Sebelum ibunya semakin dekat dengan pisau tajamnya, Joy segera menarik tangan ibunya dan berusaha menahannya.
"Mama, Joy tahu mama tidak bersedia bercerai sama papa. Joy tahu mama sangat sedih dan kecewa sekarang. Tapi mengakhiri hidup bukan jalan keluarnya. Mama tidak boleh mengakhiri hidup seperti ini. Ini sama saja mama menye..." Joy sadar dia mengucapkan dengan cepat, tapi dia tidak peduli. Dia terus berusaha agar ibunya mengurungkan niatnya.
Namun kalimat Joy terhenti oleh ucapan ibunya.
"Apa yang sedang kau bicarakan? Kita harus pergi sekarang."
"Kemana?"
"Tentu saja ke bandara untuk menghentikan papamu."
Mulut Joy menganga tak percaya apa yang didengarnya. Setelah tangannya terlepas, dia bisa melihat ibunya kembali berjalan ke arah sebelumnya.
Ibunya membuka laci yang kebetulan diatasnya terdapat pisau tajam. Joy merasa jengkel, sebenarnya.. siapa yang telah menaruh pisau tidak pada tempatnya? Membuatnya takut setengah mati dan salah paham pada tindakan ibunya.
Setelah mengambil kunci mobil dari laci tersebut, ibunya berteriak memanggil seseorang.
"REVIN! REVIN!"
Revin adalah supir pribadi keluarga yang sudah bekerja selama lebih dari lima tahun.
"Iya, nyonya?" Revin muncul setelah menunggu selama satu menit.
"Cepat ikut aku sekarang."
Tanpa disuruh lagi, Revin mengikuti Helen keluar menuju ke mobil mereka. Joy ikut menyusul ibunya dan membelalak saat melihat ibunya masuk dan duduk di tempat supir.
Tidak hanya Joy, supir merekapun ikut terkejut dan mulai panik.
"Nyonya, biar saya saja yang setir. Saya pasti mengantar anda tepat waktu."
"Tutup mulutmu dan cepat masuk ke belakang. Sekarang juga." perintah ibunya saat menyadari supirnya ragu2 masuk kedalam.
Joy sendiri segera masuk dan duduk disamping ibunya.
"Mama bisa nyetir?" tanya Joy terheran-heran.
"Tentu saja." jawab ibunya dengan mantap. "Dulu mamamu ini seorang pembalap."
"Huh? Baiklah."
Meskipun begitu Joy masih ragu dan melihat supir mereka yang duduk di belakang. Revin mengeluarkan keringat dingin dan terlihat jelas dia sedang panik.
Apakah dia takut dipecat?
Dan saat mata Joy bertatapan dengan mata supir mereka, Revin menggelengkan kepalanya dengan perlahan-lahan sambil menggerakkan tangannya didepan lehernya.
Pria setengah baya itu menggerakkan tangan kanannya dari sisi kiri ke kanan. Gerakan ini menunjukkan mereka berada dalam bahaya besar dan maut telah siap menjemput mereka.
Semula Joy tidak mengerti maksudnya, namun saat dia mengerti, semua sudah terlambat.
Ibunya menancapkan gas dan langsung menjalankan mobil dengan kecepatan penuh.
Joy langsung duduk tegap menghadap ke depan dan merasa ngeri apa yang dilihatnya. Dia seolah sedang bermain video games yang selalu melihat adegan dimana mobilnya akan menabrak apapun di depannya.
Satu per satu mobilnya berhasil melewati kendaraan lain dengan cepat namun nyaris menggores kendaraan lain.
Tubuh Joy seolah digoyangkan dengan kasar ke arah depan dan belakang. Perutnya mulai bergoncang dan kepalanya seperti diputar-putar.
Joy merasa mual dan bisa menumpahkan isi perutnya saat itu juga.
Namun saat dia melihat ada halangan didepannya dan ibunya tidak menunjukkan tanda-tanda memperlambat lajunya, Joy berteriak.
"AWAS!!"
"Tidak semudah itu."
Tidak berani melihat apa yang terjadi, Joy memejamkan kedua matanya bersiap menghadapi bentrokan yang akan terjadi.
