Dia Wiyana berjalan dengan pelan karena kepalanya mulai terasa pusing luar biasa, keringat dingin bercucuran menghiasi kening dan sekujur tubuhnya.
"Kepala gue sakit banget," keluhnya sembari memenangi kepalanya.
Dunia seperti berputar membuat Wiyana sempoyongan.
"Kenapa dunia muter muter, sih?" keluh Wiyana, tangannya tak henti memijat keningnya pelan. Beberapa kali matanya berkedip kedip guna mengembalikan penglihatannya seperti semula.
Banyak pejalan kaki melirik aneh ke arah Wiyana, sebab pusing dia berjalan seperti orang mabuk. Oleng ke sana dan ke sini, bahkan tak jarang dia hampir tersungkur atau yang buruknya menabrak seseorang.
"Hey, jalan pake mata dong!" sungut seorang pemuda yang memakai seragam SMA.
Wiyana melihat pemuda itu dengan sedikit menyipitkan matanya, sialnya bahkan wajah pemuda itu jadi tiga.
"Hey, anak kecil. Bicara sama orang yang lebih tua harus sopan!" tegurnya tak gentar, tentu saja. Pemuda itu berusia jauh di bawahnya, pantas saja jika Wiyana menegur cara bicaranya yang terkesan tak sopan.
"Apa, sih. Udah salah sok nasehatin, sok tua lu!" balas pemuda itu tak santai, bahkan tak segan dia menunjuk wajah Wiyana yang pucat dengan telunjuknya.
Wiyana memejamkan matanya beberapa detik guna mengontrol emosinya yang hampir meledak, setelah dia rasa emosinya sedikit mereda baru Wiyana kembali membuka matanya.
Ditatapnya pemuda yang lebih tinggi darinya itu dengan sabar, Wiyana memaksakan senyumannya lalu berkata.
"Turunkan telunjukmu anak kecil!" suruh Wiyana pelan.
Suasana di sekitar mereka mulai memanas, bahkan tak jarang pejalan kaki yang melintasi mereka menatap aneh ke arah dua insan itu.
Pemuda itu merasa semakin tertantang, alih alih menurunkan tangannya. Dia malah mengambil langkah semakin mendekati Wiyana, Wiyana mengerutkan wajahnya. Sontak saja dia langsung mundur bersamaan dengan langkah pemuda itu.
"Kalo gue nggak mau lo mau apa?" tantangnya dibarengi dengan senyum miring tampak sangat merendahkan Wiyana.
Wiyana menarik napas panjang, lalu dia hembuskan secara perlahan.
"Ini peringat terakhir turunin telunjuk lo, hey. Lo denger nggak? Gue lebih tua dari lo dasar, Sialan!" teriak Wiyana pada akhirnya.
Kesabarannya benar benar diuji, sialnya begitu dia berteriak kepalanya bertambah pusing. Dia meringis sembari memijat pelipisnya.
"Ck, cewek lemah kayak lo memangnya bisa apa. Dan, ya. Gue nggak peduli mau lo lebih tua dari gue atau enggak, tetep aja lo yang mancing masalah duluan."
"Gue mancing apa? Gue cuma lewat, gue lagi demam. Gue nggak segaja senggol lo," sanggah Wiyana berusaha menunjukkan kalau dia tak salah.
Sebab memang betul dirinya tak salah.
"Masalahnya juga sepele, lo yang besar besarkan masalah. Dasar bocah, uang jajan juga pasti lo masih dari orang tua kan?" cibir Wiyana.
"Hey!" bentak pemuda itu dengan wajahnya yang memerah karena menahan kesal.
Tangannya melayang di udara dengan terkepal, siap untuk melayangkan pukulan ke wajah Wiyana. Wiyana melirik tangan itu, dengan sigap dia memegang pergelangan kekar pemuda di depannya.
"Gue bukan cewek lemah, lo kira bisa pukul gue. Ah, anak muda jaman sekarang memang nggak punya sopan santun."
Dengan sekali gerakan Wiyana melintir tangan pemuda itu ke belakang tubuh pemuda tersebut, sontak saja dia memekik karena terdengar suara tulang patah dari sana.
"Upsss, tenang aja. Nggak patah, kok. Paling juga terkilir," ucap Wiyana terdengar sangat menyebalkan bagi pemuda itu.
Aksi Wiyana menarik perhatian banyak orang, bahkan hanya untuk melihat apa yang Wiyana lakukan mereka rela untuk berhenti.
Tak sedikit yang mengelurkan ponsel guna merekam kejadian itu, mereka tampak exaited menyaksikannya.
"Denger, ya. Lain kali kalau sekolah jangan cabut mulu, belajar sopan santun juga di sekolah. Lo itu masih muda, lo harapan ke dua orang tua lo. Jangan jadi manusia yang nggak berguna dengan terus marah marah karena masalah sepele, denger anak kecil!" pesan Wiyana berbisik masih bisa didengar baik oleh orang lain
"Arggg." Pemuda itu teriak tertahan sebab Wiyana semakin menekan tangannya.
