Perkenalkan namaku Handaka Usada, seorang mahasiswa tingkat 6 yang kini diharuskan untuk mengikuti Kuliah Kerja Nyata, sebelumnya aku adalah seorang mahasiswa yang gemar menyendiri, egois dan hanya memikirkan tentang hidupku sendiri. Aku tidak terlalu peduli dengan Organisasi Kampus, circle pertemanan yang ada di kampus dan hanya terfokus dengan nilai-nilai dan mata kuliah saja. Semuanya kulakukan sendiri, kuliah-pulang dan kuliah pulang, bisa kalian sebut diriku ini adalah Mahasiswa Kupu-Kupu.
Sebelumnya aku berkuliah di salah satu Perguruan Tinggi yang berada di salah satu kota di pulau Sumatera. Aku cukup puas dengan pencapaianku selama kuliah, terbukti dengan tidak banyaknya nilai jelek yang tertera di Kartu Hasil Semester perkuliahanku. Aku tinggal di kota ini sendiri, tanpa adanya orang tua, semenjak kuliah aku dijawajibkan untuk merantau dan pergi jauh dari rumah demi menimba ilmu. Hal itu pula lah sebenarnya yang melatarbelakangi kenapa aku hanya terpaku dengan IPK (nilai) daripada hal lan, tujuan tersebut tidak lain adalah guna mendapatkan respek dari kedua orangtuaku.
Semester 6 mulai memasuki fase yang akan dituju. Aku sebelumnya sudah mengisi Kartu Rencana Studi (KRS) dan kemudian mengambil KKN di semester ini, tujuannya cuma satu apalagi kalau bukan menyelesaikan perkuliahan ini dengan secepat mungkin. Skrispi juga sudah aku ambil dan mulai berjalan diantara bab 1 dan bab 2, aku rasa KKN juga akan memperlancar moodku dalam menulis skripsi itu hingga tamat.
Aku berjalan gontai, di tengah terik panas matahari, menyusuri pedagang-pedagang yang menjajakan makanan di samping pintu kampus, memasuki gerbang kecil yang menghubungkan kampus dan salah satu Sekolah Dasar dan terakhir menyusuri koridor hingga akhirnya tiba di depan salah satu ruangan kelas. Aku mulai melihat satu persatu, tempat itu penuh sesak dengan orang, tampaknya semuanya berkumpul disini. Aku kemudian mengecek handphoneku dan dikabari oleh Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) fakultasku untuk berkumpul di ruangan 6 pada pukul 13.20 Wib. Aku mulai mengetuk pintu dan masuk ke dalam perlahan-lahan, tampaknya aku telat dan terlihat sudah ada beberapa mahasiswa lain di dalam ruangan kelas tersebut. Aku melihat ada seseorang yang kukenal di kelas ini namanya adalah Feranda. Feranda ini adalah wanita yang memiliki circle pertemanan yang cukup populer di kelasku. Aku sebenarnya tidak terlalu akrab dengan dia, namun karena aku sering ditunjuk menjadi Ketua Kelas mau tak mau dia tentunya juga mengenali keberadaanku saat ini.
"Kamu di kelas ini juga, Handaka?" tanyanya penasaran.
"Hmm ... kayaknya iya! Ini ruangan 6 kan?" lagakku pura-pura tidak tahu.
"Iya, ini ruangan 6 syukurlah kalau begitu! Aku tidak terlalu kenal dengan mahasiswa yang lain." ucapnya terus terang.
"Oh ... aku juga sama!" ujarku pelan.
Obrolan kikuk itu akhirnya berhenti dengan ditandakannya seorang pria bertubuh gempal di sekitaran umur 35 tahun dengan tinggi 170cm lebih memasuki ruangan kelas, pria ini tersenyum ramah ke arah kami semua.
"Selamat siang, adek-adek!" ucap pria tersebut kepada kami semua.
"Siang pak ... jawab kami berbarengan."
