webnovel

Would You be My Girl?

Sabtu sore akhirnya tiba, dan hati gue udah campur aduk antara deg-degan, seneng, dan takut. Setelah satu bulan kenal Febi, hubungan kita makin deket. Kita udah kayak orang pacaran—jalan bareng, cerita banyak hal, bahkan kadang dia manja banget ke gue. Tapi gue nggak mau hubungan ini cuma sebatas "mirip pacaran." Gue pengen lebih dari itu. Gue pengen dia jadi pacar gue.

Sore itu, sepulang sekolah, gue dan Febi udah sepakat buat jalan bareng. Gue anter dia pulang dulu ke rumahnya, sambil numpang ganti baju juga. Jujur, gue malas pulang ke rumah gue sendiri, soalnya jauh banget. Febi cuma senyum kecil sambil bilang, "Dasar anak males."

Setelah semuanya siap, kita langsung cabut. Gue bawa si Item (motor gue) menuju sebuah kafe yang udah gue rencanain sejak beberapa hari lalu. Menurut gue, tempat ini sempurna buat momen spesial ini. Ada suasana romantis, lampu-lampu temaram, dan meja di sudut ruangan yang sengaja gue pesan kemarin. Semua ini nggak murah, dan gue harus rela mecahin celengan ayam gue demi malam ini. Maaf ya, celengan ayam, pengorbananmu nggak akan sia-sia!

Sampai di kafe, gue parkir motor dan kita masuk bareng. Begitu Febi turun dari motor dan melangkah di bawah cahaya lampu taman, gue tertegun. Semenjak dari rumahnya baru saat ini gue sadari malam itu dia terlihat luar biasa cantik, seolah-olah dia bukan manusia biasa, tapi bidadari yang turun langsung dari surga. Febi memakai dress casual berwarna pastel yang simpel tapi anggun, membingkai tubuh mungilnya dengan sempurna. Rambut panjangnya yang biasa tergerai kali ini dibiarkan terurai lembut, melambai-lambai dihembus angin malam. Kulitnya yang putih bersinar halus di bawah pancaran lampu kafe, membuatnya tampak bercahaya. Wajahnya yang selalu manis terlihat semakin memikat dengan senyumnya yang lembut, senyum yang bisa bikin siapa saja berhenti berpikir untuk beberapa detik.

"Eh, kita beneran mau makan di sini?" tanya Feby sambil melirik sekeliling kafe dengan sedikit ragu. 

"Iya, emang kenapa? Kamu nggak suka?" balas gue sambil memasang senyum santai, meskipun sebenarnya gue deg-degan.

"Suka banget," jawabnya sambil tersenyum kecil. "Tapi kan..." 

"Tapi apanya? Mahal? Udah, nyantai aja kali. Hari ini tuh spesial," potong gue sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya.

"Spesial?" ulangnya dengan nada bingung, matanya yang besar menatap gue penuh tanya.

"Iya, spesial... nggak pakai telor tapi," jawab gue sambil bercanda, berharap bisa mencairkan suasana. 

Mendengar itu, Febi mengerutkan kening, jelas-jelas bingung dengan jawaban gue. "Maksudnya?" tanyanya polos, wajahnya serius mencoba memahami.

Gue nggak bisa nahan tawa. Melihat dia serius nanggepin candaan receh gue itu bikin gue makin gemes. Mukanya lucu banget kalau lagi bingung, apalagi dengan bibirnya yang sedikit mengerucut seolah protes.

Gue akhirnya berhenti ketawa dan menatap dia dengan senyum yang lebih lembut. "Nanti juga kamu bakalan tahu," jawab gue penuh misteri, sambil melangkah lebih dulu menuju meja yang sudah gue pesan sebelumnya. Rasanya makin nggak sabar untuk menunjukkan apa yang sudah gue siapkan. 

"Maaf, Kakak mau pesan apa?" tanya seorang waitress dengan senyum ramah, menghampiri meja kami. Febi, yang duduk di depan gue, masih terlihat kagum melihat dekorasi kafe. Gue langsung mengalihkan perhatian ke waitress itu.

"Om Adi-nya ada nggak, Kak?" gue balik nanya. Om Adi ini bukan orang asing buat gue—beliau pemilik kafe sekaligus teman lama bokap. Gue udah sempat cerita panjang lebar ke beliau soal rencana gue malam ini.

"Pak Adi-nya ada, Kak. Mau saya panggilkan?" jawab waitress itu sopan, dengan sedikit bingung karena pertanyaannya gue balas dengan pertanyaan.

