Pukul setengah enam sore kegiatan bantu-membantu yang dilakukan oleh lima sekawan pun baru selesai dilaksanakan. Anak-anak OSIS yang lain merasa senang karena dengan bantuan teman-teman Tama, semua pekerjaan jadi cepat selesai. Sebetulnya anak OSIS itu ada banyak, hanya saja ada banyak dari mereka yang belum pulang liburan sehingga Tama masih kekurangan orang untuk mendekor sekolah untuk kegiatan besok.
Saat ini, satu per satu anak OSIS mulai pamit kepada Tama, hingga akhirnya menyisakan Tama dan teman-temannya saja, ah tidak hanya mereka karena ada satu orang lagi yang berada di tengah-tengah mereka saat ini. Mereka masih duduk di depan pintu aula ketika Tama menghampiri dengan wajah super lelah.
Sepertinya laki-laki itu baru menyelesaikan semua urusannya dengan anak OSIS sehingga sekarang bisa kembali mendatangi para sahabatnya. "Thanks, ya, lo semua udah rela-relain dateng ke sini buat bantu gue. Padahal omongan gue semalem bercanda doang." Tama menyodorkan plastik berisikan beberapa minuman dingin kepada teman-temannya.
"Walaupun sekarang lo bilang bercanda, tapi gue tahu kalo lo memang punya harapan kalo kami semua mengiyakan permintaan lo itu, iya, 'kan?" hardik Randu tak tanggung-tanggung.
Tama hanya bisa tersenyum lebar karena apa yang Randu katakan memang benar. Sebetulnya laki-laki itu merasa tak enak dengan para sahabatnya karena sudah meminta mereka datang dan membantu, padahal mereka bukan anggota OSIS sama sekali. Tapi lihatlah, mereka berempat justru benar-benar datang kemari sekalipun Tama sering mengatakan;
"Gue cuma bercanda, enggak usah ditanggepin beneran."
"Ini kalo kalian mau aja sih, gue nggak maksa buat dateng kok."
Kalimat itu sebenarnya hanya sebatas rasa tak enak saja karena Tama meminta bantuan terus-menerus. Namun, sekalipun Tama sudah mengatakan itu, teman-temannya pasti akan tetap datang untuk membantunya.
Sungguh, Tama sangat menyayangi teman-temannya itu walaupun terkadang mereka cukup menyebalkan.
"Gila haus banget gue." Azka menegak habis satu botol miliknya, lalu beralih cepat menatap ke arah Tama. "Lo baru jabat jadi calon ketua OSIS aja udah dapet tanggung jawab berat kayak gini, apalagi kalo udah beneran jadi ketua OSIS, anjir nggak kebayang deh gue gimana capeknya."
"Masalahnya bukan cuma dia aja sih yang cape, tapi kita juga," Gemma menimpali yang langsung mendapatkan anggukan setuju dari Randu dan Azka.
Mendengar itu Tama cuma senyum kalem. Tatapannya mengedar hingga sadar bahwa masih ada satu gadis di antara mereka saat ini.
"Lho, sejak kapan Aulia ada di sini?"
Aulia meringis kecil karena keberadaannya diketahui, padahal dia sudah coba bersembunyi di belakang Arjuna karena tak mau Tama memarahinya. "Dari tadi siang. Gue ikut bantuin yang lain sih tadi, soalnya gabut, gue tadi males pulang," jawab gadis itu berusaha terdengar sesantai mungkin.
"Ya, ampun, Aul, padahal lo nggak usah ikut bantuin juga nggak apa-apa. Mana sampai sore kayak gini, lo itu perempuan harusnya mah santai-santai aja di rumah. Guenya jadi nggak enak nih."
Benar kan, Tama pasti akan marah kepadanya.
Tadi siang Tama memang pergi lebih dulu setelah memberitahu teman-temannya untuk berbaur dengan anak OSIS yang lain sekaligus bertanya apa yang bisa mereka kerjakan. Tapi, Tama pikir Aulia sudah pulang tadi siang dan tidak ikut membantu, namun ternyata gadis itu masih ada di antara mereka sekarang.
