webnovel

Chapter 4 Daddy Sweet

"(Setelah Ayah pergi, malam ini menjadi malam yang sangat amat dingin. Kulitku juga membeku, apalagi tulangku yang rasanya mau mati rasa, hanya karena Ayah sudah pergi ke kantor. Setelah dia pamitan padaku saat itu, dia langsung memintaku tidur dan mematikan lampu kamar. Aku kemudian terbangun dan entah kenapa berakhir berlutut putus asa di bawah dinding di dalam kamarku yang gelap. Aku tadi pura-pura ngantuk agar Ayah bisa lancar ke kantor tanpa mempedulikanku.... Dasar, pura-pura kuat...)"

"(Tatatapanku kosong, tak bisa melihat apa pun. Yang aku pikirkan hanyalah kenapa Ayah lama sekali... Padahal baru tadi dia keluar, tapi rasanya lama.... Aku harap dia kembali lagi....)"

"(Lalu aku berdiri dan keluar dari kamarku. Berjalan ke ujung lorong yang berbuntu dengan balkon jendela. Aku keluar di balkon jendela itu, melihat malam dan betapa bercahayanya kota dengan banyak lampu menyala di sana. Meskipun udara sangat kencang, aku tidak takut menggunakan pakaian tipisku.)"

"Haiz... Rasanya yang aku tunggu di hidupku hanya Ayah saja deh... Bahkan tak ada Ayah pun, aku tak bisa tidur malam... Jika aku pikir-pikir, aku terlalu banyak khawatir dan sangat terlalu mengandalkan Ayah kemari hanya untuk pulang, padahal aku tahu pekerjaannya pasti berat."

Tapi di sisi lain rumah, rupanya Tuan Cilioen sudah pulang dengan membuka pintu. Ia melihat sekitar dengan adanya ruangan gelap itu. Sepertinya dia sengaja pulang malam ini, padahal dia berpamitan pada Raina bahwa dia akan bekerja sibuk, tapi belum ada beberapa jam, dia sudah kembali lagi.

"(Jadi dia sudah tidur,)" pikirnya yang mengira bahwa Raina sudah tertidur. Tapi saat ia berjalan ke lorong, ia melihat balkon jendela terbuka. Wajahnya menjadi bingung, lalu melangkah ke sana.

Di saat itu juga ia melihat putrinya membelakanginya di balkon itu.

"(Apa dia tidak tahu bahwa aku sudah pulang?) Sayang?" panggilnya.

Seketika Raina terkejut dan langsung menoleh. "Ayah!!" Ia berwajah tak percaya sekaligus senang, seketika melompat memeluk ayahnya.

Tuan Cilioen juga sigap memeluk putrinya agar tak jatuh dari tubuhnya dengan menahan pinggang putrinya.

"Ayah.... Aku sangat merindukanmu," Raina memeluknya sangat erat dan sedikit menangis haru.

"Haha, kenapa bicara begitu? Bukankah baru beberapa jam Ayah pergi?" Tuan Cilioen mengelus pinggang Raina.

"Tapi entah kenapa, aku tak mau Ayah pergi..."

"Hm, begitu ya..." Tuan Cilioen lalu masuk dan menutup pintu kaca jendela balkon, berjalan ke kamar Raina.

"Oh iya, Ayah, kenapa tumben sekali pulang cepat, bahkan hanya menghabiskan beberapa waktu," tatap Raina dengan bingung.

"Maaf, Sayang, pertemuan yang terakhir sepertinya memang tidak membutuhkan banyak waktu. Lalu kamu sendiri, kenapa tidak tidur duluan saja?"

"Um.... Aku menunggu Ayah pastinya... Karena kita selalu tidur bersama, dan rupanya benar, Ayah benar-benar pulang."

"Benarkah, Sayang? Bukankah saat Ayah pergi kau selalu tidur sendirian?"

"Itu dulu.... Sekarang aku sangat takut, bahkan untuk ditinggal beberapa jam," balas Raina.

"Haha, baiklah, kau memang gadis imut. Sekarang tidurlah terlebih dahulu. Ayah harus mandi." Tuan Cilioen meletakkan Raina di ranjang.

"Ayah... Apa Ayah harus mandi?" Raina menatap bingung.

"Tentu, jika tidak kau akan mencium bau tidak enak di sini, meskipun tadi hanya beberapa jam pergi," balas Tuan Cilioen sambil melonggarkan dasinya dan berjalan ke kamar mandi yang dekat dengan kamar Raina.