"Nggak usah, Kak. Bilang aja Reka nanti mau nyapa ke belakang," gue menolak halus sambil menambahkan sedikit senyum.

"Baik, kalau begitu nanti saya sampaikan. Ada pesanan lainnya, Kak?"

Gue nyengir kecil sambil menjawab, "Oh, itu juga Om Adi udah tahu, Kak."

Waitress itu mengangguk, masih dengan senyum profesional, sebelum meninggalkan meja kami. Gue sempat melirik ke Febi, yang menatap gue penuh rasa penasaran. "Kok kamu nyebut-nyebut nama orang segala? Siapa Om Adi?" tanyanya.

"Yang punya kafe, temen lama bokap," 

Febi menatap gue dengan mata penuh rasa ingin tahu. "Oh, jadi kamu kenal deket sama yang punya tempat ini?"

"Kenal deket sih nggak juga. Cuman aku beberapa kali dateng kesini bareng keluarga."

Setelah waitress tadi balik lagi untuk memastikan pesanan gue, Febi mulai cerita banyak. Di sinilah sifat asli seorang cewek biasanya keluar—cerewet, tapi dengan cara yang menyenangkan. Gue cuma senyum tipis sambil memperhatikan setiap kata yang keluar dari mulutnya.

Kadang cerita Febi melompat dari satu topik ke topik lain, mulai dari teman barunya di sekolah, drama kecil di kelas, sampai ke rencana-rencananya buat akhir minggu. Suaranya penuh semangat, dan gerakan tangannya saat bercerita makin bikin gue nggak bisa mengalihkan pandangan. Kadang, gue cuma ngangguk-ngangguk nanggepin atau ngasih komentar singkat yang bikin dia tertawa kecil.

Gue pikir, cewek cerewet itu mungkin bikin sebagian orang capek, tapi buat gue, ini sisi Febi yang bikin dia spesial. Di setiap kalimatnya, gue bisa ngerasain bagaimana dia mulai percaya sama gue, bagaimana dia nyaman berbagi hal-hal sederhana. Gue jadi makin yakin kalau malam ini bukan cuma tentang rencana gue, tapi juga tentang bikin dia merasa bahagia.

Di kepala gue cuma ada satu pikiran: 'Gue harus bikin malam ini jadi malam yang dia nggak bakal lupakan. Gue harus kasih tahu dia betapa gue pengen dia jadi lebih dari sekadar teman. Malam ini, semuanya harus spesial.'

Makanan akhirnya datang juga, aromanya langsung bikin perut gue keroncongan. Sambil makan, Feby masih sempat-sempatnya cerita tentang teman-teman SMP-nya, tentang masa-masa seru yang dia alami dulu. Gue dengerin sambil sesekali senyum, tapi sebenarnya pikiran gue nggak sepenuhnya ada di sana. Gue nggak bisa berhenti memperhatikan wajahnya. Ada sesuatu yang beda dari Feby malam itu. Entah karena dress pastel yang dia pakai, atau senyum yang terus mengembang di wajahnya, gue cuma tahu satu hal: malam itu dia terlihat makin cantik dari biasanya.

Saat itu, terdengar intro lagu Your Call dari Secondhand Serenade, dimainkan dengan iringan piano. Gue tersenyum kecil. "Ini dia," pikir gue. Waktunya beraksi.

"Feb, tunggu sebentar ya," kata gue sambil berdiri. Dia sempat mengerutkan kening, kelihatan bingung, tapi gue cuma kasih dia senyuman menenangkan.

Gue jalan menuju stage, sedikit deg-degan meskipun gue udah siap. Begitu gue sampai, gue lihat orang di balik piano itu. Sesuai dugaan, itu Romy, salah satu teman lama mbak gue. Romy memang udah lama jadi penyanyi di kafe ini, dan sebelumnya gue udah minta dia buat bantuin malam ini. Gue kasih anggukan kecil, dan dia balas dengan senyuman penuh arti. Tanpa perlu ngomong, dia tahu gue udah siap. Dia berdiri, pindah dari piano ke gitar akustik, dan menyerahkan panggung sepenuhnya ke gue.

Gue ambil mikrofon, tangan sedikit gemetar. Tapi di dalam hati, gue yakin malam ini harus sempurna. Gue tarik napas panjang, melirik ke arah Feby yang sekarang tampak lebih bingung.

"Selamat malam semuanya," kata gue, suara sedikit bergetar tapi tetap terdengar jelas. "Ada satu lagu yang gue tulis khusus untuk seseorang yang spesial malam ini. Feby, lagu ini buat kamu."

