webnovel

Retribution Part 2

"Elu yang namanya Bimo?" Gue langsung buka pembicaraan tanpa basa-basi.

Si cepak itu menatap gw dengan alis mengernyit. "Iya, gue Bimo. Siapa lu?"

Gue menatap dia tajam, lalu menjawab dengan nada dingin. "Oh... ada salam dari adek gue, Chika."

Sebelum dia sempat bereaksi, gue langsung banting gelas jus yang gue pegang ke kepalanya. Prang! Suara pecahan kaca itu menggema, dan Bimo langsung roboh dari kursinya. Darah mulai mengalir dari pelipisnya, tapi gue nggak peduli. Amarah gue udah di ujung tanduk.

Dua temennya yang duduk di sebelah Bimo langsung bangkit dan loncat ke arah gue. Gue tahu ini nggak akan mudah, tapi gue udah siap. Satu pukulan datang dari kanan, berhasil gue tangkis dan gue balas dengan hantaman ke ulu hatinya. Dia mundur sambil ngerintih kesakitan. Tapi yang dari kiri lebih cepat—pukulannya telak kena pipi gue. Kepala gue sempat terlempar ke samping, tapi gue nggak mundur. Gw balas dengan sikutan ke rusuknya, dan dia langsung terhuyung.

Sebelum situasi makin kacau, Angga dan Fahmi langsung maju bantuin gue. Fahmi fokus ke temen Bimo yang berbadan besar, sementara Angga berhadapan sama si botak yang keliatan lebih lincah. Gue, di sisi lain, nggak bisa lepas dari Bimo. Gue tarik dia keluar dari warung itu sambil nyeret kerah bajunya.

Di depan warung, gue jatuhin Bimo ke tanah. Tanpa nunggu lama, gue hujani dia dengan pukulan. Dia nggak sempat melawan, masih kesakitan akibat pecahan gelas tadi. "Lu pikir lu bisa seenaknya sama Chika, hah?!" teriak gue sambil terus ngeluarin semua emosi gue. Setiap pukulan gue pastiin kena, nggak ada yang sia-sia.

Tiba-tiba, dari arah parkiran, dua orang lagi muncul. Mereka keliatan temennya Bimo, dan langsung lari ke arah gue. Gue jelas nggak bisa lawan mereka bertiga sekaligus. Sebelum mereka sampai, Angga udah lebih dulu lari dan narik salah satu dari mereka. Sekarang lawan gue tinggal dua orang: Bimo yang udah hampir ambruk, dan satu lagi yang keliatan lebih segar.

Pukulan pertama dari si baru itu datang cepat, tapi gue berhasil ngelak. Pukulan kedua berhasil kena pundak gue, tapi gue tahan sakitnya. Gue balas dengan tendangan memutar ke kakinya, bikin dia kehilangan keseimbangan. Gue punya sedikit ruang buat ngasih pukulan terakhir ke Bimo, yang udah nggak berdaya di tanah. Gue tarik kerah bajunya lagi, lalu gue bisikkan di telinganya dengan nada penuh ancaman, "Ingat, kalau lu ganggu Chika lagi, gue nggak akan segan-segan bikin lu nggak bisa jalan seumur hidup."

"Lu pikir gue bakal diem aja? Gue bakal balas semua ini. Gue bakal perk*sa adek per*k lu."

Kata-kata itu keluar dari mulut Bimo dengan keangkuhan yang nyaris membuat gue hilang kendali. Tapi gue tahan, napas gue memburu, tangan gue mengepal, tapi gue tetap berdiri di tempat.

"Apa lu bilang?!" Gue tatap dia dengan mata tajam penuh amarah, tapi gue nggak langsung mukul dia. Gue tahu, cowok kayak dia butuh dapet panggungnya dulu.

"Bukan itu doang!" Dia berdiri meski masih sempoyongan, darah dari pelipisnya membekas di kemeja seragamnya. "Gue bakal ajak temen-temen abang gue datengin rumah lu. Abang gue itu preman kelas kakap! Dia nggak bakalan segan-segan perk*sa nyokap lu yang artis bokep Jepang itu. Terus elu dan bokap lu cuman bisa nonton sebelum gue bunuh lu pelan-pelan. Gimana? Seru, kan?"

Tawa sinis keluar dari mulutnya. Teman-temannya ikut cekikikan, seolah mendukung setiap ancaman busuk yang dia lontarkan.

"Lu!"

"Apa?! Berani apa lu, hah?!" Dia semakin sombong. "Percuma juga lu lapor polisi. Abang gue punya bekingan polisi! Nggak ada yang bisa nyentuh gue atau keluarga gue!"

