webnovel

2. Tanda Pengenal

Jam sudah menunjukkan pukul 07.10 aku segera berpamitan kepada ibu untuk segera berangkat mengajar. Karena hari ini hari selasa, jadwalku ada di jam kedua yakni pada jam 08.30, dan aku tadi pagi sudah izin kalau kemungkinan terlambat karena tadi membenahi pembukuan toko terlebih dahulu dan nanti sekalian berangkat mampir dulu ke toko untuk diserahkan kepada paman.

"bu... aku pergi dulu ya" kataku sambil mencium tangan ibu.

"hati-hati ya nak, jangan ngebut" jawab ibu.

"siap bu.... Assalamualaikum".

"waalaikumsalam warahmatullaah" sahut ibu.

Didepan rumah sudah terparkir motor untuk aku pakai berangkat yang sejak tadi setelah subuh sudah aku nyalakan mesinnya untuk dipanasin. CBR250RR warna merah, yang menjadi kendaraan kesayangan. Dirumah juga ada mobil tapi jarang sekali dipakai kalau tidak keluar bersama ibu ataupun ada acara keluarga. Karena aku lebih senang pakai motor. Selain mempercepat waktu tempuh, juga jauh lebih rilex kalau pakai motor, menurutku.

Segera aku melaju dalam kecepatan sedang. Jarak yang ditempuh dari rumah ke sekolah hanya 16km, jadi tidak sampai 20menit sudah sampai tempat mengajar. Saat diperhentian lampu merah, aku tidak sengaja melihat 2 wanita di hadapanku yang sedang tergesa-gesa untuk naik bis. Wanita yang satu berambut pendek pakai kacamata, dan yang satu berjilbab panjang warna pink dan membawa tas hitam. Tanpa mereka sadari salah satu dari mereka menjatuhkan dompetnya. Belum sempat aku memberitahunya lampu sudah hijau dan bis pun mulai jalan. Aku pun meminggirkan motor dan mengambil dompet warna coklat tersebut. Aku ragu untuk membukanya "tapi kalau aku tidak membukanya, bagaimana aku bisa mengembalikan dompet ini? Toh, bis nya juga udah kelewat jauh. Ah.. kubuka aja siapa tahu ada tanda pengenal untuk mengembalikan dompet ini". pikirku dalam hati. Dan ketika aku membuka dompet itu, ternyata itu milik wanita yang berjilbab pink tadi. Jreng jreng.... CANTIK. Kata itu yang tiba-tiba terlintas dalam pikiranku. Astaghfirullah. Segera ku alihkan pandanganku untuk melihat nama dan alamatnya. Afifah Hilya Nafisah. Itulah nama yang terpampang di kartu tanda pengenal wanita itu. Sedangkan alamatnya berada di kota sebelah. Lumayan jauh, ada di kota Malang. Dalam dompet tersebut terdapat beberapa kartu-kartu penting dan beberapa lembar uang tunai.

Segera aku memasukkan dompet tersebut kedalam tas dan aku segera melaju untuk melanjutkan perjalanan. Setelah sampai, aku segera memarkirkan motor.

"wah tumben agak siang pak Athar, biasanya selalu datang tepat waktu" sapa pak Maman, satpam di sekolah.

"Iya pak, tadi sudah izin mau ada keperluan sebentar" jawabku sambil menyalami pak Maman. "Duluan ya pak, mau masuk dulu, Assalamualaikum".

"Waalaikumsalam pak, silahkan", jawab pak maman.

Aku masuk kedalam ruangan para guru. Setelah itu masuk mengucapkan salam dan menyapa mereka. Aku menyiapkan bahan untuk nanti mengajar. Sekilas aku melihat ada beberapa guru yang bisik-bisik sambil tersenyum melihat kearahku.