"Dengerin nggak?" tanya Wiyana ketus dengan mata yang di besar besarkan, sebenarnya Wiyana tak suka jadi sorotan orang orang. Tapi, kali ini situasinya berbeda.
"Iy––iya...." katanya memelas.
Wiyana mengangguk dua kali, lantas dia melepaskan kembali tangan pemuda itu dan menepuk pundaknya dua kali.
"Pergi sana sekolah!" suruh Wiyana lagi, kali ini wajahnya tampak sedikit bersahabat walau masih sangat pucat.
"Udah, ya. Semuanya, pertunjukkannya udah berakhir, tolong cari kesibukan yang lain," seru gadis bernetra hitam itu dengan senyumannya lebar.
Dengan itu maka kerumunan langsung pecah, ada yang mengeluh karna tak puas dengan akhirnya. Ada juga yang senang karena memiliki bahan untuk dimasukkan ke media sosial mereka masing masing.
Sama seperti yang lain sudah kembali kesibukan mereka sendiri, Wiyana pun berbalik. Dia ingin kembali melanjutkannya perjalanannya, tapi siapa sangka kalau pemuda sialan tadi tak terima dengan apa yang Wiyana lakukan padanya.
Dia berbalik lagi, melihat punggung Wiyana yang belum jauh. Dia mengeluarkan benda tajam dari jaketnya, langkahnya begitu lebar mendekati Wiyana.
"Lo harus mati, lo nggak tau siapa gue. Siapa lo sampai berani buat gue malu?" gumamnya semakin mencengkram kuat pegangan pada benda tajam di tangan kanannya.
Tak ada yang melihat dirinya, tak ada pula yang peka kalau dia memiliki niat jahat pada Wiyana. Hingga dia sampai tepat di belakang Wiyana, dengan penuh keyakinan dia mengayuhkan tangannya mendekatkan benda tajam itu ke punggung Wiyana.
"Astaga!" seru beberapa orang yang menyaksikan adegan berbahaya barusan.
Mata mereka membesar, sebagian orang yang tahu perdebatan apa yang barusan terjadi. Langsung menutup mulut mereka masing masing sebab merasa tak yakin, kalau pemuda itu berani bertindak nekad.
Darah mengucur begitu deras dari salah satu bagian tubuh, cairan mewah pekat itu mengotori trotoar. Dan, hanya dalam hitungan detik mereka kembali dikerumuni oleh pejalan kaki.
***
Tangan yang sejak tadi sibuk menata piring dan gelas yang sudah dicuci mendadak tak becus, sebab menjatuhkan piring kaca tanpa segaja.
Piring putih itu langsung hancur berkeping keping, tak lagi berbentuk dan berserakan di segala tempat.
"Astaga, Alea. Lo kenapa, sih. Kenapa piringnya bisa sampai jatuh?" tanya rekan kerja Alea.
Dia Gina, sama sama berprofesi sebagai waiters kafe dengan Alea. Mereka lumayan akrab karena sudah lama bekerja di tempat yang sama.
"Ya, ampun. Maaf, maaf. Gue nggak segaja," kata Alea tak enak hati.
Cepat cepat gadis berambut sepinggang itu berjongkok guna membersihkan kekacauan yang dia buat, syukur bosnya tak melihat apa yang dia perbuat. Kalau tidak itu akan menjadi masalah besar baginya.
"Lo ada masalah, ya? Nggak biasanya lo ceroboh begini," tanya Gina.
Dia gadis yang baik, dirinya ikut berjongkok guna membantu Alea membersihkan serpihan piring kaca itu.
"Hmmm, sebelum berangkat gue berantem sama Wiyana. Dan, dia lagi demam. Mendadak perasaan gue nggak enak banget, gue nggak tau kenapa. Tapi, gue kepikiran dia mulu," akunya tak segan.
Walau belum pernah bertemu secara langsung oleh gadis bernama Wiyana yang sering Alea ceritakan, Gina sudah bisa tahu bagaimana akrabnya hubungan dua gadis itu. Sampai sampai Alea tak tenang ketika bekerja karena bertengkar dengan Wiyana.
"Al, gue tau bekerja dalam tekanan itu nggak mudah. Jangan terlalu pikirin hal itu, kalian sahabatan udah lama. Gue yakin kalian saling menyayangi dan menjaga, sepulang kerja nanti. Lo harus perbaiki hubungan kalian, ya. Biar perasaan lo tenang," pesan Gina.
Tak lupa dia memberikan senyum manis dan tepukan pelan di pundak Alea.
"Iya, lo bener. Abis ini gue mau telepon Wiyana, gue nggak akan bisa tenang sebelum tau kabarnya."
***