webnovel

Bandit Gunung (2)

Uugghh... Apa yang terjadi...?

Sesaat tadi aku merasakan pukulan keras di kepalaku.

Pusing sekali sekarang rasanya.

Kubuka mataku perlahan.

Gelap...

Apa sudah malam?

Kalau iya, berarti sudah lama sekali aku pingsan.

Kuraba kepalaku.

Ugh...!

Ada satu bagian yang sakit saat kuraba.

Bagian itu agak halus.

Kenapa halus...?

Apa pukulan itu membuatku botak di satu bagian itu saja?

Kucoba beranjak dari tempatku duduk.

Kutopang badanku dengan tangan kananku.

Baru kusadari, ternyata aku tidak duduk di tanah.

Permukaannya kasar, tapi lumayan hangat.

Di mana ini sebenarnya...?

Aku jadi teringat saat berada di persembunyian di hutan dekat Lesnoy

...

Apa ini di tenda...?

Aku melihat sekitar.

Percuma, terlalu gelap.

Aku tidak bisa melihat apapun kecuali sebuah titik cahaya kecil.

Aku mendekati titik cahaya tersebut.

Ini... retakan dinding...?

Bisa kupastikan setelah meraba dinding batu yang mengelilingiku.

Kucoba mengintip dari retakan dinding itu.

Retakannya sangat kecil, tapi aku bisa mengintip sedikit dari celah itu.

Kulihat orang-orang yang tadi siang menyerang kami berlalu-lalang.

Ada yang duduk di sekitar api unggun juga.

Apa... aku ditangkap...?

Seketika ketakutanku muncul.

Kenapa aku ditangkap?

Bukannya mereka ini hanya mengincar harta benda kami?

Apa yang akan mereka lakukan padaku?

Apa mereka berniat menjualku sebagai budak?

Budak...

Kengerianku bertambah saat aku berpikir demikian.

Selama ini aku hidup dengan nyaman bersama ayah dan ibu.

Meski saat itu ibu terbunuh, tapi ayah masih bisa menyediakan kehidupan yang layak untukku di kelompok "Gagak Rusidovia"

Tidak bisa kubayangkan kalau aku hidup sebagai budak.

Akan sangat beruntung kalau aku bisa bertemu dengan majikan yang baik.

Tapi itu sangat langka.

Kebanyakan budak diperlakukan dengan semena-mena.

Ayah... David... Paman Fyodor...

Apa mereka baik-baik saja...?

Akankah mereka datang menyelamatkanku?

 

Krieettt...

 

Suara pintu terdengar dari arah belakang.

"Hoo... Kau sudah bangun rupanya."

Kulihat sosok yang masuk ke ruangan ini.

Badannya tidak terlalu besar.

Perawakannya seperti ayah, tapi lebih kurus.

Tubuh dan wajahnya juga penuh dengan luka-luka.

Ekspresi wajahnya sangat tidak mengenakkan.

Dia ini kan... bandit yang melawan ayah tadi.

Sial... Apa yang harus kulakukan...?

Dia sepertinya tidak punya niatan baik.

"A-apa maumu...?"

Dengan suara gemetar, aku menanyakan tujuannya di sini.

Kusiapkan badanku dengan kuda-kuda siap bertarung pula.

"Whoaa... Tenang. Aku tidak mau bertarung."

Ya kau memang tidak mau bertarung. Aku yang mau membela diri.

Kuda-kudaku sama sekali tidak kuturunkan.

Orang itu menghela napasnya.

"Hahh... Ya sudah, sini."

Orang itu menantangku.

Badannya sama sekali tidak bergeming.

Ia bahkan tidak memasang kuda-kuda apapun.

Celahnya banyak sekali.

Apa kuserang saja dia?

Tunggu dulu...

Menurut David, aku harus bisa menganalisis gerak-gerik musuh sebelum menyerang.

Kuperhatikan lagi dia dengan lebih saksama.

Dia sama sekali tidak bergerak.

Matanya juga tidak melihat ke arahku yang dari tadi bergerak mencari-cari celah terbaik.