Seluruh ruangan langsung hening. Gue liat Feby, wajahnya berubah dari bingung jadi penuh keterkejutan, lalu pelan-pelan dia tersenyum. Itu senyuman yang bikin semua ketegangan gue hilang. Romy mulai memetik gitar, melodi lembut mengalir, dan gue mulai bernyanyi. Lagu yang gue buat dengan bantuan Angga akhirnya mengalun di udara, bercerita tentang rasa yang selama ini gue pendam untuk Feby.

Gue nyanyi sepenuh hati, mata gue nggak lepas dari Feby. Setiap kata di lirik lagu itu adalah apa yang selama ini gue pengen dia tahu. Saat lagu berakhir, tepuk tangan memenuhi ruangan, tapi yang gue lihat cuma satu orang: Feby.

***

Saat ku tatap kedua matamu

Terasa hangat dalam hatiku

Mungkin... jantungku sempat terhenti

Hari berganti aku jalani

Semakin kurasa getaran ini

Aku... tak sanggup menahan lagi

Kau takkan sadar kau sangat indah

Kau takkan tahu kau sangat manis

Melihatmu... aku tergila-gila

Aku tahu ku t'lah jatuh cinta

Meski ku harus melawan egoku

Nyatakan cinta dan berharap kau milikku

Ku rela mengemis untuk mendapatkanmu

Karena ku tahu kau memang untukku

Jadilah kekasihku...

Jadilah kekasihku...

Tak peduli apa kata dunia

Hanya kamu yang ku inginkan selamanya

Kan ku perjuangkan hingga akhir cerita

Karna ku yakin kau lah takdirku

Meski ku harus melawan egoku

Nyatakan cinta dan berharap kau milikku

Ku rela mengemis untuk mendapatkanmu

Karena ku tahu kau memang untukku

Jadilah kekasihku...

Jadilah kekasihku...

Jadilah kekasihku...

Hanya kamu...

***

Setelah selesai menyanyi, gue letakkan mikrofon di tempatnya dan segera berjalan ke belakang panggung. Di sana, ada seikat buket bunga mawar merah yang udah disiapin Om Adi sesuai permintaan gue. Tangan gue sedikit gemetar waktu gue ambil buket itu, tapi gue tau nggak boleh ada keraguan lagi sekarang. Dengan langkah mantap, gue balik ke meja tempat Febi duduk.

Gue lihat dia masih kelihatan bingung sekaligus terharu. Wajahnya merona, dan senyumnya nggak pernah hilang dari tadi. Gue berhenti tepat di depan dia, berlutut pelan sambil menyodorkan buket bunga itu.

"Feb," suara gue pelan tapi penuh keyakinan, "maukah kamu jadi pacarku?"

Febi terdiam. Wajahnya jelas menunjukkan dia nggak nyangka gue bakal ngomong kayak gitu. Detik-detik rasanya berjalan lambat. Gue bisa merasakan jantung gue berdetak kencang. Tapi di momen itu, gue nggak mau dia ragu sama perasaan gue. Gue coba mengambil kedua tangannya dengan lembut, menggenggamnya di antara telapak tangan gue.

Mata gue menatap langsung ke matanya, dalam-dalam, mencoba menunjukkan semua yang gue rasain. "Aku serius, Feb," lanjut gue dengan suara sedikit bergetar, "kamu orang yang bikin hari-hari aku jadi lebih indah. Aku pengen bikin kamu bahagia, tiap hari."

"Feb, lihat kesungguhanku. Aku benar-benar suka sama kamu, Feb. Aku cinta kamu, Feb." 

Aku seakan-akan berbicara dari hati ke hati. Aku ingin benar-benar masuk ke dalam hatinya dan mengetahui apa yang sedang dia rasakan saat itu. 

"Feb?" 

Febi terlihat semakin salah tingkah. Dia banyak mengalihkan pandangannya ke tempat lain saat aku menatap matanya. Aku memegang tangannya semakin erat. Kulitnya terasa dingin, dan itu membuatku sedikit khawatir. 

"Feb?" sekali lagi aku panggil dia. 

Kali ini, dia berani membalas tatapanku. Aku melihat matanya yang bening, jernih, dan penuh makna. Lama kami saling tatap, namun akhirnya aku yang merasa malu dan memalingkan wajahku. 

"Terima, terima, terima..." Semua pengunjung di Cafe ikut berteriak mendukungku. Semangatku langsung terpompa. Aku kembali menatap matanya dalam-dalam, mencoba meyakinkan Feby bahwa aku benar-benar serius. 

"Aku..." 

"Iya, Feb?" 

"Aku gak bisa..."