Beberapa kali temanku sesama guru yang juga mengajar disekolahan ini memberitahuku kalau mereka mengatakan aku tampan dan berkharisma, maka dari itu aku banyak digandrungi oleh para murid serta sesama guru, itu kata temanku. Perawakanku yang tinggi serta kulit putih, menurun dari ayah dan ibunya. Bisa dikatakan aku pun memiliki postur tubuh yang proporsional, karena aku memang sering berolahraga, meskipun hanya joging didepan rumah. Bahkan ada murid yang pura-pura tidak paham pelajaran sampai rela main kerumahku hanya untuk bertemu denganku. Tapi aku tidak terlalu meladeni mereka. Aku hanya menjalankan tugasku sebagai seorang guru. Aku harus menjaga batasanku antara sesama guru. Juga antara guru dan murid. Aku sangat menghormati wanita, maka dari itu aku hanya menganggap mereka sebagai teman maupun adik. Aku tidak mengenal pacaran sebelum nanti menikah. Bagiku, pacaran hanya akan menjadi gudang dosa, ladang maksiat dan semakin dekat dengan dosa-dosa. Dan kelak seandainya tiba waktunya aku hanya akan menyentuh dan berbagi perasaan hanya kepada istriku. Dan untuk saat ini, memang belum ada seseorang yang dapat menggoyahkan

Pernah dulu waktu masih kuliah, aku merasa mengagumi seorang wanita, sekedar di sapa pun sudah bahagia. Aku tidak pernah berani mendekatinya atau mengobrol dengannya. Yang kulakukan hanya melihatnya sekilas dari kejauhan. Tapi itu tidak berlangsung lama, karena si wanita berpacaran dengan temanku. Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi merasakan suka terhadap wanita karena memang aku membatasi diri agar nanti saat tiba waktunya semua akan terasa indah dengan izin Allah.

"Pak Athar, aku mau ke kantin beli makan, mau dibawain sekalian?" tanya Melisa. Salah satu guru yang suka cari perhatian kepadaku, setidaknya itu kata temanku.

"oh... enggak bu. Terimakasih. Aku sudah bawa bekal dari rumah kok" sahutku.

"Ya sudah, nanti kalau mau nitip apa-apa nggak perlu sungkan-sungkan ya pak" kata Melisa sambil tersenyum. Aku hanya mengangguk.

Kata temanku Melisa sudah lama menaruh hati kepadaku tapi tidak berani mengutarakan. Dia memang sering menunjukkan perhatiannya kepadaku. Terkadang membawakan makanan atau tiba-tiba membantu pekerjaanku yang belum selesai. Tapi aku hanya menganggapnya teman seprofesi. Melisa adalah seorang guru matematika. Masih muda. Menurut temanku yang sama-sama mengajar disana, Melisa adalah guru yang paling cantik dan juga sexy karena dia sering memakai pakaian yang lumayan ketat dengan jilbab yang sering dililitkan di leher. Mungkin itu salah satu faktor yang membuatku tidak tertarik dengannya. Bahkan aku selalu menundukkan pandangan dan tidak pernah melihatnya dengan sengaja.

Aku mengeluarkan buku-buka yang ku bawa dan membuka tumpukan buku tersebut. Ada buku besar warna hijau. Buku yang seharusnya aku serahkan dulu ke paman waktu berangkat tadi malah lupa belum aku berikan karena insiden menemukan dompet tadi jadi lupa.

Ahh...

Segera aku menelpon paman. "Assalamualaikum paman"

"waalikumsalam Athar" jawab paman.

"Paman maaf, tadi berangkatnya buru-buru soalnya jadi nggak sempet mampir ke toko. Nanti sepulangnya ngajar aja aku ke toko ya. Biar Athar bantu merekap semuanya juga nanti" jelasku.

"iya nggak apa-apa thar... ini aku juga masih beres-beresin barang yang baru datang kemarin" jawabnya.

"Baiklah paman... nanti disambung di toko lagi, ini aku mau ngajar dulu, Assalamualaikum".

"Waalaikumsalam" jawabnya.

Paman Ramdan adalah kakak dari ibu. Paman adalah orang yang membantu ibu meneruskan usaha ayah. Toko pernah hampir bangkrut setelah beberapa bulan kepergian ayah yang pada saat itu aku masih di pondok. Setelah kejadian itu paman rela berhenti dari pekerjaannya di pabrik sepatu untuk kemudian membantu ibu di toko. Paman dan bibi belum dikarunia keturunan setelah menikah hampir 25 tahun. Merekalah yang menjadi orang tua kedua ku. Sosok ayah yang telah pergi di isi oleh paman. Aku begitu dekat dengan paman dan bibi. Jarak rumah kami juga dekat, hanya 1 km. Aku dan ibu sering kerumah paman. Begitupun paman dan bibi. Meskipun hanya untuk berbagi makanan ataupun hanya karena saat kami kesepian.