"Kenapa diam saja? Ayo serang aku."

Dia benar-benar menantangku.

Dengan cepat kulancarkan tendanganku ke arah lehernya.

Tapi dengan cepat ia segera menangkap kakiku.

"Ketangkap kau. Ayo ikut aku."

"He-Hei!! Lepaskan aku!"

Orang itu membawaku keluar.

Oh tidak, apa yang akan ia lakukan?

Membawaku layaknya barang seperti ini.

Ia membawaku ke dekat api unggun.

Di atas api terdapat batang kayu panjang yang biasa digunakan untuk memanggang daging.

Glek...

Aku menelan ludah.

Apa orang-orang ini makan daging anak-anak?

Nggak nggak nggak.

Aku nggak ingin mati dimakan.

Sesaat kubayangkan aku diikat di batang tersebut dalam keadaan telanjang lalu dipanggang di atas api.

"Hei! Angkat batang kayu itu!"

Oh tidak.

Aku benar-benar akan dipanggang ini.

Aku mencoba berontak, tapi orang yang membawaku ini kuat sekali cengkeramannya.

Nggak.

Nggak..

Nggak...

"NGGAKK!!!"

Aku berteriak sekencang mungkin.

"Woi, jangan teriak-teriak kenapa!"

Orang itu melemparku pelan ke tanah.

Aku terjatuh dan segera menjauhkan diri.

Orang itu menatapku.

"Tenanglah, kalau kotor nanti jadi gak enak."

Bulu kudukku merinding mendengar perkataannya.

Fix ini aku bakal dimakan mereka.

Orang itu berjalan mendekatiku.

"J-Jangan mendekat!"

Tanpa menghiraukan perkataanku, ia tetap berjalan mendekat.

"Kemarilah, jangan takut begitu."

"Ng-nggak! NGGAAK!!"

Sial... Aku tidak mau jadi santapan mereka.

Kuseret badanku menggunakan tangan menjauh darinya.

Saking takutnya aku sampai tidak bisa berdiri.

"A... AH! Jangan...!" Seseorang di belakangku berseru.

Tanganku menyentuh sesuatu di belakang.

Agak panas.

"Ah...."

Si pria yang membawaku tadi menepuk jidatnya.

"Jadi kotor kan, ah..."

Kulihat tanganku, ada noda kecoklatan yang agak lengket.

Kucium, baunya enak.

Kutoleh belakangku.

Ada babi panggang yang cukup besar.

"Ah..."

 

...

 

Syukurlah ternyata cuma salah paham.

Aku tidak hendak dipanggang.

Batang kayu tadi digunakan untuk memanggang babi yang kami santap sekarang.

Pria yang bernama Branimir tadi menyuruh untuk mengangkatnya dari atas api supaya tidak terbakar dan bisa dipakai lagi.

Lalu mengenai kotor, itu maksudnya tangan dan badanku yang sudah kena tanah bisa mengotori makanan.

Sebentar, bukan itu yang penting sekarang.

"Di mana ini? Di mana ayahku dan yang lain?" Tanyaku ke Branimir.

"Hmm...? Oh, makhudhu paha penghulik hahi?" Jawab Branimir.

Ngomong apa sih.

Mulutmu penuh tuh.

"Anu... Bisa diulang?"

Branimir menelan makanan di mulutnya lalu mengulangi perkataannya.

"Maksudmu, para penculik itu?"

Penculik?

Siapa yang penculik?

"Maksudmu? Siapa yang penculik?"

"Iya, orang-orang yang tadi bersamamu. Mereka itu penculik kan?"

Sembarangan...

Siapa yang penculik!?

Mereka itu orang yang berdiri untukku saat aku terpojok!

Aku marah.

"Mereka... Bukan..."

"Hmm...? Kau mau ngomong apa? Sudahlah, kau sekarang aman dengan kami. Kehidupanmu sekarang akan lebih la..."

"MEREKA BUKAN PENCULIK!"

Kubentak orang yang ada di depanku itu sebelum menyelesaikan kalimatnya.

