinya, dia ingin mempercepat itu semua.
Dirinya bangkit, Haidar mundur satu langkah melihat Wiyana berdiri.
"Pertama, kenapa saya mengajak Ken pergi dari sana. Karena dia anak kecil, dia butuh perlindungan orang dewasa. Ke dua, saya ajak dia naik angkot. Alasannya karena saya pikir dia bocah gelandangan yang tidak dipedulikan keluarganya, saya juga tidak punya banyak uang untuk naik kendaraan yang lebih bagus."
Wiyana menjeda sesaat, dia mengatur napasnya terlebih dahulu. Karena bicara dengan satu tarikan napas sukses membuatnya agak sesak.
"Alasan kenapa saya suap dia, karena dia terlihat tidak berselera untuk makan. Tapi, saya tidak bisa biarkan dia tidak makan. Saya tidak ingin dia jatuh sakit karena habis hujan-hujanan pasti setelahnya dia akan merasa lapar, sebab saya sering merasakan itu. Dan, saya memang hanya kasih dia ikan goreng. Tapi, ini bukan tentang itu makanan biasa atau karena makanan yang tak layak dimakan. Tapi, karena. Saya peduli pada Ken."
"Sebenarnya saya tidak ingin mengungkit ini, namun. Sekarang situasinya berbeda, Anda. Terus saja bertanya dan ngotot ingin tau jawabannya, maka. Akan saya jawab, makanan yang Ken makan saat itu. Adalah jatah makan malam saya, saya memang orang susah. Tapi, saya akan merasa sangat tidak berguna jika membiarkan Ken kelaparan sementara saya punya jatah makanan yang belum dimakan," ungkap Wiyana.
Tampak rautnya berubah, Wiyana seperti kesel. Dia kesal karena kembali mengingat kalau di saat itu Ken tampak sangat menderita, pantas saja Ken terlihat begitu. Sebab cara Haidar membesarkan Ken adalah dengan cara yang begitu tegas.
"Terakhir, dia nekad menyelamatkan saya dengan menahan benda tajam itu. Itu ... itu adalah hasil dari rasa terima kasihnya kepada saya, saya tidak tau itu benar atau tidak. Tapi, saya yakin. Ken menolong saya karena dia pikir, saya memang harus dia tolong sebab saya sudah pernah membantunya dulu. Itu bisa dibilang sebagai balas budi," tandas Wiyana lugas.
Haidar diam mendengarkan penuturan gadis asing itu, Haidar diam karena dia sendiri merasa tertarik dengan gaya bicara Wiyana. Dan, cara gadis itu menyusun setiap kata membuat Haidar mulai berpikir kalau Wiyana adalah gadis yang penyayang.
"Apa kamu lapar?" tanya Haidar tak nyambung dengan pembahasan mereka saat itu, sontak saja wajah Wiyana langsung berkerut. Seakan menanyakan apa yang Haidar maksud.
"Kamu bicara begitu banyak, kalimat kamu terdengar sangat bagus. Dan, agak mengharukan. Saya pikir kamu pasti akan lapar setelah itu, lagi pula ini sudah saatnya makan malam. Makanlah bersama saya dan Ken jika kamu mau, tapi. Jika, kamu tidak ingin berlama lama di sini. Silakan pulang sekarang!" cakap Haidar untuk yang terakhir kalinya.
Sebab setelah mengatakan itu dia langsung pergi dari ruangannya, meninggalkan Wiyana seorang diri dengan wajah yang tampak aneh. Sebab dia sangat tak mengerti dengan pola pikir Haidar.
Sepeninggalan Haidar, Wiyana memukul sofa yang tadi dia duduki dengan gemas. Lantas Wiyana mendekati dinding kaca, dengan wajah yang amat drama dia berlagak membenturkan kepalanya ke dinding itu dengan gaya yang berlebihan dan tak lupa ekspresi seperti orang stres.
"Apa dia mau buat gue gila? Awalnya dia kaku, lalu senyum nggak jelas yang buat jantung gue mau copot, terus jadi cool macam Elsa, abis itu jadi aneh. Ajak makan segala lagi, argggg!" celotehnya gemas dengan Haidar.
Tak sadar saja Wiyana kalau Haidar kembali lagi ke ruangannya dan melihat tingkah gadis aneh itu.
