webnovel

Legenda Sang Raja Dunia

Dalam Gugusan Qaf, terdapat puluhan benua besar yang terpencar-pencar, dipisahkan lautan dan tirai semesta. Ketika para raja agung dari berbagai negara di benua membuka batas wilayah masing-masing, perkembangan ilmu beladiri pun melesat menuju era kejayaannya. Tapi, seimbang dengan kemajuannya, sebuah pengorbanan besar pun kerap terjadi demi kemuliaan jalur beladiri. Banyak negara yang tumbuh semakin kuat, banyak juga yang hancur dan hilang dalam catatan sejarah. Pada masa damai, orang-orang perkasa kesulitan menerobos batas kultivasinya, pada zaman kekacauan, banyak naga perkasa yang lahir melukis kebesarannya di gugusan langit. Hindra memiliki konsep sendiri dalam beladiri. Ia membenci keserakahan perang para jenius demi keuntungan pribadi. Ia bangkit, menciptakan jalannya sendiri, berusaha menyatukan dunia besar di bawah keadilan yang manusiawi.

Roby_Satria · 奇幻
分數不夠
53 Chs

Pertarungan di Padang Rumput

Bangsawan Emas Kepalan Besi tertawa. Ia memeluk putera kesayangannya itu. "Maafkan Ayah yang tidak bisa menyambut kepulanganmu. Nyamankah dirimu selama di sana, Hindra?"

"Tentu Ayah. Guru Naga Agung memperlakukanku dengan sangat baik." Jawab remaja itu, sambil menekan dada, menahan gemuruh rasa hangat yang meluap.

Satu tahun tidak berjumpa dan Ayahnya tidak bertanya hasil, tapi keadaannya. Perhatian itu terasa lembut mengetuk dinding hati.

"Syukurlah." Lelaki gagah dari Paviliun Segitiga Emas tersenyum puas.

"Maaf Ayah tidak bisa membawa kakak seniormu, Rapim dan Dipa, mereka masih harus menyelesaikan masa pelatihan tertutupnya."

Hindra memamerkan senyum riang. "Tidak masalah Ayah. Nanti, biar aku yang menemui mereka, mengucapkan selamat apabila mereka berhasil mencapai tahap latihannya."

Tuan Ardan mengangguk. Lalu ia menunjuk pada orang-orang yang di bawanya, "Tujuh belas jenius puncak cuma bisa hadir lima belas orang. Sementara seniormu yang lain dari beberapa generasi, hanya sepuluh orang yang kupilih."

Segera semua orang yang disebutkan Tuan Ardan, maju, mengucapkan selamat dan menatap orang paling junior di Paviliun Segitiga Emas dengan pandangan kagum serta bangga.

"Ah, tuan muda, sebagai murid tertua, seharusnya akulah yang menjaga putera guru, tapi kau meningkat begitu pesat, membuatku malu menjadi seorang senior." Pemuda gempal, dengan wajah memancarkan wibawa mengguncang hangat tangan Hindra.

"Jangan menularkan rasa malu yang bukan menjadi sifatmu pada diriku, Kakak Junjung. Apabila kau terlalu merendah, aku akan kebingungan mencari kalimat yang lebih rendah lagi untuk sekedar berbasa-basi!" Seru Hindra tergelak.

"Kau tidak perlu ikut merendah. Tempatmu diketinggian kultivasi yang memang harus kami pandang sebagai tujuan dan motivasi." Seorang pria berperawakan kecil tapi tegap ikut menyalami Hindra. Wajahnya keras, memperlihatkan kekuatan tekad yang tak tergoyahkan.

"Baiklah, kalau Senior Gumba berkata seperti itu, aku akan berusaha sebaik-baiknya."

Tidak ada yang merasa perlu mengerutkan kening atas jawaban Hindra. Mereka telah paham watak remaja itu.

Seorang perempuan tinggi semampai, berpakaian hijau pupus, dengan kulit putih dirambati bulu halus, menyalami Hindra. "Tuan muda, aku juga menyampaikan ucapan selamat atas keberhasilanmu melewati masa latihan di kediaman Sang Naga Agung."

Dewi Rayumi mengawasi perempuan itu dengan tajam.

"Kuharap bila melihatmu di masa depan, aku akan melihat seorang tokoh yang kebesarannya tersebar hingga keseluruh penjuru."

Hindra tergelak. "Suatu harapan yang akan dapat kau saksikan kenyataannya nanti, Kakak Dewi Ranja."