Gue menatap dia, mencoba meredam gemuruh di kepala gue. "Bekingan polisi?" tanya gue, pura-pura penasaran. "Siapa, hah?"

Bimo menyeringai lebar, merasa menang. "Lu tahu Pak Cecep? Dia itu tangan kanannya Kapolres! Lu pikir lu siapa bisa lawan gue dan abang gue? Hah?!"

Gue terdiam, bukan karena takut, tapi lebih karena nggak percaya sama ocehan dia. Di mata gue, dia udah kayak badut sirkus yang bikin mual. Tapi Bimo salah paham. Dia ngira gue terintimidasi.

Muka dia berubah lebih galak, suaranya makin lantang. "MINGGIR lu sekarang! Mending lu siapin adek dan nyokap PER*K lu, dandanin mereka, tunggu gue dateng buat nyicipin mereka. HAHAHA..."

Gelak tawa Bimo pecah, diikuti temen-temennya yang masih sibuk mengolok temen-temen gue. Suasana di warung jus itu berubah jadi arena ejekan. Gue ngerasa waktu berjalan lambat, setiap kata dia berputar di kepala gue.

Tiba-tiba, suara ketawa lain muncul dari samping Bimo. Bukan dari temen-temennya. Bukan juga dari temen-temen gue. Tapi dari gue sendiri.

"HAHAHAHA!" Gue ngakak keras, seolah Bimo baru aja ngelontarin lelucon paling lucu yang pernah gue denger.

Bimo langsung berhenti ketawa. Muka dia berubah bingung, bahkan ada sedikit takut di matanya. "Anj*ng, jadi gila nih bocah, Bim!" kata salah satu temennya, yang juga berhenti ketawa.

Gue masih ketawa, tapi pelan-pelan gue berhenti. Napas gue berat, tapi tatapan gue berubah dingin. Gue maju selangkah, menatap dia lurus-lurus. "Bimo, lu tahu nggak kenapa gue ketawa?"

Dia nggak jawab. Muka sombongnya mulai luntur.

"Karena lu itu badut, bro. Lu sok jadi raja di dunia kecil lu, pake nama abang lu, pake nama bekingan polisi. Tapi gue kasih tahu ya, orang kayak lu cuma jadi pecundang di mata dunia."

Wajah Bimo makin memerah. "LU NGOMONG APA HAH?!"

"Dan satu lagi yang bikin lu badut..." Gue sengaja menggantung kalimat gue, sambil memberikan senyuman mengejek. Jari telunjuk gue mengarah ke warung jus, tepat ke arah seseorang yang sedang berdiri santai. "Lu tahu itu apa?"

Bimo, yang tadinya masih sok jago, menoleh dengan wajah penuh tanda tanya. Matanya langsung membelalak ketika dia melihat Adit berdiri di sana, melambaikan satu tangan dengan santai, sementara tangan lainnya menggenggam sebuah handycam.

***

Beberapa Jam Sebelumnya

"Gue langsung ke tongkrongan deh. Elu jelasin aja semuanya disana," ujar Adit di balik telepon.

"Eh Dit bentar. Elu bawa mobil aja gimana? Jemput kita dulu tar baliknya kalau ada apa-apa gampang."

"Gampang rek," jawab Adit santai.

"Sama satu lagi bawa handycam bisa?"

"Buat apaan?" tanya Adit, sedikit bingung.

"Pas gue gelut sama si bangke elu rekam deh. Gue yakin pasti ada hal seru."

***

"Nggak usah tegang gitu, bro. Nih gue lagi syuting debut akting lu. Udah keren kok, tinggal dikirim ke stasiun TV. Judulnya 'Badut Terciduk Ngancam Anak Orang'!" Ujar gue dengan nada yang mengejek sambil gue tendang Bimo sampai dia jatuh.

"ANJ*NG! Hapus itu sekarang juga!" Bimo langsung berusaha bangkit, meskipun tubuhnya masih oleng.

Gue menahan dia dengan satu tangan di pundaknya, memaksanya tetap duduk. "Eh, tenang dulu, bos. Belum selesai kok. Lu kan tadi bilang banyak hal menarik. Tentang adek gue, nyokap gue, abang lu yang preman, bahkan Pak Cecep yang katanya bekingan lu. Cakep banget buat dokumenter, nggak sih?"

Wajah Bimo langsung pucat. Dia mulai berkeringat, bahkan matanya sekarang nggak bisa fokus. "Lu nggak bakal berani ngirim video itu!"