Mendengar suaraku yang begitu keras, pandangan para bandit gunung itu tertuju ke arahku.

"Mereka... Mereka itu... Orang-orang yang mau membelaku meski aku... Aku..."

Sungguh aneh hal yang kurasakan saat ini.

Aku marah, tapi juga sedih dan takut.

Perasaanku benar-benar campur aduk.

Tanpa sadar, aku menitikkan air mata.

"... Hei bocah."

Branimir menepuk pundakku.

"Aku paham perasaanmu. Tapi lupakanlah mereka. Mereka itu mau menjualmu sebagai budak. Semua yang mereka katakan itu bohong. Percayalah padaku, kau..."

"TAHU APA KAU!?"

Kubentak Branimir sekali lagi.

Sok tahu sekali dia.

Tahu apa dia memangnya?

Ia yang tidak mengetahui apapun sok-sok an mau memberikan perlindungan.

Ia justru yang sudah membuat semuanya berantakan!

"TIDAK USAH SOK JADI PAHLAWAN! DASAR BANDIT JAHAT!"

Mendengar kalimat terakhirku, para bandit itu malah tertawa.

Sungguh membuatku semakin kesal pada mereka.

"HAHAHAHA!!! 'BANDIT JAHAT' KATANYA!! BUAHAHAHAHA!!!"

Setelah menyelesaikan tawanya, Branimir memandang ke arahku. 

"Hei bocil, aku tak tahu apa yang mereka katakan padamu. Tapi percayalah, mereka itu jahat. Kami di sinilah yang menyelamatkanmu dari mereka. Aku juga pernah menjadi sepertimu, aku..."

"Sudah kubilang, kau itu tak tahu apa-apa!"

Astaga, berapa kali harus kubilang padanya supaya ia mengerti?

Sekarang aku malah kesal bukan gara-gara perbuatan mereka yang seenaknya, tapi menjadi gara-gara pikiran mereka yang begitu bebal.

"Hoo... Kalau begitu, beritahu aku sekarang, apa yang tidak kutahu."

Tatapan Branimir terlihat meremehkanku.

Apa perlu kuceritakan pada mereka mengenai kami?

Apakah itu ide yang bagus? Mengingat kami ini kan mantan anggota kelompok perampok rahasia.

Tapi... Mereka ini kan juga penjahat, apa tidak apa-apa ya?

"Mereka itu keluargaku, sungguh."

"Okeee, laluuu bagaimana?"

Akhirnya kuceritakan semua yang kualami.

Untuk semakin meyakinkan mereka, kuceritakan juga kehidupanku saat di Lesnoy.

Setelah kuceritakan semua itu, wajah Branimir terlihat serius.

Ia berlalu dari hadapanku sambil garuk-garuk kepala.

Tingkahnya seperti orang kebingungan.

Kalau kudeskripsikan, ia seperti orang dengan IQ rendah yang disuruh menyelesaikan soal-soal logika. Ia terlihat berpikir keras seakan kepalanya berasap.

Tunggu... Apa itu IQ?

Lagi-lagi aku melantur.

"Aarrgghh!!! Aku bingung! Hoi bocil, ayo ikut aku!" Kata Branimir sambil memanggilku.

Apa lagi ini. Kuikuti saja Branimir.

Kami berjalan ke arah sebuah bangunan... Tidak, mungkin lebih tepat disebut tenda semi-permanen.

Terlihat seorang wanita yang berpakaian lebih 'beradab' di tenda tersebut.

"Oi Sofia!" Kata Branimir menyapanya.

Wanita yang dipanggil Sofia itu menghela napasnya lalu membalas sapaan Branimir.

"Apa lagi kali ini?"

Wajahnya terlihat tidak senang.

"Hehehe, maaf mengganggumu lagi. Aku mau berkostumisasi tentang sesuatu."

"Kostumisasi...?"

Sofia mengernyitkan dahinya lalu melihat ke arahku.

"Maksudmu 'berkonsultasi'...?"

"Ah iya, maksudku berkosutasi."