Semuanya kembali diam dan semua mata tertuju kepada pria tersebut. Pria ini bernama Pak Rahman, beliau adalah Dosen Pembimbing Lapangan untuk kelompok KKN kali ini. Beliau adalah Dosen di salah satu Fakultas Syariah yang kebetulan kali ini ditugaskan untuk membimbing kami semua.
"Perkenalkan sebelumnya, nama saya Rahman. Saya adalah DPL kalian untuk KKN selama 1 bulan kedepan. Saya harap semuanya dapat berkerja sama dengan apik, membangun desa dan juga mendapatkan respect dari masyarakat desa. Saya berharap tidak ada masalah yang berarti dan juga kondusif. Mulailah jalin hubungan pertemanan di antara kalian terutama yang berbeda-beda jurusan dalam perkuliahan. Karena kalian akan ditempatkan di tempat yang jauh dari perkotaan dan membangun desa tersebut sesuai dengan fokus KKN kita yaitu "Membangun Desa Terpencil".
Aku masih sibuk membolak-balik buku panduan tentang KKN. Buku ini sebenarnya sudah diberikan minggu kemarin, namun karena malas, aku baru bisa membacanya saat ini juga. Melihat kelakuanku tersebut Pak Rahman tampaknya tertarik untuk melirik ke arahku.
"Kalau begitu, ada baiknya kita lakukan perkenalan satu persatu dari kalian, dimulai dari kamu yang sedang membaca buku!" tunjuk Pak Rahman kepadaku.
Aku terdiam sebentar, menutup buku tersebut dan segera berdiri untuk memperkenalkan diri, "Selamat siang semuanya, perkenalkan nama saya Handaka Usaha, dari Fakultas Hukum. Mohon bimbingan dan kerjasamannya." ujarku singkat.
Perkenalan kemudian dilanjutkan kepada Feranda, "Perkenalkan nama saya Feranda. Saya juga dari Fakultas Hukum. Mohong bimbingannya teman-teman sekalian!" ucap Feranda lembut.
Perkenalan ini mungkin akan kupersingkat saja, intinya tim dalam KKN ini terdiri dari 6 enam orang wanita dan 5 pria. Semuanya hampir berbeda-beda fakultas yang ada dalam KKN, mulai dari Fakultas Hukum, Teknik, FKIP, Ekonomi, dan Biologi. Dari fakultas hukum ada aku dan Feranda, dari fakultas teknik ada tiga orang pria mereka adalah Endi , Jawir dan Dwi, dari fakultas ekonomi ada Toni, Fakultas FKIP ada empat orang yaitu Ceni, Ira, Dona dan Putri dan terakhir ada dua orang dari fakultas biologi yaitu Aisyah dan Mak (emak) wanita ini memang lebih suka dipanggil begitu.
Setelah dirasa perkenalan itu cukup, Pak Rahman kemudian menunjuk aku sebagai ketua koordinator lapangan untuk KKN kali ini. Aku hanya mengangguk tanda setuju, karena memang aku sudah terbiasa mengatur anak-anak di kelas seperti biasa, tentunya pengalaman KKN ini akan menjadi batu loncatan dan pengalaman baru untukku di kemudian hari.
Rapat selanjutnya adalah yaitu berbagi mengenai kewajiban barang-barang apa saja yang akan dibawa pada saat KKN. Pak Rahman menyarankan agar semua itu mulai dirapatkan agar semuanya mendapat bagian yang sama. Karena tentunya rumah yang nanti ditempati kemungkinan besar tidak memiliki isi apa-apa dan kewajiban untuk melengkapi isi dari rumah KKN itu adalah kewajiban bersama. Setelah acara bagi-bagi tugas itu selesai, rapat pada hari itu pun ditutup oleh Pak Rahman, selanjutnya adalah di pertemuan selanjutnya akan ada pra tinjau lokasi KKN yang diwakilkan kepada ketua dari setiap kelompok. Alhasil aku terpilih untuk mewakili kelompok ini melakukan peninjauan ke lokasi KKN seharusnya ada dua perwakilan dari setiap kelompok, namun tampaknya teman-teman KKN-ku ini berhalangan hadir dan hanya aku sendiri yang terpaksa pergi ke lokasi KKN. Hari ini kami diantar oleh Pak Rahman, ternyata Pak Rahman tidak hanya membawahi KKN di kelompok kami namun ada sekitar 2 kelompok lain yang dibawahi olehnya, oleh karena itu kami semua kemudian berangkat bersama beliau selaku DPL untuk melakukan peninjauan lokasi.