Gue mendekatkan wajah gue ke dia, senyuman gue hilang, diganti tatapan dingin. "Berani nggak berani, bukan lu yang tentuin. Tapi kalau lu, abang lu, atau siapa pun dari lingkaran brengsek lu coba nyentuh keluarga gue lagi..." Gue berhenti sebentar, membiarkan kalimat itu menggantung di udara. "Gue pastiin lu, abang preman lu, dan si Pak Cecep gak bakalan hirup udara bebas dalam waktu lama."

"ANJ*NG! GUE BUNUH LU BANGS*T!" Teriakan Bimo itu mengundang perhatian warga sekitar.

Melihat situasi udah mulai gak mendukung, temen-temen Bimo menghampiri Bimo dan berusaha membawa Bimo pergi. "Bim, cabut Bim!"

"LEPASIN GUE TOL*L. GUE BUNUH ANJ*NG ITU! AWAS LU BANGS*T"

Gak lama setelah itu temen-temen Bimo berhasil mengendalikan Bimo dan membawa dia pergi. 

"Sekarang gimana Rek? Lu biarin aja si bangke itu pergi?" Tanya Angga melihat sosok Bimo dan teman-temannya pergi dengan motor mereka.

"Gila lu?! mana ada gue diemin aja. Ga liat lu matanya pas pergi tadi. Itu mata orang yang bener-bener gila. Rekaman videonya bisa jadi bukti besar, gue bakalan urus semuanya." Kata gue.

"Kerusakan di warung udah gue bayar," ujar Adit sambil menghampiri gue, Angga, dan Fahmi. "Lu gimana?"

"I'm okay, guys, tapi pundak gue kayaknya retak." Gue mencoba gerakin tangan, tapi rasa nyerinya nggak bisa dibohongin.

"Mau ke RS apa pulang?" tanya Angga sambil narik nafas panjang, jelas khawatir.

"Pulang aja," jawab gue santai, meski di dalam hati jelas kepikiran soal pundak gue yang makin sakit.

Fahmi nggak langsung setuju. "Lu yakin? Kalau beneran retak, bahaya, Rek. Jangan cuma sok kuat."

Adit ikutan nimbrung, "Iya, bro. Jangan main-main sama cidera kaya gini. Kita mampir RS bentar aja, buat mastiin."

Gue menatap mereka satu-satu, mencoba baca ekspresi mereka yang beneran khawatir. Akhirnya, gue ngalah. "Oke, RS bentar aja. Abis itu, gue pulang."

"Deal," kata Adit sambil ngebuka pintu mobil. "Ayo, naik dulu. Gue gas."

Akhirnya, setelah pengobatan singkat di RS, gue dianter pulang ke rumah. Sesampainya di depan pintu, gue udah bisa nebak bakal ada drama. Benar aja, begitu nyokap ngeliat gue babak belur, suara tinggi khas ibu-ibu langsung nyambar.

"Ini anak kenapa lagi?! Pulang-pulang muka babak belur gini!"

Gue cuma bisa senyum kecut sambil nyari-nyari jawaban, tapi sebelum gue sempet buka mulut, Angga dan Adit udah maju duluan.

"Tante, ini salah paham doang, kok," kata Angga dengan muka paling polos yang pernah gue liat. "Reka tadi jatuh pas bantuin orang mindahin barang."

Adit langsung nyamber. "Iya, Tante. Terus ada anak kecil hampir ketabrak sepeda. Reka tuh heroik banget, nyelametin dia. Eh, malah kepeleset terus kena trotoar."

Gue hampir ngakak denger mereka ngarang cerita, tapi gue tahan. Nyokap gue ngelihat mereka berdua dengan tatapan setengah percaya. "Hah, serius?"

Angga angguk penuh keyakinan. "Iya, Tante. Bener banget. Kalau nggak percaya, tanya aja sama kita."

"Reka, ini bener?" Nyokap sekarang beralih ke gue, tatapannya penuh curiga.

"Iya, Mah. Gitu deh," jawab gue singkat sambil nahan sakit di pundak.

Setelah ngeliat Angga dan Adit dengan ekspresi meyakinkan mereka, akhirnya nyokap gue nggak banyak protes lagi. "Yaudah, lain kali hati-hati, ya. Kalau sampe kenapa-kenapa, gimana coba?"

Gue cuma angguk kecil, tapi di dalam hati gue bersyukur punya dua sahabat yang siap pasang badan buat gue, meski dengan cerita paling absurd sekalipun. Haha, you're my man.