Satya menatap kalender di depannya dengan saksama. Rencana pendakian salah satu gunung dengan pemandangan padang edelweiss terindah, akhir tahun ini. Bersama seseorang yang amat berarti bagi hidupnya. Ia rasa, bukan ide yang buruk untuk mengajaknya.
Satya telah mempersiapkan rencananya dengan matang. Peralatan mendaki untuk Sasa ia persiapkan jauh hari, walau untuk menyinggung tentang rencananya pun belum ia katakan.
Satya ingin menyembuhkan luka lama itu. Dulu, gunung memiliki cara tersendiri untuk menyembuhkan traumanya. Seingatnya, Sasa kecil selalu suka jika diajak berpetualang bersamanya dan Bima. Walau sekadar naik bukit dekat kawasan rumah atau berburu jangkrik ditengah lautan ilalang. Ada kecintaan yang usang, tertutup luka-luka yang menyisakan lara.
Ingatan tentang bagaimana Bima berusaha untuk menyembuhkan luka gadis kecilnya, seakan memperingatkannya. Sama seperti sahabatnya dulu, ia akan melakukan segala cara untuk menjaga Sasa.
"Kamu baik-baik saja?" Sarah muncul dengan membawa nampan berisi potongan buah mangga.
Satya mengangguk. Lalu duduk di pinggiran ranjang.
"Mau muncak lagi?"
"Heem."
"Terus, kenapa kamu kelihatan seperti bimbang begitu?"
Satya menatap bundanya. "Aku ingin mengajak Sasa. Tapi ragu, dia mau atau tidak."
Sarah tersenyum. Menyadari, Satya banyak berubah setelah berhubungan kembali dengan Sasa. Hal yang sangat disyukurinya. Dulu, Sarah sempat takut, apakah anaknya akan kembali seperti dulu setelah kecelakaan yang menimpanya.
"Bagaimana menurut, Bunda?"
"Sasa masih tidak suka dengan senja?"
Satya bingung menjawabnya. Jika dibanding dulu saat masih ada Bima, Sasa jauh lebih dewasa dalam memahami langit sore itu. Banyak kekhawatiran yang membuat ia tidak menyinggung tentang senja dihadapan Sasa.
"Sepertinya masih sama. Hanya saja, aku ingin memastikan dia baik-baik saja dengan mengajaknya mendaki. Bunda tahu kan, dulu kita sering berpetualang bertiga saat kecil. Aku pikir, ada celah untuk membuatnya kembali ceria seperti dulu. Tetapi aku tidak tahu bagaimana cara untuk mengajaknya. Takut ia menolak mentah-mentah ajakanku."
Sarah mengusap kepala Satya lembut.
"Kamu sudah gelisah padahal belum mencoba bicara dengan Sasa?"
Satya menghembuskan napas berat.
"Bunda tahu, menyinggung tentang hal ini, masih berat bagi kalian berdua. Namun, Bunda percaya pada akhirnya kamu akan berhasil mengembalikan kebahagiaan untuk Sasa. Sama seperti dulu saat Sasa mengembalikan kamu kembali menjadi Satya yang bunda kenal. Walau jalan menuju kesana tidak mudah, cepat atau lambat, Bunda yakin kamu pasti bisa. Itu bisa menjadi pemulihan bersama, bukan hanya untuk Sasa tetapi juga untuk kamu. "
Untuk mendapatkan kepercayaan diri, tentu tidak mudah bagi Satya. Bundanya tahu betul perjuangannya untuk sembuh dari trauma. Proses penyembuhan psikologis akibat duka lalu itu terlalu terjal bagi keluarganya. Kehadiran Sasa menjadi secercah harapan di tengah usaha yang nihil.
Satya tersenyum. Meyakinkan diri, seiring dengan semakin membaiknya hubungan mereka, usaha tidak akan mengkhianati hasil.
"Rasanya Bunda masih asing dengan dirimu yang sekarang."
"Maksudnya?"
"Eumh, bagaimana yah. Kamu menjadi terlalu bersemangat hanya karena seorang perempuan. Apa itu istilah jaman sekarang. Bucin, kah?"
Satya terperanjat mendengarnya.
"Bunda!"
Sarah berdiri dari duduknya. Bergegas keluar kamar, mencoba menghindar dari amuk Satya.
"Sasa bukan hanya sekedar seorang perempuan bagiku, dia .. dia lebih dari itu."
Sarah berbalik badan, tersenyum. "Selamat malam, Si Bucinnya Bunda."
Satya menyerah. Bergegas menutup pintu agar bundanya tidak menggodanya lagi.
__
Senin pagi.