Sitinggi semampai terkikik. Jemari lentiknya menutup mulut, lalu sambil mengangguk, ia kembali ke dalam rombongan.

Dewi Rayumi bersungut-sungut.

"Ada apa, Yumi?" Nyonya Paviliun Segitiga Emas bertanya sambil tersenyum.

"Anak ini pantang diberi sepatu. Semakin ditiup telinganya, semakin mendongak kepalanya!"

"Sebagai kakak, kau lah yang harus mendisiplinkan. Jangan ragu menjewer kuping, atau menendang bokongnya apabila ia terlalu liar nantinya."

Eh? Hindra merinding. Baru ia paham, mengapa Dewi Rayumi semalam bisa membuat dirinya mati kutu, itu tidak lain karena ada ibu di belakangnya.

Sementara Dewi Rayumi, begitu mendengar pernyataan ibu, laksana jenderal mendapat mandat sang raja. Terang, seterang matahari ditambah nyala obor satu lapangan, pada raut wajah bulan purnama itu, terkandung niat menindas sang jenius paling berbakat abad ini.

"Apakah Ibu tidak terburu-buru mengambil keputusan?"

Beliau hanya tersenyum.

"Tidak bijak menyerahkan wewenang pada yang bukan ahlinya," kata Hindra dengan suara merayu.

"Hei aku kakakmu!" Seru Dewi Rayumi.

"Hei, dia kakakmu!" Seru Ibu.

Kalimat persekongkolan itu, meluncur hampir bersamaan dari bibir mereka, membuat Hindra tidak berdaya.

Tuan Ardan beserta Ibu, sang Dewi Yayu, duduk satu meja dengan Tuan Sura beserta nyonya Paviliun Elang Bintang, sang Dewi Sali. Panatua dua paviliun tersebar pada meja lain di dekat mereka.

Sementara Ralang Puntang, Hindra, Dewi Rayumi, Sang Janin dan tiga belas rekan jenius puncak Elang Bintang, kemudian: Junjung, Gumba, Dewi Rakta dan dua belas rekan jenius puncak Segitiga Emas lainnya, duduk memenuhi tiga meja. Dan pada meja lainnya, ratusan murid berbagai generasi berbaur bersama.

"Tuan Muda Ralang, di masa depan sudilah kiranya memberi petunjuk satu dua hal yang tidak saya mengerti." Ujar Junjung sambil tersenyum.

Ralang Puntang tergelak. Wajah tampannya berbinar cerah. "Paviliun Segitiga Emas mempunyai persyaratan lebih dari cukup untuk itu, Saudara Junjung. Bahkan saya sendiri berharap anda beserta jenius puncak, bersedia membimbing kami di sini."

Junjung buru-buru melambaikan tangannya. "Saya tidak berani, tuan muda." Wajah wibawanya melemparkan senyum merendah. "Tuan Ralang adalah naga diantara para jenius, anda memiliki kemampuan yang berdiri dipuncak dua belas paviliun."

"Ah, pujian itu bukan untukku, Saudara Junjung. Hal itu layak diberikan pada Adik Hindra." Sambil menyesap minuman, Ralang Puntang bertanya santai, "Bagaimana pendapatmu tentang Hindra?"

"Harapan saya di masa depan bisa melihat Tuan Muda Hindra tumbuh menjadi besar. Dan saya akan menjadi orang yang selalu berada di sisinya." Jawab Junjung tegas.

Hindra segera menjawab, "Kakak Senior anda terlalu baik. Sebagai jenius puncak, kau mampu menciptakan jalan besarmu sendiri, jangan membuat adikmu ini besar kepala."

"Hahaha, apa itu kebesaran bagi Junjung, tuan muda. Semenjak aku menjadi murid Tuan Bangsawan Emas Kepalan Besi, hidupku ini adalah milik beliau dan keturunannya."

Perasaan Hindra tergetar. Ucapan spontan itu menyentuh hatinya. Sebagai seseorang yang memiliki watak riang diluar, terkesan jumawa dan kadang tidak memberi muka, sesungguhnya Hindra memiliki hati yang lembut serta peduli pada orang-orang yang berbagi ikatan dengannya.

Sang Janin mendadak menimpali pembicaraan, "Tuan muda, bisakah saya meminta petunjuk bagi perkembangan latihan saya?"

"Petunjuk bagaimana, Senior?" Hindra menatap jenius puncak Paviliun Elang Bintang itu dengan tegas.