Raina terdiam, kembali menunggu. "(Jika dipikir lagi, aroma Ayah memang khas seperti ini. Bau rokok, parfum pria, dan sedikit amis darah. Apa Ayah juga dekat dengan pembunuhan? Aku masih kurang yakin soal hal itu, tapi ya... Mau bagaimana lagi... Yang penting aku tidak mencium bau parfum wanita di sini,)" pikir Raina dengan rasa tidak nyaman.

Setelah Tuan Cilioen selesai mandi, terlihat dia keluar dengan telanjang dada, hanya memakai celana saja. Tato di punggungnya menjadi terlihat, samar-samar tidak jelas karena sudah lama. Dia berjalan keluar kamar mandi sambil memundurkan rambutnya yang basah dan melihat putrinya yang berbaring tengkurap bermain HP dengan menyangga bantal di dagunya.

Raina menengadah dan melihat ayahnya telah selesai. "Ayah, kau sudah selesai?"

"Ya, tentu," Tuan Cilioen membalas dan menatap ke dinding yang terdapat jam dinding. Sudah menunjukkan pukul 12 malam.

"Sayang, kau tidak ingin tidur atau bagaimana?" dia menatap.

"Sebenarnya juga tidak mengantuk, Ayah," balas Raina yang masih fokus pada ponselnya.

"Baiklah, jika kau tidak mengantuk, bermainlah ponsel sepuasnya," Tuan Cilioen langsung berbaring di ranjang.

"Apa.... Ayah ingin tidur duluan?" Raina menatap panik.

"Tentu, Ayah sangat mengantuk."

"Ayolah Ayah, bermainlah denganku sebentar... Aku ingin main sebelum tidur," Raina menggoyang-goyangkan lengan ayahnya dengan wajah memelas.

"Kau ingin main? Terima ini," ayahnya membalas sambil menarik tangannya.

"Ahhh," Raina terkejut dan ia terjatuh di tubuh ayahnya. Sekarang mereka saling menatap dekat.

"Ayah.... Ayah benar-benar sangat nakal," Raina menatap kesal.

"Haha, kau bilang bermain tadi..."

"Bermain sih bermain, ini malah lebih tepatnya membuatku duduk di atas Ayah..." Raina bangun dan duduk masih di atas perut Tuan Cilioen.

Raina menjadi terdiam sebentar ketika melihat dada dan perut ayahnya.

"Waw... Ayah benar-benar memiliki body builder, sangat berotot..." Raina meraba-raba tubuh ayahnya.

"Benarkah begitu?" Tuan Cilioen hanya menatap sambil menjadikan tangannya sendiri sebagai bantal.

"Ya, jika aku cari pasangan nanti, aku juga ingin pasangan punya tubuh ini... Sangat bagus...."

"Kau yakin? Tapi bagaimana jika tidak ada?"

"Kenapa bisa tidak ada... Yang pasti sih, jika tidak ada aku minta Ayah untuk melatihnya... Hehe."

"Kau terlalu banyak berpikir enak. Jika ingin cari orang yang bertubuh jantan, kau harus mencarinya di tempat pelatihan militer," Tuan Cilioen bangun duduk, membuatnya memangku Raina sangat dekat di ranjang.

"Oh, itu masuk akal... Tapi yang aku dengar, pria-pria militer itu kebanyakan hanya fokus pada penugasannya saja. Bukan pada pasangannya nanti... Rasanya kan agak aneh sekali," Raina menatap dengan sedikit menyindir orang-orang militer.

"Mereka memang dikenal seperti itu, jadi kau harus terbiasa jika kau harus memilih orang-orang seperti itu," tatap ayahnya sambil membelai rambut Raina.

"Sepertinya akan sulit deh jika mencari jodoh di militer. Bagaimana dengan pejabat? Mereka memiliki uang banyak."

"Ya, tentu, selagi mereka bukan orang tua... Haha."

"Ih Ayah, bercanda deh.... Apakah pejabat memang banyak yang tua?"

"Tidak hanya tua, mereka kurang menjaga kesehatan dan hanya memanfaatkan nafsu pada banyak wanita, jadi mungkin kau akan diduakan."

"Iz.... Kalau aku harus sama siapa sih?!" Raina mulai kesal tak bisa memilih jodoh.

"Jika kau ingin memilih cinta, pilihlah lelaki yang belum sama sekali merasakan cinta. Kau bisa mengajarkannya cara mencintaimu nantinya."

"Lelaki yang belum merasakan cinta?" Raina terdiam bingung. Suasana menjadi diam tapi tiba-tiba Tuan Cilioen menariknya untuk terbaring. "Baiklah, sudah berpikir panjangnya, mari tidur."

"AAh, haha... Ayah!" Raina tertawa dan kemudian secara tak langsung, mereka tertidur dengan suasana sunyi.

--

Esok harinya, matahari muncul menyambut pagi yang segar. Hal itu membuat sudut pandang Raina terbuka.