Tama sendiri paling tidak suka jika ada anak perempuan lain selain anak OSIS yang ikut membantu ketika ada acara seperti ini. Masalahnya Aulia itu cukup sering membantu padahal Tama sudah melarangnya, dia hanya tidak ingin gadis itu kelelahan.
Kalau teman-temannya sih Tama tidak terlalu memikirkan ya, selain karena mereka laki-laki, teman-temannya juga sudah mendapatkan permintaan tersendiri darinya. Tapi, jika ini Aulia maka Tama bisa merasa sangat tidak enak karena secara tak langsung sudah menggunakan tenaga gadis itu tapi tidak memberikannya apa pun.
"Udah jangan dimarahin anaknya. Gue juga tadi udah larang, cuma dianya keras kepala jadi gue biarin," Arjuna ikut buka suara setelah melirik bahwa Aulia seperti memberikan kode kepadanya untuk bantu berbicara.
Tapi, mendengar jawaban Arjuna yang seperti itu membuat Aulia jadi memanyunkan bibirnya kesal. "Sorry, deh, Tam. Gue beneran gabut banget soalnya tadi dan malas pulang, makanya milih buat bantuin aja."
Menghela napas panjang, Tama tahu tidak ada yang perlu disesali jika sudah terjadi seperti ini. "Gue yang harusnya minta maaf karena udah ngerepotin lo, Aul. Tapi, makasih banyak ya karena udah bantuin, sebagai ketua pelaksana gue bener-bener mau bilang makasih sama lo."
"Nggak apa-apa kok, Tam. Santai aja dan sama-sama."
Gemma berdeham menghentikan percakapan singkat itu sebelum terjadi peperangan di sana. "Maghriban dulu di mushola, abis itu baru pulang."
"Enggak, lo semua harus ke rumah gue malem ini," perintah Tama. "Lo juga, Aul. Ikut aja."
"Eh, gue?" Gadis itu menunjuk dirinya sendiri.
Tama mengangguk lalu menunjuk teman-temannya. "Mama gue baru balik dari luar kota, minta mereka buat ke rumah katanya mau makan-makan aja sih, sekalian sebagai rasa terima kasih gue karena udah bantu hari ini. Mereka mah udah biasa ke rumah gue, dari pada lo sendirian, mending lo ikut aja."
"Ikut aja, Aul. Mamanya Tama orangnya santai kok, dia malah senang kalo ada banyak temannya Tama yang ke rumah," Randu ikut mengajak.
Aulia melirik ke arah Arjuna yang kebetulan juga sedang melihatnya, meminta bantuan. Namun, laki-laki itu hanya mengangkat bahu, membiarkan si gadis yang menentukan pilihan entah dia ingin ikut atau tidak.
Gemma yang melihat interaksi itu langsung menyahut gemas. "Kalo mau ikut, ya ikut aja. Tapi kalo emang nggak mau, nggak usah dipaksain. Tidak ada pemaksaan di sini, Aul, jadi ikutin kata hati lo aja."
Aulia menghela napas panjang kemudian menjawab, "Kapan-kapan aja deh, Tam," putus gadis itu akhirnya.
"Ya, udah, nggak apa-apa. Maghriban dulu yuk." Gemma akhirnya berdiri, diikuti Azka, Randu dan Tama.
Lalu Arjuna?
Laki-laki itu berbeda keyakinan dengan ke-empat temannya.
"Gue balik, ya. Gue lagi nggak shalat kok." Aulia ikut berdiri, tapi Arjuna langsung menahan tangannya.
"Gue anterin."
"Kalo udah selesai duluan aja, ntar gue nyusul," kata laki-laki itu, langsung diangguki oleh yang lain.
Sudah tahu bukan apa alasan Arjuna tidak bisa menjadikan Aulia sebagai seseorang yang lebih statusnya dari seorang teman? Alasannya begitu kuat dan Arjuna tidak memiliki kuasa sedikitpun untuk bisa menyangkal perbedaan yang ada di antara keduanya.
Dia sadar akan hal itu, sadar bahwa mereka menghadap kepada Tuhan yang berbeda, dan kesadaran itu membuat Arjuna tahu bahwa sejak awal dia menyukai Aulia, gadis itu tidak akan pernah bisa menjadi miliknya.