Sayangnya usaha mereka sia-sia. Meskipun sudah mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuan, namun nyatanya bukanlah hal mudah untuk membuat si manusia bercadar putih itu takluk.
Jika membuatnya takluk saja sudah sangat susah, lantas bagaimana kalau ingin membunuhnya?
Sepuluh jurus sudah kembali lewat. Enam orang yang merupakan anggota Tujuh Pendekar dari Cang Nan itu mulai terdesak dengan hebat. Di seluruh tubuh mereka telah bertambah luka-luka akibat sodokan atau hantaman tongkat berkepala naga itu.
Saat ini si manusia bercadar putih sedang mendesak mereka. Tongkatnya bergerak bagaikan ular naga. Menyerang ke sana, menerjang kemari. Setiap kali melancarkan serangan, dia langsung memberikan dua tiga jurus sekaligus.
Serangan beruntunnya sangat hebat. Bahkan bisa membunuh manusia dalam waktu singkat.
Untunglah meskipun berada dalam keadaan terdesak, tapi keenam orang itu pun bukan pendekar sembarangan. Enam macam senjata pusaka tiba-tiba menciptakan selapis sinar menyilaukan. Mereka menggelar jurus pamungkasnya masing-masing.
Wutt!!! Wutt!!!
Sambaran pedang bergerak cepat mengincar jantungnya. Tusukan tombak datang dari arah belakang, mengarah ke punggungnya. Kalau sampai serangan itu berhasil, niscaya punggungnya akan ditembus oleh tombak tersebut.
Dari sisi kanan dan kiri, ada juga serangan dahsyat lainnya. Belum lagi jika ditambah dengan lecutan cambuk yang menggelegar itu.
Semua lini sudah dikuasai oleh musuh. Setiap saat nyawanya bisa melayang seketika. Hawa pembunuhan di arena pertarungan terasa semakin kental. Seperti juga hawa kematian yang makin pekat.
Pada saat itulah, tiba-tiba manusia bercadar putih itu membentak dengan keras. Suaranya mengalahkan kerasnya bunyi serangan musuh.
Tubuhnya berputar, melakukan sebuah gerakan yang sangat rumit. Tiba-tiba cahaya perak tercipta. Membentuk lapisan sinar bagaikan pelangi di senja hari yang muncul sehabis hujan. Sangat indah, mempesona dan mampu memanjakan setiap mata yang menyaksikannya.
Namun perlu diketahui, dibalik semua itu terdapat sebuah ancaman maut yang bisa datang kapan saja.
Wushh!!!
Cahaya keperakan itu tiba-tiba menyelimuti enam orang lawannya. Desiran angin tajam menerpa tubuh mereka mulai dari atas sampai bawah.
Wutt!!! Srett!!!
Tebasan dari sisi kanan dilayangkan oleh si manusia bercadar putih. Detik berikutnya langsung terdengar jerit memilukan. Tiga orang langsung roboh. Mereka mati seketika. Setelah dilihat lebih teliti, ternyata di dada ketiganya sudah terdapat sebuah luka tebasan yang cukup panjang dan dalam.
Luka itu menganga. Seperti mulut goa yang menyeramkan.
Pertarungan sengit itu seget berhenti. Tiga orang sisanya sudah melompat mundur sejauh lima langkah ke belakang. Mereka menyaksikan kematian tiga rekannya dengan tatapan mata terbelelak kaget. Kejadian diluar nalar kembali terjadi.
Bagaimana mereka harus menyikapi kejadian ini? Apakah harus tercengang karena betapa cepatnya serangan lawan? Ataukah harus takut karena takut mereka yang menjadi korban berikutnya?
Ketika ketiga orang itu menyaksikan senjata yang sekarang dipegang oleh si manusia bercadar putih, mendadak raut mukanya berubah hebat. Wajah mereka pucat pasi. Jelas, kali ini mereka bukan kedinginan, tapi benar-benar ketakutan.
Senjata itu, tongkat berkepala naga tadi …
Ternyata itu bukanlah tongkat. Melainkan sebuah pedang. Pedang yang terselip dibalik tongkat.
"Pedang Dewa Naga …" desis ketiga orang itu secara bersamaan.
Mereka kemudian saling pandang secara bergantian. Seluruh tubuhnya bergetar hebat. Seolah-olah mereka bertemu dengan malaikat maut. Keringat dingin bercucuran. Peluh keluar dari keningnya.
"Kau … apakah … apakah kau adalah Pendekar Baju Putih?" tanya salah seorang dari mereka sedikit tergagap.