Aku, Raina, terbangun dengan mata masih agak mengantuk. Sinar matahari muncul dari jendela menyilaukan wajahku. Aku meraba sekitar ranjang, tapi dia tak ada, yakni Ayahku.

"(Ayah tidak ada di ranjang... Hah... Ayah!)" Aku terkejut dan bangun duduk, melihat sekitar, tak ada Ayah sama sekali.

Aku lalu keluar dari ranjang dan berjalan keluar kamar karena Ayah juga tidak ada di kamar mandi kamarku.

"(Semalam... Apakah aku tidur larut sehingga aku tidur kesiangan seperti ini? Untungnya hari ini adalah hari liburku, sangat beruntung sekali.)" Aku menghela napas lega sambil memikirkan bahwa hari ini aku libur.

Sambil berjalan, aku juga memanggilnya. "Ayah... (Bagaimana bisa Ayah bangun tanpa melihat putrinya yang terlelap tidur, haizzz.)" Aku menjadi agak kesal karena Ayah tak ada di dalam rumah, meskipun sudah aku cari ke mana-mana.

"(Sangat membosankan hari ini...)" Aku lebih memilih pergi ke balkon atap apartemen rumah. Sedikit rahasia, tempat kesukaanku adalah tempat yang tinggi, termasuk balkon atap rumah.

"Hmmm... Rasanya sangat segar sekali... Sudah lama aku tidak ke balkon atap ini." Aku menghirup udara segar dengan angin yang terus berterbangan ke sana kemari. Udara pagi memang masih membuatku bisa melihat matahari yang terlihat terbit dan sangat indah, tapi aku lebih suka matahari terbenam.

Lalu aku terdiam sejenak, menyandarkan kedua siku di pagar tepi balkon itu. Tenang saja, balkon di sini sangat kuat dan tidak bisa untuk bunuh diri kok.

Kembali ke tempat, jadi aku sedang terdiam menatap matahari yang berusaha muncul dan memperlihatkan dirinya yang cantik. "(Aku berpikir... Kenapa orang lebih menyukai matahari terbenam daripada matahari terbit? Apa mereka benar-benar menyukai perpisahan daripada pertemuan? Tapi apa ini juga berpengaruh pada apa yang aku suka? Faktanya, aku tidak suka perpisahan, tapi jika memang terpaksa... Aku akan dibuat bodoh oleh itu... Percaya begitu saja pada orang lain... Tak semua orang bisa menerima sikap bodoh dan pintar dari temannya.)"

Tapi tiba-tiba aku mendengar suara pintu balkon terbuka dan aku menoleh dengan cepat karena terkejut. Ternyata itu Ayah. "Ayah!" Aku menyapa dengan senang.

"Rupanya kau di sini. Ayah sudah mencari di mana-mana." Ayah mendekat, menatapku.

"Justru aku yang sedang mencari Ayah. Ayah ke mana saja sih?"

"Ayah keluar untuk bertemu seseorang. Apa kau tidak melihat ke bawah siapa yang Ayah temui?" Ayah menatapku.

Lalu aku terdiam dan menoleh ke bawah, tepat di parkiran luar apartemen rumah. Terlihat mobil hitam berjalan pergi.

"(Aku tidak bisa melihat orangnya, haiz, sudah lah... Mungkin hanya orang yang ingin bertemu Ayah... Tunggu... Kenapa aku jadi tidak enak?)" Aku tiba-tiba merasakan sesuatu, seolah-olah aku benar-benar merepotkan Ayah. Apa dia ada pekerjaan hari ini tapi memilih untuk bertemu denganku?

Lalu aku menoleh perlahan dengan cemas. "Ummm, Ayah..." Aku menatap dengan wajah manis dan tidak nyaman. Ayah hanya berwajah menunggu dengan bingung.

"Umm... Apa Ayah ada pertemuan?" tanyaku dengan khawatir.

"Kenapa kau bertanya seperti itu?" Ayah menatap dengan bingung, membuatku terdiam dan meremas sedikit bajuku.

"Ayah tak perlu melakukan ini padaku jika pertemuan Ayah lebih penting. Aku bisa menunggu di sini jadi Ayah bisa melakukan pertemuan berkali-kali."

"Apa yang kau maksudkan, Sayang? Itu tadi hanya orang yang membuat janji pertemuan saat Ayah nanti akan rapat."

"Kapan Ayah berangkat?"

"Jika kau sudah bisa melepas Ayah."

"Ta... Tapi kenapa aku merasa tidak enak sekali," aku membuang wajah dengan malu. Lalu dia mengelus kepalaku. "Tak ada apa-apa..." Itu membuatku tenang dan tersenyum senang.