"Ehem, saya telah berada ditahap akhir peringkat Tujuh Bintang selama dua tahun. Pelatihan saya tidak beranjak sedikit pun. Pengaruh sumber daya pun hanya berhasil memurnikan serta menambah peningkatan energi yang minim." Sambil menghela napas, ia berhenti, kalimat terakhir agak berat diutarakannya.

"Lanjutkan, Senior."

"Saya meminta satu pertarungan dengan tuan muda. Mungkin bertarung dengan orang kuat bisa menerobos sekat yang selama ini menghalangi." Ia berdiri, menjura dalam, mengucapkan maaf apabila permintaannya itu terkesan lancang.

Tapi, tidak ada yang menyalahkan Sang Janin. Karena semua jenius pun sebenarnya ingin merasakan kekuatan langsung Hindra, hanya saja mereka belum berani mengatakannya.

"Aku juga menginginkan sebuah pertandingan denganmu." Dewi Rayumi menyela, bersemangat.

'Orang ini, mengapa harus ikut-ikutan juga.' Hindra menggerutu dalam hati.

"Eh, apa yang kau katakan dalam hati?"

Buru-buru remaja itu menjawab, "Aku tidak mengatakan apapun. Apa aku terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu?"

"Dari raut wajahmu yang memandangku dengan sinis dapat terbaca apa yang sedang kau pikirkan, paham!" Dewi Rayumi meruncingkan bibirnya, membuat semua jenius menggeleng gemas, mengapa wajah itu terlalu kuat menyebarkan pesona kecantikannya.

Dan, herannya, Hindra seperti tidak terpengaruh, malah terkesan menjaga jarak. Remaja ini memang lain dari yang lain.

Ralang Puntang sambil memamerkan senyum dua kali lipat lebih cerah dari sebelumnya, segera menengahi, "Kalian dua kakak beradik ini seperti anjing dan kucing saja." Ia elus dagunya yang licin, sambil membayangkan ada jenggot di sana, karena dirinya sedang memerankan sosok angkatan yang lebih tua, lalu mengalihkan pandangan ke depan, "Salah satu cara terbaik untuk meningkatkan pengalaman dan kekuatan memang melalui pertandingan. Saran saya, para jenius puncak bertanding bersama Hindra, sementara jenius dari generasi pertama bertanding denganku, dan jenius dari generasi selanjutnya kalian cari senior kalian dari jenius puncak untuk latih tanding. Bagaimana?"

"Begitu pun boleh." Jawab Hindra lugas.

Mendengar ucapan itu semua orang bersorak senang. Suasana mendadak menjadi lebih hidup dari sebelumnya.

"Bagaimana aturan pertandingannya?"

Pertanyaan Gumba segera menghentikan semua keriuhan para jenius yang mulai bergerak meninggalkan kursi masing-masing.

"Gampang. Hindra dan Ralang Puntang cukup mengikuti secara bertahap pengerahan kekuatan semua penantang, lalu berhenti dibatas akhir para jenius, agar para jenius penantang dapat menyesuaikan diri dengan tekanan intens. Semoga hal itu dapat membantu perkembangan mereka."

Jawaban ini berasal dari mulut Tuan Ardan. Agaknya beliau ikut tertarik untuk menyaksikan pertandingan ini.

"Kalian sudah dengar ucapan Tuan Ardan, mengapa masih diam di tempat? Ayo keluar, bertanding!" Seru Tuan Sura garang.

Segera semua murid berhamburan dalam gemuruh semangat meluap-luap.

Lapangan berumput kembali ramai. Siang yang cerah, membuat kabut menggantung tipis-tipis di atas pepohonan. Namun, sayap bekunya yang lebar, masih menggumpal di atas puncak Istana Awan serta di sisi-sisi hutan lebat dikejauhan sana.

Hindra dan Ralang Puntang tegak gagah di tengah hamparan hijau luas. Sosok mereka yang menyimpan kekuatan tersendiri, begitu perkasa bagai pilar batu yang semakin teguh ditempa badai dan hujan.

"Siapa yang pertama?" Suara Ralang Puntang bergemuruh laksana ledakan petir. Tekanan auranya segera menciutkan semangat banyak jenius berbakat lainnya.

"Ini hanya latih-tanding mengapa kalian takut? Maju!" Seru Tuan Sura.

Para jenius bergerak ke depan, tapi masih sangsi untuk menjadi yang pertama.