Sofia menghela napas lagi.

"He'eh, gimana?"

Branimir lalu menceritakan tentangku pada Sofia.

Sepanjang ia bercerita, Sofia berulangkali mengoreksi ucapannya.

Sampai-sampai beberapa kali aku tidak paham dengan apa yang ia katakan sebelum akhirnya dikoreksi oleh Sofia.

 

"Hmm... Jadi begitu."

"Iya, bagaimana? Kira-kira apa yang harus kulakukan?"

"Sudah jelas kan. Kembalikan saja dia."

Seketika itu juga wajah Branimir langsung terlihat cerah.

"Oke, Sofia! Aku akan mengendalikan pria kecil nan malang ini!" 

"Me-ngem-ba-li-kan."

Ia menghela napas lagi.

Aku jadi simpati dengan Sofia. Betapa sabarnya dia menghadapi manusia satu ini.

Jadi aku betulan akan dipulangkan ya...

Syukurlah hal ini bisa selesai dengan cepat.

Aku tak perlu berurusan dengan orang-orang ini terlalu lama.

 

Kami berdua lalu kembali ke tempat tadi.

"Baiklah, siapa namamu?" Tanya Branimir.

Mendengar pertanyaan Branimir, aku baru sadar kalau aku sama sekali belum memberitahu namaku.

"... Andre..."

"Hoohh, Andre ya! Namamu terdengar kuat!" Kata Branimir bersemangat.

Aku tersipu mendengarnya, baru pertama kali ini ada orang yang memuji namaku dengan bersemangat sepertinya.

Branimir lalu menyuruhku duduk di dekat api unggun lalu memberiku makan.

Kulihat orang-orang di situ.

Mereka terlihat sangar, tapi nada mereka berbicara sangat bersahabat.

Kalau dalam keadaan seperti ini, mereka sama sekali tidak terlihat seperti orang jahat.

Mereka nampak seperti keluarga besar yang selalu bersama ke manapun.

Tapi... Kenapa mereka memilih menjadi bandit gunung seperti ini?

Aku yakin mereka pasti bisa hidup dengan baik kalau bekerja secara jujur.

Karena penasaran, kuberanikan diriku untuk bertanya pada Branimir.

"Anu... Apa aku boleh bertanya sesuatu?"

Branimir menoleh ke arahku dengan mulut yang dipenuhi makanan.

Ya ampun, sebenarnya seberapa dalam perutnya itu?

"Hah? Haha?"

"Sebelumnya aku minta maaf karena sudah mengatai kalian dengan sebutan bandit jahat."

Mendengar kata-kataku, Branimir tertawa lagi sampai tersedak. Untunglah hal itu tidak membunuhnya.

"Hahahaha! Tidak usah kaupikirkan! Kami ini memang jahat!"

Idih, jahat kok bangga.

"Baiklah. Aku ingin bertanya... Kalian ini... Kenapa kalian menjadi bandit gunung?"

"Pertanyaan macam apa itu?"

 

"Maksudku, kalian ini terlihat seperti orang-orang biasa. Bahkan bisa kubilang, kalian ini orang baik. Buktinya kalian mau mengurusku, bocah yang kalian culik, bahkan berjanji untuk memulangkanku."

Branimir melihat ke arahku dengan penuh antusias.

"Tapi kenapa kalian menjadi bandit? Bukankah kalian bisa bekerja dengan jujur lalu hidup layaknya warga Rusidovia biasa?"

Raut wajah Branimir menjadi lebih serius lalu memalingkan pandangannya dariku.

"Tidak semua orang bisa melakukan hal semacam itu, cil."

"Maksudnya?"

Branimir memandangku lagi.

"Kau ini masih kecil, mungkin kau tidak akan paham. Tapi tidak semua punya kemerahan untuk hidup normal sebagai warga biasa."

"Anu... Maksudmu kemewahan?"

Branimir mengernyitkan dahinya.

"Ya itu maksudnya."

 

"Tidak semua orang punya kemampuan dan kemewahan untuk hidup menjadi orang biasa."