"Jadi, senyuman saya membuat jantung kamu mau copot? Kalau begitu saya akan terus tersenyum ketika melihat kamu agar tak hanya jantung yang copot, tapi juga usus dua belas jarimu! Apa kita bisa pergi sekarang?" selanya, sukses membuat Wiyana berhenti melakukan aksi gilanya.
Tubuhnya seakan membeku ketika tahu kalau Haidar masih ada di sana, malunya jadi berlipat ganda.
"Jangan salah paham, saya kembali ke sini. Karena saya tidak bisa membiarkan orang asing tetap berada di ruangan saya, bukan?"
"Ya, benar!" seru Wiyana dengan suara yang naik beroktaf oktaf.
Tanpa basa basi Wiyana pergi dengan tergesa gesa dari ruangan Haidar, sangking tergesa bercampur malu. Wiyana sampai enggan melihat wajah Haidar.
Haidar hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah Wiyana itu.
***
Di sana mereka sekarang, di ruang makan dengan lebar ruangan yang lebih besar dari pada kontrakan Wiyana.
Meja makan kaca dengan kaki terbuat dari emas memanjang sampai beberapa meter, di sisi kanan dan kiri meja terdapat bangku yang bercorak sama dengan meja.
Wiyana sampai menelan ludah, karena tak tega menduduki bangku yang tampak sangat indah itu.
"Kenapa hanya berdiri, apa kamu ambean? Silakan duduk!" suruh Haidar sembari memberikan kode pada Wiyana melalui lirikannya.
Wiyana menurut, dia ikut duduk. Terdapat begitu banyak bangku di sana sampai dia bingung harus duduk di mana, dan itu semua tak luput dari pandangan Haidar.
"Tante, duduk samping aku aja," seru Ken seakan tahu kebingungan Wiyana.
Wiyana melihat Ken, beberapa detik setelahnya dia mengangguk mantap. Wiyana duduk di samping Ken, di mana bangku yang mereka tempati berjarak sangat jauh dari Haidar.
Haidar duduk di kursi tengah, otomatis itu adalah kursi paling ujung. Dan, Ken juga memilih duduk di sebrang papanya bersama Wiyana.
"Ken, kenapa duduknya jauhan gitu sama papa, kamu? Apa kalian lagi sosial distance?"
Wiyana sebenarnya bertanya sambil berbisik bisik, tapi siapa sangka kalau bisikannya itu ternyata sampai ke gendang telinga Haidar.
Pria itu terlihat tenang dengan sendok dan garpu di masing masing tangannya, dia memotong daging dan memasukkan ke mulutnya dengan gaya yang penuh wibawa.
Haidar benar benar tenang padahal dia tahu kalau Wiyana sedang membicarakan dirinya.
"Papa nggak suka saat makan ada yang duduk di dekatnya," jawab Ken.
Ya, itu juga adalah salah satu kebiasaan aneh dari Haidar selain menanam ribuan pohon di depan rumahnya.
Wiyana yang orang baru di sana jelas tak menduga dan mengerutkan wajahnya ketika tahu alasan Ken duduk dengan jarak yang sangat jauh dari Haidar.
"Kalau begitu kenapa dia nggak makan sendiri aja, sih?" protes Wiyana masih berisik bisik dengan wajahnya yang menahan kesal.
Pergerakan Haidar terhenti sejenak, tatapan fokus ke piringnya. Tapi, hati serta otaknya memikirkan apa yang baru saja Wiyana katakan.
Kalau boleh jujur Haidar sedikit tersinggung sebenarnya dengan kalimat gadis itu barusan, tapi karena dia pria yang pandai menyembunyikan emosinya.
Haidar pun diam saja, dia melanjutkan makannya masih sambil mendengarkan setiap perkataan Wiyana yang kadang juga membuat dia tersinggung.
"Papa nggak suka makan sendiri," jawab Ken santai tanpa berbisik-bisik seperti Wiyana.
Sialan, rasanya Wiyana ingin menjambak Ken sebab dia berkata terlalu keras.
"Papa juga nggak suka ada yang bicara saat makan, Tante. Ayo makan dengan tenang, supaya malam ini papa menemani aku tidur."
Wiyana membeku mendengar kalimat terakhir Ken sebelum bocah itu diam dengan wajah datarnya, dia yang terlalu cerewet hampir saja membuat Ken tidur sendiri.
***