"Londra, majulah!" Tuan Ardan memerintahkan murid generasi pertama dari Paviliun Segitiga Emas.

"Baik guru!" Seorang pemuda tinggi kurus, dengan punggung agak melengkung, keluar dari kerumunan. Ia menghadap ke arah dua pimpinan paviliun, menjura hormat, lalu melangkah menghampiri Ralang Puntang.

"Mohon bimbingannya Senior."

Jenius nomor satu Paviliun Elang Bintang mengangguk dingin. "Mulailah!"

Londra menyatukan kedua tangan di dada. Matanya tertuju ke angkasa luas. Lalu bersama hentakan napas tertahan, sebentuk energi besar meledak dari dirinya.

Kekuatan Kehendak Langit Tahap Satu! Padang rumput bergelombang. Kepungan angin besar bergulung-gulung jadi badai topan. Perlahan Londra menurunkan tatapan, menatap Ralang Pantang dengan kehendak bertarung terpancar kuat darinya.

Ia melambung, bayangan telapak menimbulkan deru angin menggiriskan. Hanya sekejap mata, dirinya telah berada di hadapan Ralang Puntang. Lamat-lamat cahaya biru berkeredep dari telapaknya yang menghajar kepala lawan.

Ralang Puntang tersenyum. Tempatnya berdiri segera meledak. Hempasan energi pukulan Londra membuat tanah terbongkar, tapi sosok yang menjadi sasaran telah lenyap dari sana.

Pemuda tinggi kurus itu membalik, kembali ia meluncur bersama deru topan, menerjang Ralang Puntang yang tegak di atas gundukan tanah kecil. Dentuman keras kembali menggema, menghancurkan sasaran. Namun, Ralang Puntang telah melayang tinggi di udara.

Dan dari angkasa ia berubah laksana elang petir, menghunjamkan ribuan pukulan yang mengguncang energi topan pelindung Londra.

Londra meraung di dalam badai Kehendak Langit-nya. Tubuhnya selincah jangkrik yang berloncatan kesegenap penjuru, mencoba menerobos kepungan telapak. Semakin cepat ia bergerak, semakin deras hujan pukulan yang turun dari langit.

Londra menggetarkan badan, matanya memerah, urat-urat bersembulan disekujur tubuh, ia mengambil salah-satu langkah berani, dengan agak memiringkan tubuh, ia Terima satu hantaman telapak. Ia meraung keras, isi dadanya laksana remuk terbakar. Tapi dari sana ia mengambil tenaga lontaran untuk keluar dari tekanan serangan Ralang Puntang.

Ia bergulingan sampai ratusan meter. Ikat kepalanya terlepas, darah merah berceceran, tapi saat ia melenting bangkit, matanya memancarkan keterkejutan besar, deru pukulan Ralang Puntang laksana awan runtuh memayungi langit-langitnya.

Cepat Londra menghentakkan kekuatan topan, membuat putaran tubuh mengagumkan bergulung-gulung di atas udara, di bawah bayangan telapak. Gelegar petir mengguncang kawasan berturut-turut, saat ia setengah mati mengejar kecepatan Ralang Puntang menangkis semua pukulan susah payah.

Ia mulai kehilangan kendali atas kekuatannya. Beberapa kali pusaran topan hancur berkeping-keping, lalu ia bentuk kembali. Semakin lama kekuatan Kehendak Langit Tahap Satu semakin melemah dan aura tekanannya yang mengerikan melintas padang rerumputan mulai kehilangan warna.

Tubuh Londra mundur-mundur. Beberapa kali ia harus terpental hanya karena pukulannya kena tangkisan lawan. Semakin lama beradunya pukulan semakin menyakitkan. Rasa ngilu menjalar disekujur tubuh, membuat pemuda itu menggertak geraham, menahan agar dirinya tidak melontarkan jerit kesakitan.

"Ketabahan dan keteguhanmu luar biasa." Kata Ralang Puntang santai. "Teruslah bertahan. Jangan menyerah pada kekalahan, bangkitkan seluruh kemampuan, pupuk seluruh kehendak, lampaui pencapaianmu yang dulu!"

Blegar!

Seiring pekikan terakhirnya, tangan Ralang Puntang diselubungi cahaya hitam tebal dan membentuk lintasan panjang menghantam dada Londra.

Pemuda itu menjerit, tubuhnya melayang deras ke kejauhan. Semua kekuatannya padam dan lontaran tubuhnya menggetarkan tanah yang ia timpa.