Apakah mungkin, bahkan sebelum dia kembali ke masanya dia akan mati disini terlebih dahulu?
Tidak. Dia tidak ingin mati disana. Dia bahkan tidak ingin kembali ke masanya sebelum memastikan kedua orangtuanya rujuk kembali.
Namun dia tidak akan bisa mencegah kecelakaan yang terjadi. Dia menangis dalam hati meratapi nasibnya yang sedang berjalan menuju ke alam maut.
Setelah menunggu beberapa detik, tidak ada suara benturan. Tubuhnya semakin bergoyang ke sisi kiri dan kanan membuatnya semakin mual.
Ah, dia tidak peduli lagi. Dia terus menutup matanya sambil berdoa dalam hati.
Semoga mereka bisa sampai ke bandara dengan selamat. Karena terlalu khawatir akan keselamatannya, Joy sama sekali tidak terlintas untuk berdoa mengenai hubungan kedua orangtuanya.
Setelah perjalanan entah berapa lama, akhirnya penderitaannya berakhir. Sungguh ajaib, mobil yang mereka kendarai tiba di bandara tanpa goresan apapun.
Joy segera keluar dari mobil dan mencari tempat sampah untuk mengeluarkan yang mengganjal di tenggorokannya.
Dia juga melihat supir mereka juga melakukan hal yang sama. Setelah memuntahkan semuanya, Joy membersihkan mulutnya dengan saputangan miliknya.
"Jangan pernah membiarkan mama menyetir lagi." sahutnya pada Revin.
"Itu sebabnya Tuan Gardnerr mempekerjakanku."
Joy menggeleng-gelengkan kepalanya pasrah. Kemudian dia teringat akan sesuatu yang terlupakan. Bukankah mereka ada disini untuk mencegah keberangkatan ayahnya?
Joy langsung kembali ke mobilnya dan mendapati ibunya sudah tidak ada disana.
"Pak Revin, urus mobilnya, aku akan menyusul mama."
"Baik."
Joy berlari sekencang-kencangnya mencari sosok ibunya. Dia tidak tahu kemana tujuan ayahnya pergi, jika seandainya dia tahu dia akan langsung mencari ayahnya di gerbang masuk check in.
Untuk saat ini matanya terfokus mencari ibunya terlebih dahulu. Begitu menemukan punggung ibunya yang kelihatan kebingungan mencari seseorang, Joy memanggilnya.
"Mama! Mama!"
Entah kenapa hari itu bandara sangat ramai. Meskipun jarak mereka tidak terlalu jauh, Joy tidak bisa segera menuju ke tempat ibunya dan suaranya teredam dengan suara-suara orang lain.
Joy berdiri dan mengambil napas panjang sebelum memanggil ibunya dengan lebih keras.
"MAMA!"
Berhasil. Yang dipanggilnya menoleh ke arahnya. Hatinya sangat terharu saat melihat air mata dari ibunya. Ini pertama kalinya dia melihat beliau tampak ketakutan. Takut akan kehilangan seseorang.
Joy memandang kesekeliling dan melihat sebuah tangga yang menuju ke lantai dua. Joy langsung menunjuk ke arah tangga, memberitahu ibunya untuk segera naik ke lantai dua.
Mereka bisa mencari ayahnya lebih mudah jika mereka bisa melihat di tempat yang lebih tinggi.
Mengerti akan maksud putrinya, Helen segera berlari menaiki satu per satu tangga escalator dan menuju ke tempat dimana dia bisa melihat seluruh ruangan lantai satu.
Joy hampir tidak mempercayainya melihat ibunya memiliki stamina yang bagus.. bahkan lebih baik darinya.
Setelah mengamati satu per satu antrian tiap-tiap gerbang, akhirnya sosok yang dicaripun ditemukan.
"Gardner! Gardner!"
Sayangnya entah karena suaranya yang kurang keras atau suara bisingan yang terlalu ramai, pria itu sama sekali tidak mendengar panggilannya.
Sementara itu, Joy mengambil ponselnya dan berusaha menghubungi ayahnya.
'Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Silah...'
