Senja hampir datang menyapa. Seperempat putaran jam sudah Davira berdiri mematung di depan gerbang pintu parkiran belakang sekolahnya. Tadi pagi, Arka memarkirkan mogenya di sini, akan tetapi jujur saja Davira sedikit curiga sebab tak ada moge Arka lagi di tempatnya. Remaja itu sudah pulang duluan? Sialan memang kalau begitu adanya!
Juga percaya saja kalau gadis itu sudah mencoba menghubungi nomer ponsel Arka Aditnya untuk menanyai dimana keberadaan remaja brengsek yang tiba-tiba menghilang setelah bel istirahat ketiga dibunyikan dua jam lalu. Di jam itulah, tubuh remaja jangkung itu tak terlihat lagi. Davira pun duduk sendirian mengakhiri jam pembelajaran yang sumpah demi apapun, itu membosankan! Jam sejarah. Siapa sih yang suka jika diajak membahas tentang masa lalu? Tidak ada.
Tak ada teman se-tim Arka yang bisa Davira hubungi dan tanyai saat ini. Jikapun ada, gadis itu enggan untuk melakukannya. Toh juga, lebih baik pulang dengan ojek online ketimbang berbasa basi sok akrab dengan anak-anak basket 'kan?
Dua puluh menit! Demi apapun, ini sudah dua puluh menit! Dan remaja itu benar-benar tak terlihat batang hidungnya sama sekali.
"Davira?" Seseorang berbicara lirih pada lawan bicaranya. Bukan pada Davira, melainkan pada remaja jangkung berparas tampan dengan fisik yang mumpuni yang sedang berjalan bersamanya. Ia menunjuk tubuh Davira dari kejauan. Sedikit samar memang, sebab separuh tubuh gadis itu tertutup oleh pagar besar di belakang tempat gadis itu berdiri.
"Iya, Davira," lanjutnya Antuias. Orang yang diajak berbicara hanya diam tak bersuara apapun. Sejenak menyipitkan matanya untuk mencoba memikirkan sesuatu. Untuk apa Davira berdiri di sana? Sedikit celingkukkan seperti sedang mencari dan menunggu seseorang. Tergambar jelas wajah gelisah dengan sorot mata yang terus saja melirik jam kecil di pergelangan tangannya.
Ah, Arka! Remaja itu pergi bersama temannya untuk mengambil seragam basket yang baru di konveksi penjahit yang sedikit jauh jaraknya dari sekolah. Jadi, bisa remaja itu simpulkan bahwa Arka Aditya belum kembali juga saat ini.
"Gue samperin, tolong jaga motor gue!" perintahnya melempar kunci motor pada Candra—remaja berambut cepak yang berdiri di sisinya.
"Dam tapi!" lantangnya sedikit berteriak kala Adam pergi begitu saja tanpa menunggu respon dari Candra.
"Gue jual nih ya!" lanjutnya berteriak. Lagi-lagi Adam mengabaikan. Tak mau berhenti dan terus saja berlari kecil untuk menghampiri Davira.
--dan langkahnya memelan sesaat setelah kedua lensa dengan tatapan tajam nan berkharisma miliknya memotret dengan jelas perawakan tubuh standar tingginya namun semampai bentuknya milik Davira Faranisa.
"Hai, Davira," panggilnya lirih. Gadis itu menghentikan aktivitasnya dalam mengotak-atik isi ponselnya. Niat hati sih, ingin mengirim pesan pada Arka untuk memberitahu pada remaja itu bahwa Davira akan pulang sendirian saja sore ini. Jadi jikalau Arka kembali ke sekolah, ia bisa langsung pulang tanpa mencari keberadaan Davira.
"Lagi nungguin Arka?" lanjutnya bertanya. Davira mematung sejenak. Suara itu ... Adam! Ya, itu Adam Liandra Kin!
Davira memutar tubuhnya malas. Sejenak menatap Adam kemudian mengalihkan tatapannya ke arah lain. Berdeham ringan untuk memberi isyarat pada remaja jangkung yang kini tersenyum aneh padanya ini bahwa pertanyaannya barusan bernilai benar. Davira sedang menunggu Arka dengan penuh kemarahan dan kejengkelan yang ada di hatinya saat ini.
"Arka pergi sama—"
"Aku tahu!" sentak Davira merespon. Adam yang baru saja ingin memberi informasi berharga untuknya kini diam sembari mengatupkan bibirnya.
Davira mendegus kesal. "Sialan emang 'kan?!" pekiknya mengumpat. Bukan untuk Adam tapi untuk Arka yang benar-benar membuatnya naik pitam sebab tingkah se-enak jidatnya sendiri itu.
