Maya mendorong kursi roda Marve setelah melakukan pemeriksaan mereka memutuskan untuk menemui Darwis yang akan segera pulang hari ini.
"Jangan membuat masalah dengan kakek. Saat kamu menghilang, dia sangat menghawatirkan dirimu." Bisik Maya tepat pada saat akan memasuki ruangan Darwis.
"Jadi sekarang kamu berada di pihak kakek?"
"Ayolah sayang... Kalian harus berdamai, aku tahu jika kalian sebenarnya saling perduli."
Marve menyembunyikan senyumannya, sepertinya kejadian yang menimpanya memberikan hikmah pada hubungan Maya dan kakeknya.
"Kakek..."
Marve kembali tersenyum bahkan Maya memanggilnya dengan suara selembut itu membuatnya sungguh terkesan.
"Oh Maya, kemarilah nak. Makan jeruk ini, ini sangat manis." Ucap Darwis saat Maya dan Marve datang dan dengan cepat ia meraih tangan Maya dan membawanya duduk ke sisinya dan kemudian mengupaskan sebuah jeruk untuk Maya.
Maya tersenyum dan menikmati jeruk pemberian Darwis, mereka kemudian tertawa bersama layaknya seorang kakek dan cucunya.
Oh ini berlebihan...
Terlalu berlebihan bahkan Darwis tidak menghiraukan keberadaannya, membuat Marve sedikit merasa cemburu pada Maya.
Herlyn yang baru saja selesai merapihkan pakaian Darwis segera mendorong kursi roda Marve dan membawanya mendekat.
"Sepertinya kakek telah memiliki cucu kesayangan baru, Marve." Ucap Herlyn bergurau.
"Kurasa begitu." Sahut Marve.
Darwis dan Maya kemudian kembali tertawa, Darwis lalu meraih dua buah jeruk untuk diberikannya pada Marve dan Herlyn.
"Bagaimana keadaanmu Marven?" Tanya Darwis pada Marve yang baru saja akan menerima suapan dari tangan Maya membuatnya sedikit kecewa.
"Tidak baik, karena sepertinya kakek ku telah menemukan cucu kesayangan baru." Jawab Marve bergurau.
Darwis tertawa lepas mendengar rajukan Marve padanya, sungguh menggemaskan melihat Marve merajuk seperti ini.
"Ayolah, kalian semua cucu kesayanganku..."
Ruangan ini kembali menghangat ketika akhirnya mereka dapat tertawa bersama.
"Aku sungguh-sungguh bertanya, bagaimana keadaanmu, Marven?"
"Sudah agak lebih baik."
"Syukurlah., kalau begitu cepatlah sembuh dan berikan aku seorang cicit." Ucap Darwis membuat Maya seketika tersedak tapi tidak dengan Marve yang tersenyum merekah.
"Aku sudah jenuh menggunakan tongkat ini untuk membantuku berjalan. Aku ingin berjalan bersama cicit ku kelak."
Wajah Maya seketika merona, jadi Darwis benar-benar telah menerimanya, ia sungguh terharu.
"Tentu saja, begitu sembuh aku tidak akan menundanya lagi." Jawab Marve dan kemudian ia mengedipkan sebelah matanya pada Maya.
Membuat Maya nyaris tersedak dibuatnya.
...
Darwis telah pulang bersama Herlyn dan Maya memutuskan untuk membawa Marve berjalan melihat pemandangan halaman rumah sakit yang hijau karena ada banyak pohon rindang di sana.
"Kamu tahu, aku sangat menghargai udara sekarang. Ketika aku tertimbun rasanya sangat panas dan pengap. Setiap detik aku merasa tercekik hingga aku berpikir mungkin aku tidak akan selamat." Marve bercerita sambil memegangi tangan Maya yang jari telunjuknya terpasang sebuah plester akibat Maya tidak sengaja terkena duri mawar waktu itu.
"Tapi kemudian aku mendengar suaramu yang tertawa, aku melihatmu tersenyum padaku dan aku mengingat akan janjiku padamu. Saat itu juga aku ingin pulang. Aku ingin hidup karena aku tidak ingin kamu sendirian. Aku tidak ingin melihatmu mengalami mimpi buruk lagi, aku ingin memelukmu sepanjang malam dan membahagiakanmu."
Maya tidak menyangka jika akhirnya hubungan mereka yang membuat Marve bertahan. Seketika hatinya bersedih dan ia mulai menangis bahagia karena Marve disisinya sekarang dan mereka sudah tidak perlu lagi menyembunyikan perasaan mereka. Maya tidak akan pernah meragukan perasaan Marve lagi padanya karena bahkan disaat antara hidup dan matinya, Marve hanya memikirkannya, harusnya ia tidak perlu meragukan cinta Marve sejak awal.
Maya menyesal tapi sekarang ia merasa lega karena semuanya terasa seperti kisah cinta yang berakhir bahagia.
"Jangan menangis, hidungmu memerah seperti tomat." Marve menyeka air mata Maya lembut dan mencubit hidungnya pelan sambil sedikit bergurau agar Maya kembali tersenyum.
"Aku mengatakan semua ini bukan untuk membuatmu sedih ataupun untuk membuat hatimu luluh tapi karena itulah yang sebenarnya terjadi. Aku memang jatuh cinta padamu dalam waktu singkat tapi cinta ku padamu melebihi dalamnya samudra atau lebih tinggi dari pada gunung everest. Aku mencintaimu Maya.."
Semua kalimat yang dikatakan Marve padanya memang terdengar seperti sebuah rayuan seorang pujangga, tapi Maya dapat merasakan ketulusan disetiap kalimat yang dikatakan padanya.