Joy segera menutup panggilannya dan ikut memanggil ayahnya. Sayangnya hasilnya tetap sama saja.
Sebentar lagi ayahnya masuk dan tidak kembali, sementara jika mereka turun untuk mengejarnya juga tidak akan sempat karena selain tempatnya agak jauh dari mereka, banyak orang yang berlalu lalang disana.
Tidak ada waktu lagi. Joy naik ke pijakan bawah dinding kaca yang setinggi dadanya, dan sekali lagi dia mengambil napas yang panjang. Bahkan lebih panjang dari sebelumnya.
"PAPAAAAAAA!!" Kali ini Joy mengerahkan seluruh tenaganya untuk berteriak sekeras-kerasnya.
Bahkan disaat dia belum selesai berteriak, sudah banyak orang yang berhenti bicara memperhatikannya. Saat itu juga, akhirnya... yang dipanggilpun melihat mereka.
Tanpa menunggu, Helen segera berlari ke escalator dan nyaris melompati tangga berjalan itu untuk segera tiba di lantai dasar.
Joy turut menyusul ibunya di belakang sambil terengah-engah. Tampaknya nafasnya sudah tidak lagi beraturan.
Joy berdiri agak jauh dari kedua orangtuanya mencoba memberikan privasi untuk mereka. Sambil berusaha mengatur pernapasan, dia berusaha mengalihkan penonton untuk melanjutkan aktivitas mereka.
"Maaf mengganggu. Silahkan lanjutkan." ucapnya dengan senyum lelah.
Setelah orang-orang kembali pada aktivitas mereka, Joy membungkuk dengan kedua tangannya menekan lututnya.
Dia tidak suka berolahraga sehingga dia jarang sekali berlari-lari seperti tadi. Sekarang kedua kakinya terasa kaku dan kepalanya agak sedikit pusing. Bahkan sekujur tubuhnya terasa panas.
Namun itu semua tidak penting. Yang penting adalah kedua orangtuanya saat ini.
Kali ini dia berdoa... dia berharap, perbincangan mereka bisa berjalan dengan lancar.
Beberapa jam kemudian...
Joy melirik ke arah bunga-bunga didepan matanya. Bunga-bunga itu sangat indah namun tidak seindah yang ada di oasis.
Sekali kali dia melirik ke arah sebuah kamar yang ada di lantai tiga. Tidak ada apa-apa disana, dia mulai berjalan mengelilingi kolam renang untuk ketiga kalinya.
Karena sudah merasa bosan dan capek, Joy duduk di tepi kolam dan membiarkan kakinya tertutup air hingga lututnya.
Dia mencoba mengingat kembali kejadian sebelumnya.
Dia tidak tahu... tidak bisa mendengar lebih tepatnya; dia tidak bisa mendengar apa saja yang dibicarakan kedua orangtuanya.
Tidak lama kemudian, ayahnya membeli dua tiket untuk mereka dan mereka terbang ke suatu pulau terpencil.
Disinilah mereka; berada di sebuah tempat penginapan dengan pemandangan yang sejuk dan segar. Begitu mereka tiba, ayahnya menyuruhnya untuk jalan-jalan disekitar hotel sementara beliau bisa berbicara dengan ibunya.
Joy mengayunkan kedua kakinya secara bergantian ke depan ke belakang. Dia ingin sekali berada disana dan memastikan mereka tidak sedang bertengkar. Ditambah lagi waktu sudah berjalan sembilan jam setelah dia mendengar suara itu. Itu berarti dia memiliki satu jam lagi sebelum dipaksa kembali ke masanya.
Pikirannya terus mengatakan bahwa dia harus masuk ke kamar mereka, namun hatinya berkata lain. Dia harus bisa mempercayai kedua orangtuanya.
Dia memutuskan untuk kembali karena memiliki keyakinan bahwa kedua orangtuanya masih memiliki kasih. Karena itu dia berusaha menahan diri untuk tidak beranjak dari sana.
Dia akan menyerahkan sepenuhnya pada keputusan kedua orangtuanya. Dia akan mempercayai mereka bahwa mereka tidak akan melanjutkan perceraian mereka.