Adam terkekeh kecil. Meskipun sedang marah dan kesal paras Davira bukan menjadi buruk rupa, akan tetapi menjadi lebih cantik dan lebih imut lagi. Sungguh, Adam sedang terkena virus demam Davira saat ini.
"Makasih infonya," sahut Davira kemudian memutar tubuhnya serong. Mengambil langkah untuk beranjak dari posisinya sekarang.
"Kamu mau kemana?" Adam mencegah dengan segala bentuk kecanggungan yang ada. Jika ditelisik kembali ke masa lalu, sebanyak apapun gadis yang sudah pernah di dekati atau mendekati remaja jangkung dengan dagu lancip dan lesung pipi itu, Adam tak pernah merasa canggung sedikitpun. Akan tetapi saat ini, demi Iron Man yang makan es kepal di pinggir trotoar jalan sebab lelah menghadapi musuh di siang bolong ... Adam sangat canggung sekarang ini!
"Pulang," jawabnya ketus. Seakan sudah kebal dengan segala bentuk ke-ketusan Davira Faranisa, Adam hanya tersenyum tipis.
"Mau aku anterin?" tawarnya dengan nada lembut.
Davira bungkam sembari terkekeh kecil. Sekarang ingatannya di bawa kembali sesaat sebelum bel masuk jam istirahat kedua dibunyikan. Tepatnya saat Kayla datang dengan segala Akhlak yang sudah hilang menguap di udara. Momen itulah yang menjadi dasar kekehan Davira saat ini. Lucu? Tidak. Hanya sedikit miris sebab jika Davira bisa memohon pada Yang Maha Kuasa, ia ingin wajah tampan Adam diambil dan diganti dengan wajah keledai atau sapi, kalau-kalau kambing juga boleh! Asalkan jangan wajah itu, sebab sia-sia sudah paras tampan itu 'nangkring' di atas penampakan seorang Adam Liandra Kin karena sikap buruk dan peringai brengsek remaja itu lebih mendominasi dalam dirinya.
"Gak," sahut Davira setelah menyelesaikan tawanya.
Adam hanya tersenyum kecut. Membiarkan Davira berpaling dan pergi meninggalkannya di sana. Adam menyerah? Iya, untuk kemarin-kemarin. Tapi untuk kali ini, ia akan berjuang lebih lagi.
Langkah sepasang kaki Davira kini tegas menyusuri trotoar jalan yang akan membawanya pergi menjauh dari gerbang belakang sekolahan menunju ke sebuah tempat kecil dengan atap peneduh dan bangku panjang di bawahnya. Tempat yang dipakai orang-orang untuk menunggu bus adalah tujuan Davira untuk melepas penatnya sembari menunggu transportasi umum untuk mengangkut tubuhnya pulang ke rumah. Tidak menunggu ojek online saja? Tidak. Lama. Toh juga, bus lebih murah harganya.
--tempat itu sudah ada di depan mata Davira saat ini. Gadis itu tersenyum ringan. Menggenggam erat kedua tali tasnya dan menariknya kasar. Semangat Davira! Begitulah batinnya bergejolak.
Sepersekian menit kemudian, gadis itu telah sampai di halte bus. Tubuh semampainya kini sudah berpayung atap halte dan kursi panjang kosong di sisinya adalah tempat yang akan menjadi pilihannya untuk sejenak menunggu sembari melepas lelah setelah seharian mengejar kata-kata berteori dan angka-angka menyebalkan yang membuat otaknya panas mendidih.
Davira memutar tubuhnya. Duduk di sisi pojok bangku dan meluruskan kakinya. Ia sedikit menunduk untuk menghela napasnya. Memijit kakinya yang sedikit lelah sebab menempuh jarak yang memang sih tak jauh, tapi panas adalah alasannya merasa lelah sore ini.
"Capek?" lirih seseorang menyelanya.
Davira mendongak cepat. Ekspresi sedikit terkejut ia tunjukkan dengan membulatkan kedua matanya yang memang sudah bulat.
"Tadi aku anter gak mau," lanjutnya sembari mengambil sisi kosong di samping Davira. Gadis itu sedikit bergeser menjauh. Brengseknya Adam memang kadang gak ada batasnya!
"Aku gak suka sama kamu," katanya berterus terang.
Deg! Sedikit sakit memang. Akan tetapi, Adam bukan tipe remaja yang akan menyerah hanya karena kalimat singkat seperti itu. Toh juga, ia percaya pada waktu. Sebab tak ada yang bisa menolak jika waktu sudah membalikkan hati berisi ribuan kalimat alasan untuk menolak Adam.