Sasa menyantap sarapannya tenang. Meja makan itu berisi tiga orang pagi ini.
Ayahnya beranjak dari tempat duduk.
"Satya hari ini berangkat bareng Sasa lagi, kan? Maaf, yah, merepotkan. Om hanya bisa tenang kalau Sasa sama kamu. Dia selalu membuat Om khawatir bahkan walau hanya diam di rumah," kata Adi beranjak dari duduknya sambil menenteng jas dan tas kerja yang digantung di kursi.
"Iya Om, tenang saja, Sasa sudah jinak sekarang kok," jawab Satya santai. Sasa melotot kearahnya. Adi hanya tersenyum.
"Ayah berangkat duluan kalau begitu. Oh iya, nanti Bi Enti datang, mungkin sebentar lagi sampai, kata Adi mengingatkan. Sasa mengangguk sambil menyalami ayahnya.
Bi Enti adalah ART yang datang seminggu tiga kali di rumah ini. Sebab, baik Sasa ataupun Ayahnya, mereka sesekali suka membersihkan rumah. Hanya pekerjaan kecil sebenarnya. Tapi cukup untuk merawat rumah sederhana ini dari debu dan rayap. Sasa dan ayahnya lebih banyak mirip dari segi sifat dan karakter. Mungkin itu sebabnya, Sasa bisa memahami kesalahpahaman yang terjadi di masa lalu.
Satya dan Sasa bergegas menghabiskan sarapan seteIah kepergian Adi. Satya bahkan menghabiskan nasi goreng dari wadah. Sayang, jika terbuang katanya. Sasa menahan tawa melihatnya.
"Pulang sekolah nanti ada pelajaran tambahan, Kak?"
"Tidak ada. Oh iya, jam istirahat nanti aku ke kelasmu ya," kata Satya, ada sesuatu yang ingin ia berikan pada Sasa.
"Oke.
"Kita berangkat sekarang."
__
Jam istirahat.
Tara mengajak Sasa untuk makan di kantin. Awalnya, Sasa enggan makan disana karena ramai sekali pada jam seperti ini. Namun, Tara mengotot meminta untuk diantar. Hanya membeli beberapa cemilan setelah itu kembali ke kelas, kilahnya. Walau sebenarnya Tara hanya ingin membawa Sasa melihat dunia luar selain perpus dan kelas.
Sesampainya di kantin, Tara mencari seseorang yang tengah duduk di meja ujung barisan kanan.
"Sa, sini!" ajak Tara tanpa menunggu persetujuan Sasa.
Fatih yang sedang memainkan ponselnya tidak tahu kedatangan mereka berdua.
"Woy!" teriak Tara sambil menggebrak meja.
Fatih tersentak kaget walau tetap dengan sikap tenangnya. Padahal hatinya berucap kasar. Tidak pernah terbiasa dengan kelakuan sepupunya itu.
Sasa tersenyum ke arah Fatih yang dibalas dengan anggukan. Menyuruh mereka untuk ikut gabung. Sasa ingin menolak tapi demi melihat Tara yang lebih dulu duduk di sebelah Fatih, ia pun mengikutinya.
Baiklah, tidak ada salahnya sesekali bergabung.
"Kak Fatih sering makan disini?" tanya Sasa. Penasaran.
"Terkadang. Sepertinya, kamu memang tidak terlalu memperhatikan sekitarmu."
"Maksudnya?"
"Aku sering lihat kamu di perpustakaan di jam istirahat seperti sekarang," jawab Fatih.
Sasa tersenyum, menyetujui hal itu. Ia lebih senang menghabiskan waktu di perpus. Sebab, di jam istirahat perpus selalu sepi. Walau memang tidak ada sejarahnya perpus ramai dengan murid. Terlebih di jam istirahat.
"Jadi, Kak Fatih juga sering ke perpus kalo jam istirahat, ya? Kenapa aku enggak pernah lihat?" tanya Sasa penasaran. Di depannya, Tara tersenyum melihat mereka terlihat akrab.
"Kamu selalu fokus dengan bukumu. Bagaimana bisa kamu menyadari keberadaanku, Sa."
Sasa tertawa kecil.
"Oy, lu udah pesen makanan?" tanya Tara kepada Fatih. Fatih menggeleng. "Biar gue pesenin. Sa, lu mau makan apa?"
Sasa berpikir sejenak. Ia sudah lama sekali tidak mengunjungi kantin. Tidak tahu makanan apa saja yang tersedia sekarang. Ia melirik Tara terkekeh.
"Samain saja, deh. Aku lupa ada apa aja disini," jawab Sasa merasa bodoh.