Tidak banyak yang diobrolkan selama perjalanan, karena aku lebih memilih untuk tidur, tidak terasa 4 jam pun berlalu dari kota ke daerah tempat terlaksanannya KKN. Desa ini cukup jauh dari jalan raya, setidaknya butuh sekitar 30 menit menaiki kendaraan roda dua untuk sampai ke jalan raya, dengan kontur tanah yang belum diaspal, jadilah perjalanan ini penuh dengan becek akibat terkena tanah lumpur disana-sini.
Setelah tiba, Pak Rahman mengantarkan aku ke rumah Pak Kepala Desa. Awalnya kami disambut ramah oleh Pak Kepala Desa, namun tanggapan tidak enak muncul, ketika istri dari Pak Kades datang menemui kami dan berkata, "Kalian mending pulang saja! Tidak bagus KKN di tempat ini!" ujarnya pelan. Istri Pak Kades ini seolah bicara kepadaku, namun Pak Rahman tidak mendengar perkataan tersebut karena ia sedang sibuk berbicara dengan Pak Kepala Desa. Aku yang terkejut sontak bertanya, "Apa maksud ibu?" Istri Pak Kepala Desa ini tanpa sepatah katapun ngeloyor pergi setelah menyuguhkan beberapa gelas teh, hal yang terlihat adalah ia memandangku dengan raut muka sinis sembari berlalu pergi.
"Ada yang tidak beres di tempat ini!" gumamku.
Perasaanku menjadi tidak enak, aku merasa tampaknya istri dari Pak Kades ini tidak menyukai keberadaanku di tempat ini. Pak Kades yang sadar akan hal itu kemudian berkata, "Maafkan istri saya, mas! Orangnya memang sedikit ketus, tapi aslinya baik kok!" Pak Rahman yang mendengar itu sontak terheran-heran, sebenarnya apa yang sedang terjadi pikirnya.
Aku hanya tersenyum dan kemudian berkata, " Tidak apa-apa, pak! Saya mungkin yang salah!"
Tak lama kami kemudian menyudahi obrolan di siang hari itu. Pak Rahman dijanjikan oleh Pak Kades akan diberikan salah satu rumah di desa, agar tidak jauh dari pemukiman penduduk, rumahnya juga masih layak huni namun kondisinya memang kosong, karena pemilik rumah sudah tidak tinggal lagi di desa tersebut.
Pak Kades kemudian mengantarkan aku dan Pak Rahman ke rumah tempat dimana kami akan melangsungkan KKN. Letaknya ada sedikit berada di selatan Desa, disampingnya tidak jauh terdapat pemukiman warga, sebelah barat terdapat sungai kecil yang mengalir dan terdapat tanah lapang untuk bermain voly, sedangkan di utara terdapat pemakaman warga masyarakat sekitar dan disebelah timur terdapat hutan dan perkebunan sawit.
Kami akhirnya sampai di rumah yang rencananya diberikan kepada kami anak-anak KKN. Rumah ini setengah permanent dikelilingi oleh pagar lancip yang besinya mulai berkarat, atap rumah dari seng, rumah ini terdiri dari dua lantai, lantai pertama dari semen dan lantai kedua dari kayu, terdapat tangga dari semen yang menghubungkan antara lantai satu dan dua yang terletak di depan rumah dan tentunya dari suatu rumah kosong terdapat banyak sarang laba-laba serta bubuk kayu yang mulai keropos.