"Nganter aja 'kan gak harus suka," tuturnya beralasan. Menoleh pada gadis yang kini menatap jauh ke depan. Entah apa yang gadis itu tatap, tak ada yang menarik sejauh ini. Akan tetapi, sepertinya apa yang ada di pikiran gadis itu sedikit lain kali ini. Ada yang menarik, lebih menarik dari wajah tampan Adam di depan sana.
"Aku gak suka bareng orang yang buat aku gak nyaman. Gak suka berarti gak nyaman juga," jawabnya menjelaskan singkat.
Adam kini mengangguk-anggukkan kepalanya. "Apa yang buat kamu gak nyaman sama aku?"
"Kamu brengsek," akunya dengan jujur. Itulah salah satu sifat yang ada dalam diri Davira di antara semua sifat buruk yang mendominasi.
Adam terkekeh kecil. "Dari mananya kamu bisa bilang aku brengsek?"
Gadis itu bungkam sejenak. Mengangkat kedua sisi bahunya kemudian tertawa singkat. "Aku menganggap semua laki-laki itu brengsek."
Lagi-lagi Adam hanya diam sembari menoleh untuk menatap gadis itu dari samping. Benar 'kan, sifat Davira yang selalu dingin padanya dan tak acuh itu sebab sesuatu yang mendasarinya. Kalimat itu, adalah jawaban yang tepat untuk segala pertanyaan yang muncul padanya kemarin malam.
"Soal cewek yang nampar kamu waktu itu, dia sekertarisnya papaku," terang Remaja itu mempersingkat.
Gadis di sisinya kini menoleh. Entah untuk apa. Mengingat kalimat wanita jalang itu kemarin malam, bahwa dia akan menjadi ibu tiri dari remaja ini membuat Davira menyimpulkan sesuatu. Papa Adam, berselingkuh.
"Sudah kubilang 'kan kalau semua laki-laki itu sama brengseknya." Davira menyela dengan helaan napas singkat yang keluar dari celah bibirnya. Berat rasanya mengetahui fakta mengejutkan dari remaja itu. Yang membuat hati Davira berat adalah fakta yang baru saja ia dapat juga terjadi padanya di masa lalu. Davira paham betul bagaimana rasanya kebahagiaan yang dimilikinya kini berada di ujung tanduk kehancuran dan yang menghancurkan kebahagian itu adalah mereka yang katanya si baik dari lingkungan terdekat—keluarga.
"Sebenarnya mamaku jadi single parent." Davira tiba-tiba menjelaskan. Entah apa yang ada dalam pikirannya hingga memutuskan untuk mulai bercerita banyak pada remaja ini. Mungkin sebab Davira tahu bahwa Adam akan bernasib sama dengannya?
"Papa kamu? Meninggal?" tanya Adam dengan nada yang sangat hati-hati, takut kalau nanti pertanyaannya itu akan menyakiti hati gadis yang beberapa minggu terakhir ini selalu saja mencuri perhatiannya.
Gadis itu tersenyum tipis. Tertawa kecil adalah aktivitasnya saat ini. Adam kembali menatap Davira. Gadis itu tak gila! Sebab dalam tawanya, tersimpan beribu kepedihan dan penyelasan yang teramat dalam. Hingga tawa itu terdengar begitu miris dan menyayat hati.
"Iya, aku menganggapnya meninggal. Aku bahkan menulis status dalam biodata saat aku masuk ke sini pun dengan catatan aku adalah seorang anak yatim. Tapi kamu tau? Aku berbohong," jelasnya dengan nada lepas. Sekarang ekspresi gadis itu tak lagi sayu, dingin, atau menunjukkan ekspresi tak suka terhadapnya. Namun, sebuah raut wajah yang seakan memberi tahu pada siapapun bahwa dirinya sedang marah dan rapuh saat ini.
--dan marah itu ia sembunyikan di balik senyum dan tawa puas yang mengakhiri kalimat penjelas dari seorang Davira Faranisa.
"Aku juga ingin tertawa. Tapi tak bisa," sahut Adam menyela.
Davira kini menghentikan tawanya. Mengedipkan matanya beberapa kali kemudian menghela napasnya berat. Ia puas? Tidak! Davira semakin sakit sekarang ini. Sakit sebab tak bisa memaki papanya hingga dewasa ini, karena dirinya tak pernah bertemu dengan pria brengsek itu semenjak perceraian mama dan papanya di masa lampau.
"Kamu mau gak ngajarin aku gimana caranya bisa tertawa saat hati sedang kalut?" Adam kembali melanjutkan. Menatap gadis yang kini ikut menatapnya teduh.
--dan hari ini Davira paham satu hal ... Adam itu, tak sepenuhnya brengsek. Hati remaja itu juga sedang berduka saat ini, dimana duka itu hanya Daviralah yang bisa memahaminya. Sebab duka mereka ... sama.
...To be Continued...