Si manusia bercaping dan bercadar yang ternyata adalah Pendekar Baju Putih itu, tiba-tiba tersenyum dingin.
"Kalian baru menyadari siapa aku sebenarnya?" tanyanya sinis.
"Tidak … tidak mungkin. Kau … bukankah … bukankah kau sudah mati?"
"Aku memang sudah mati, tapi sekarang sudah hidup kembali," jawabnya masih dengan nada sinis.
"Hahaha … bagus, bagus sekali. Pendekar Baju Putih ada di sini, berarti Thian (langit) memang sudah mentakdirkan agar kau mampus malam ini," sebuah suara tiba-tiba terdengar kembali.
Suara itu berasal dari luar ruangan. Namun sebelum habis gema suaranya, orangnya malah sudah muncul di sisi ketiga orang tersebut.
Pemilik suara tadi ternyata adalah seorang tua yang memakai topeng seperti setan. Warnanya hijau tua, bola matanya merah. Dia memakai jubah merah darah. Hawa pembunuhan menyelimuti tubuhnya.
Melihat kedatangan orang itu, Pendekar Baju Putih tidak kaget. Justru dia pun tertawa sangat lantang.
"Hahaha … bagus, sekarang telah bertambah lagi satu manusia pengecut. Apakah masih ada lagi? Biar aku tidak tanggung membunuhnya," ujar Pendekar Baju Putih penuh wibawa.
"Jangan terlalu sombong. Belum tentu kau sendiri bisa keluar dari sini," kata orang bertopeng tersebut.
Begitu dirinya selesai berkata, mendadak dia menyerang ke depan. Orang itu juga mencabut pedang yang disimpan di punggungnya.
Sringg!!! Wushh!!!
Tubuhnya melesat. Pedang di tangannya bergetar menciptakan tujuh jalan pedang. Cahaya yang menyilaukan mata seketika menggulung Pendekar Baju Putih. Baru beberapa saat saja, pertempuran sengit langsung terjadi kembali.
Sementara itu di sisi lain, orang-orang yang menyerang kediaman Zhang Yixing semakin brutal. Para tamu undangan dan murid-murid Partai Pedang Kebenaran semakin banyak yang menjadi korban.
Lebih dari setengahnya sudah tewas mengenaskan. Tamu undangan yang merupakan tokoh-tokoh kosen dalam dunia persilatan juga tidak terkecuali. Menghadapi serbuan banyak orang yang juga mempunyai kemampuan tinggi, tentunya mereka pun merasa kerepotan.
Bukan merupakan hal mudah untuk bisa menyelamatkan diri sendiri dari serbuan sebanyak itu. Apalagi, para penyerangnya selalu menyerang tanpa kenal lelah.
Sedangkan di salah satu sudut, Yin Jiu dan Zhang Yi yang merupakan keluarga Zhang Yixing, sekarang sedang berada dalam keadaan terpojok. Di depan mereka ada tiga orang bertubuh tinggi kekar. Namun penampilannya tetap sama seperti para penyerang lainnya. Wajahnya mereka tertutup oleh cadar hitam.
Entah, sebenarnya siapakah mereka dan apa maksud dari penyerangan ini?
Tiada seorang pun yang bisa menjawab pertanyaan tersebut.
"Mau apa kalian? Jangan berani bertindak kurang ajar!" bentak Yin Jiu sambil melotot kepada ketiga orang itu.
"Hehehe … meskipun sudah tua, ternyata Nyonya Zhang ini masih tetap cantik. Sungguh membuat mata pria merasa kagum," kata orang yang berdiri di posisi paling tengah sambil tersenyum penuh arti.
Semakin mendelik mata Yin Jiu ketika mendengar perkataan itu. Dia tahu, tiga orang bertubuh kekar itu mempunyai maksud tidak baik kepadanya.
Sebenarnya wanita itu sendiri merupakan orang-orang persilatan. Meskipun bukan termasuk pendekar kelas atas, tapi kemampuannya juga tidak perlu diragukan. Sayangnya, karena tadi dirinya juga sudah minum arak, maka sekarang kondisinya tidak berbeda dengan para tamu undangan itu.
Dia tidak bisa melakukan apa-apa. Meskipun bisa melawan, hal itu rasanya tetap percuma saja. Apalagi orang yang harus dihadapinya ada tiga orang.
Sementara itu, Zhang Yi yang juga berada di sisi ibunya langsung marah besar ketika mendengar perkataan orang tersebut.