'Rumah ini tidak layak huni' batinku.
Mataku masih nanar, memperhatikan bangunan rumah yang terbengkalai sedemikian rupa seperti ini. Tidak ada tanda-tanda kehidupan yang tampak sama sekali rasanya aku cukup tidak percaya dengan keterangan Pak Kades yang mengatakan kalau rumah ini baru 2 tahun tidak dihuni, rumah ini lebih mirip seperti sudah 10 tahun lebih tidak ditinggali oleh manusia. Aku memang memiliki kecenderungan sebagai seorang yang agak sensitif dengan tempat baru, terutama kalau tempat itu seram, seringkali bulu kudukku berdiri sendiri dan kejadian itu terulang hari ini. Aku seolah tidak sanggup untuk mengecek ke dalam rumah lebih lanjut, sedangkan Pak Rahman dan Pak Kades sudah masuk duluan ke dalam rumah, mereka melihat-lihat isi rumah tersebut, sedangkan aku masih diam mematung di depan rumah sembari memperhatikan rumah itu lamat-lamat.
Aku tiba-tiba melihat sekelebat bayangan hitam dari jendela di lantai dua.
'Apa itu gumamku!' aku masih mencoba untuk melihat sekali lagi. Aku takut aku hanya berhalusinasi saja, namun tiba-tiba jendela itu terbuka dan kemudian mengatup kembali disertai dengan suara hentakan yang cukup keras.
'Brakk' suara benturan antara jendela yang seolah dibanting dari arah dalam.
Aku terkesiap karena terkejut, aku melihat kembali terdapat bayangan hitam di atas rumah tersebut yang kini menatapku dalam-dalam. Aku yang takut kontan menutup mata dan mengalihkan perhatianku dari jendela rumah tersebut.
'Rumah ini berhantu' ujarku sekali lagi.
Pak Rahman dan Pak Kades yang mendengar ada suaru jendela yang dibanting segera keluar dan bertanya kepadaku. "Siapa yang membanting pintu barusan? Apa itu kamu?" tanya Pak Kades.
Aku hanya menggeleng. Aku tidak berani menjelaskan apapun pada saat itu. Aku kembali mencoba melihat ke arah bayangan hitam yang ada di jendela tadi, namun sosok itu telah menghilang, kini hanya terlihat jendela kaca yang terbuka sedikit.
"Oh ... mungkin angin!" ujar Pak Rahman mencoba menangkanku.
"Kamu tampak pucat? Kamu sakit?" tanya Pak Kades.
"Oh ... tidak terlalu pak! Tampaknya ini karena aku telat makan siang saja!" elakku.
Pak Rahman tampaknya sangat setuju kalau kami semua akan KKN di rumah ini sedangkan aku mencoba untuk berbicara kepada Pak Kades.
"Pak ....!" ujarku pelan.
"Ya kenapa, mas?" tanya Pak Kades terheran-heran.
"Apakah tidak ada rumah lain selain rumah ini, pak?" tanyaku kepadanya.
"Hmm ... seingatku tidak ada lagi mas! Hanya ini satu-satunya. Memangnya kenapa? Tidak suka sama rumahnya!" tanya Pak Kades sekali lagi.
"Tempat ini tampaknya seram pak!" ujarku polos.
"Ah mas bisa saja! Tidak terlalu seram kok mas! Nanti juga akan bagus lagi kalau sudah dibersihkan, masnya parnoan kali! Namanya juga rumah kosong mas, kalau sudah dihuni kondisinya jadi bagus lagi!" ujar Pak Kades mencoba menenangkanku.
Aku mencoba berdamai pada saat itu dan menerima rumah KKN tersebut. Kami pun pulang menuju kota, walaupun terasa ada hal yang benar-benar mengganjal mengenai rumah KKN kami ini nanti, sedangkan sosok hitam yang ada di lantai dua rumah KKN itu seolah tersenyum ke arah pria muda yang melihat kearahnya barusan.
Bersambung