"Aku juga mencintaimu Marve.. Maafkan aku karena pernah meragukan cintamu." Jawab Maya, ia masih menagis hingga membuat bahu Marve basah karena tetesan air matanya.
"Mari buat satu janji lagi.. "
Maya melepaskan pelukannya, dan memandangi jari kelingking Marve yang sudah diacungkannya.
"Berjanjilah, untuk saling mencintai selamanya, bahkan hingga di akhirat nanti, berjanjilah untuk tetap menerimaku sebagai suamimu."
Maya mengangguk, dan tanpa keraguan sedikitpun ia menautkan jari kelingkingnya "Aku berjanji..."
Marve tersenyum, ia kembali menyeka air mata MAya dan kemudian mengusap rambutnya lembut.
"Mari kita kembali keruanganku, sayang..."
"Kamu sudah lelah ya? Aku akan membawamu kembali ke ruangan mu kalau begitu."
Maya kemudian mendorong kursi roda Marve dan membawanya menuju ruangannya "Sebenarnya aku tidak lelah..." Ucap Marve, Maya kemudian menghentikan langkahnya dan membungkuk agar dapat berbicara dengan Marve lebih jelas lagi.
"Apa bahu mu kembali sakit mas?"
"Bukan itu..."
"Lalu kenapa? Kamu lapar?"
Marve kemudian berbisik, Maya kembali meneruskan langkahnya setelah mendengar ucapan Marve.
Ya, Marve menginginkan sesuatu, tapi tidak berkaitan dengan kesehatannya ataupu rasa lelah melainkan karena Marve ingin menciumnya dan itu berhasil membuat Maya tersipu sekaligus ingin cepat-cepat membawa Marve menuju ruangannya.
***
Sementara itu, Mina sedang merapikan toko kuenya, karena sebentar lagi Arya akan kembali dari kulihnya dan mereka akan pergi menjenguk Marve .
Hatinya sangat senang setelah mendengar kabar bahwa Marve telah sadar dan kondisinya baik-baik saja sehingga ia sedikit bersenandung ceria.
"Suaramu selalu terdengar merdu."
Mina mengangkat kepalanya, ia penasaran siapa pria yang tiba-tiba mengatakan hal semacam itu padanya karena seperti dejavu, ia seperti pernah mendengar pujian seperti itu sebelumnya.
"Lama tidak bertemu, Mina..."
Mina menjatuhkan lap yang dipegangnya, tubuhnya mendadak lemah saat melihat siapa sebenarnya pria yang berada dihadapannya saat ini.
Dia adalah Randy, Mina mengenalinya hanya dengan sekali melihatnya.
Mengapa ia berpakaian mewah dan juga dengan mobil mewah yang terparkir diluar sana? Mina sungguh tidak dapat memahaminya karena sebelumnya Randy hanya seorang supir.
"Kamu bekerja menjadi pelayan toko kecil ini?" Tanpa pemrisi, Randy duduk di kursi yang mejanya baru saja dibersihkan oleh Mina.
"Jika saja kamu menerimaku pada saat itu, hidupmu tidak akan menderita." Ucap Randy karena dulu ia pernah meminta Mina menjadi istrinya namun Mina menolaknya dengan tegas membuatnya merasa sakit hati bahkan hingga saat ini ia tetap merasakan harga dirinya terluka akibat penolakan Mina.
Mina masih begitu syok hingga ia tidak mampu berkata apapun selain hanya berdiri mematung.
"Apa mau mu?" Tanya Mina, ia merasa sangat takut kini namun ia tetap berusahan tetap tenang.
Randy menyeringai, "Mudah saja, pergilah dari sini bersama dengan Maya dan Arya."
Mata Mina seketika membulat sempurna, apakah penampilan Randy saat ini karena ia membantu Kania menyingkirkan Maya dan Arya pada saat itu?
Kania mengancamnya, ia mengatakan tidak akan sungkan untuk menghabisi nyawa mereka bertiga jika malam itu juga Mina tidak membawa Maya dan Arya pergi ketempat yang diinginkannya.
Dan ketika Maya tergesah menyetujui ucapan Kania, ia hanya dapat menurut. Mina sama sekali tidak tahu apa yang dikatakan Kania pada Maya sehingga Maya begitu ketakutan saat itu.
Dan setelah sekian tahun mengapa Kania kembali mengusik mereka?
"Apa hakmu mengatur hidup mereka?"
Mina menoleh, seorang pria berbadan tegap dengan rambut putihnya berdiri dihadapannya dan membelakanginya.
"Siapa kamu, berani ikut campur?" Sergah Randy tidak terima.
"Aku Agung, aku adalah pengacara Mina juga Maya dan Arya, aku yang akan bertanggung jawab dalam segala hal yang menyangkut dengan mereka."
Air mata Mina lolos dan akhirnya menetes, apa yang sebenarnya terjadi?
Randy beranjak bangun dengan gusar, sial sepertinya ia kalah start karena Maya sepertinya telah mempersiapkan banyak hal untuk merebut kembali miliknya. ia akhirnya memilih untuk pergi meninggalkan toko dengan perasaan kesal yang berkecamuk dengan rasa takut.
Setelah memastikan mobil Randy telah benar-benar pergi, Agungpun membalikan badannya dan menunjukan wajahnya pada Mina.
Dia Agung? Mina menutup mulutnya rapat-rapat karena begitu terkejut Agung penasehat hukum keluarga Maya saat ke dua orangtuanya masih hidup.
"Lama tidak bertemu."
Mina terjatuh duduk setelah semua kejadian mengejutkan ini, kakinya terasa sangat lemas, dan dengan sigap Agung membantunya berdiri kembali.
"Mas Agung.."
***