"Gue mau pesan batagor, lu mau?"
"Boleh, makan disini?"
"Iyalah, ke kelas bawa makanan basah mana bisa."
Sasa hanya tersenyum menahan kesal. Ingin rasanya menagih perkataan Tara tadi di kelas hanya untuk membeli cemilan.
Fatih menyebutkan pesanannya. Mie ayam batagor.
"Wah, emang ada mie ayam yang bisa dicampur batagor, yah?" tanya Sasa antusias.
Fatih tertawa. Sepertinya Sasa memang jarang ke kantin atau mungkin tidak pernah?
"Si Sasa kebanyakan baca buku sampai otaknya ketinggalan di perpus," canda Tara. Sasa nyengir kuda. Dia sudah terbiasa dengan candaan Tara yang terkesan kejam. Sedangkan Fatih terlihat tidak terbiasa dengan sikap Sasa saat bersama Tara. Terlihat lebih ceria. Sama seperti dia saat bersama Satya.
Sepeninggal Tara, mereka berdua saling terdiam.
"Bagaimana perkembangan naskah untuk perlombaan nanti?" tanya Fatih memulai percakapan.
"Aku sudah selesai membuatnya. Tinggal revisi saja. Nanti aku kirim ke Kak Fatih kalau sudah selesai."
"Batas pengumpulannya lusa, loh."
"Malam ini aku kirim via email, Kak." Sasa merasa tidak enak untuk menyerahkan naskah di menit terakhir. Namun, ia tidak mempunyai banyak waktu menulisnya. Ditambah, jadwal ujian sekolah menantinya.
Fatih melirik kearah Sasa. Dia kembali seperti Sasa yang dia kenal setelah kepergian Tara, segan. Sepertinya, Fatih memang bukan tipe pria yang membuat perempuan nyaman didekatnya.
"Acaranya minggu depan. Kamu tahu kan, bakal ada pentas sastra sebelum acara penyerahan juara. Kalau dilihat dari temanya, sepertinya menarik," lanjut Fatih.
Sasa mengangguk-ngangguk. Ia belum pernah menonton pentas sastra dari kampus secara langsung.
Selang beberapa menit, Tara datang membawa tiga jus berbeda rasa. Makanannya akan diantar ke meja kalau sudah siap katanya.
"Maaf lama, gue sekalian pesenin jus buat kalian. Sesuai kesukaan kalian kok, tenang!" kata Tara. Sasa menggeser tempat duduknya agar Tara bisa duduk di sebelahnya.
Saat menunggu Tara dan mengobrol bersama Fatih, Sasa memperhatikan orang yang berlalu-lalang di kantin. Mencoba bersikap seperti biasa. Kondisi ramai seperti ini, membuatnya mengingat masa-masa suram itu, entah kenapa. Ia sejak tadi mencoba menepis segala ingatan ketakutannya.
Ditengah keramaian, ponsel Tara bergetar. Sebuah panggilan masuk.
"Ya, halo? Eumh? Iya dia sama gue di kantin. Kenapa? Lah.. Sialan malah dimatiin." Tara menyimpan ponselnya sembarang. Seseorang di seberang sana terdengar khawatir.
"Kenapa?" tanya Fatih.
"Satya. Nanyain lo, Sa. Dia kayaknya nyusul kesini," jawab Tara pendek. Menyesap jus dinginnya.
Sasa terlihat lega mendengar Satya mencarinya. Tangannya sudah mulai berkeringat dingin.
"Kenapa coba dia gak nelpon ke hp lo, kalo cuma buat nanyain lo doang, Sa. Maen tutup sepihak lagi."
"Hp kamu masih rusak, Sa?" tanya Fatih melirik kearah Sasa. Sasa mengangguk. Tara memperhatikan mereka berdua. Dia saja tidak tahu kalau ponsel Sasa rusak.
"Oh iya, Sa. Nanti ke kampus tempat acaranya biar barengan aku saja. Sepertinya, aku tidak bisa menemani selama acara. Tapi nanti aku usahakan untuk balik sebelum acara berakhir," ucap Fatih sambil melahap makanannya. Barusan, ia diminta ayahnya untuk mengosongkan jadwal di hari perlombaan untuk menjaga ibunya yang sedang di rawat di rumah sakit.
Sasa mengangguk menyetujui. Perlahan, ia harus memaksakan diri untuk mengenali dunia luar. Setelah keluar sekolah, banyak tantangan yang harus ia hadapi. Seperti saat ini, walau hatinya tidak tenang, ia harus bertahan sampai akhir. Paling tidak, sampai Satya tiba. Sasa harus terlihat baik-baik saja.
Lima menit kemudian Satya tiba dengan terengah. Mencari Sasa dengan cemas.
Sasa berdiri mengangkat tangan saat melihat Satya celingukan mencarinya.
"Bukankah tadi aku sudah bilang untuk bertemu di jam istirahat?" tanya Satya sesampainya di meja mereka.
Sasa nyengir, enggan menyalahkan alasan ia pergi ke kantin tanpa memberitahu Satya.
"Sehabis makan, kita ke tempat biasa dulu."
Sasa mengangguk. Satya duduk di depannya, di sebelah Fatih. Ia membawa air mineral dan roti abon di tangannya, juga paper bag kecil yang entah apa isinya. Ia melahap pelan makanannya sambil memperhatikan gadis di depannya. Mengkhawatirkan hal yang sama seperti yang Sasa takuti sekarang.
***
Semilir angin mengenai wajah dua insan itu lembut. Mereka duduk bersisian di bawah pohon sudut bangunan sekolah.
Satya menatap dalam Sasa di sebelahnya. Walau khawatir, ia bersyukur gadisnya bisa menangani ketakutannya sendiri. Satya tahu, saat di kantin tadi Sasa berusaha keras menahan gejala itu timbul. Ada kelegaan dan kebanggan yang terlihat dari gadisnya sekarang.
"Kamu terlihat baik-baik saja, Sa."
"Maksudnya?"
Satya tersenyum tipis. Sasa belum seterbuka seperti bersama Bima, ia bisa memahaminya. Namun, hal itu sudah biasa baginya sejak awal mereka kembali berhubungan. Bukan sesuatu yang bisa mematahkan semangatnya.
"Ini untukmu." Satya menyerahkan paper bag kecil yang sejak tadi dibawanya.
"Apa ini?"
"Aku belikan yang baru. Ponselmu yang dulu tidak bisa diperbaiki lagi, modelnya sudah terlalu lama."
Sasa mengernyitkan kening. Bukankah membelikannya ponsel baru terlalu berlebihan?
"Terima saja. Anggap kita impas."
"Impas karena apa?"
"Sarapan pagi. Aku terlalu sering sarapan di rumahmu. Ini biaya setahun sarapanku."
Sasa tertawa mendengarnya. Ia tahu, Satya tidak menerima penolakan darinya. Apalagi hanya bersifat material seperti ini.
"Baiklah. Aku tidak bisa menolaknya. Lagipula uang bulananku sudah dihabiskan untuk beli buku kemarin. Kontrak diterima!"
Satya masih memandangi gadisnya. Rautnya masih terlihat khawatir. Dia memahami apa yang terjadi pada gadisnya. Beberapa kali bahkan ia pernah menyaksikan sendiri Sasa yang berbeda. Saat itu kelulusan SMP Sasa, masih ada Bima di sampingnya. Alasan Satya jarang mengajak Sasa ditengah kerumunan.
***
Satya menghadiri acara kelulusan itu karena desakan Bima. Ayah mereka tidak bisa menyaksikan kelulusan anaknya karena bentrok dengan jadwal kerja. Bima mengajaknya agar Sasa nyaman dengan kehadiran orang terdekatnya. Walau kata Bima, Sasa terlihat kecewa sejak pagi karena ayahnya tidak bisa hadir.
Acara kelulusan itu sudah selesai. Sasa entah dimana. Bima dan Satya sibuk mencarinya saat terdengar suara jeritan di barisan depan siswa perempuan. Mereka berlari menghampiri asal suara. Bima mengenal suara itu.
Seorang gadis terlihat duduk bersimpuh sambil tangannya menutup telinga. Matanya terpejam dipaksa. Menangis.
Bima langsung menghadapkan wajah Sasa padanya. Mengatakan sekarang sudah tidak apa-apa. Merengkuh tubuh kurus gadis kecil itu. Memeluknya erat.
Sedangkan Satya hanya menyaksikan kejadian itu dibalik punggung Bima. Ia melihat raut wajah Sasa yang terlihat sangat ketakutan. Dia belum paham apa yang terjadi.
Setelah kejadian itu Bima memberitahu Satya, bahwa Sasa sepertinya mempunyai semacam pobia keramaian. Dan hari itu Sasa kewalahan.
Baik Bima maupun Satya, sejak saat itu mereka semakin paham. Trauma yang dirasakan oleh adiknya begitu menyisakkan luka yang dalam. Masa itu, tidaklah mudah bagi mereka. Menghadapi perubahan sikap Sasa yang semakin berbeda. Juga, penyesalan diri yang tidak ada habisnya.
_____
Scientory (ツ)