"Kenapa harus backstreet?" gumam gue pelan, suara gue hampir tenggelam dalam keheningan kelas yang masih sepi.
Tiba-tiba suara seseorang memecah lamunan gue. "Apanya yang backstreet?"
Gue kaget. Mata gue langsung terbuka, tapi sinar matahari pagi yang menembus jendela kelas menyerang tepat ke muka gue. Gue reflek nutupin mata dengan tangan sambil mencoba menyesuaikan pandangan gue yang masih kabur. Setelah beberapa detik, penglihatan gue mulai jelas lagi, dan... wajah itu ada tepat di atas gue. Deket banget.
"Nad?" Gue meyakinkan.
"Iya, lu mimpi apa barusan, ya?" tanya Nadya, wajahnya mendekat, kelihatan penasaran banget.
"Eh, nggak. Gue cuman tiduran bentar doang," jawab gue. Gue langsung bangun dari posisi gue yang semula setengah rebahan di meja. Muka gue mungkin udah merah karena kepergok tidur bahkan sampai ngigo. Nadya cuman berdiri didepan gue melipat tangan di dada, kayak nunggu gue cerita lebih banyak.
"Yakin lu nggak mimpi? Soalnya tadi lu komat-kamit sendiri sambil bilang 'backstreet' segala," ujar Nadya kayak seorang polisi lagi interogasi penjahat.
"Eh, lu udah lama ya?" Gue coba alihin pembicaraan sambil merapikan posisi duduk gue. Nadya nggak langsung jawab, dia cuma melipat tangan di dada dan ngelihatin gue dengan tatapan yang penuh kecurigaan.
"Backstreet sama siapa?" Nadya nanya lagi, kali ini nada suaranya lebih tajam, jelas nggak mau ngebiarin gue lolos begitu aja.
"Eh, tadi gue ileran nggak?" Gue berusaha mengelak dengan pertanyaan konyol, berharap Nadya bakal berhenti kepo.
"Nggak. Tadi lu..." Nadya mulai menjawab, tapi gue buru-buru motong sebelum dia sempat melanjutkan.
"Oh ya? Ya udah, kalo emang gitu, yuk mulai aja belajarnya. Keburu anak-anak pada dateng, nanti malah gue nggak bisa konsen belajar." Gue langsung ambil buku pelajaran dari tas, berharap dia bakal nurut dan nggak lanjut interogasi.
Selama setengah jam ke depan, Nadya sibuk ngajarin gue materi Biologi. Dia ngejelasin ini itu dengan penuh semangat, pake diagram dan tulisan di buku yang dia bawa. Tapi, sejujurnya otak gue nggak terlalu nyantol sama apa yang dia omongin. Bukan karena dia nggak pintar jelasin, tapi karena gue malah sibuk memperhatikan wajahnya.
Wajah Nadya keliatan serius banget pas lagi tutorin gue. Matanya yang fokus, cara dia ngegerak-gerakin tangan buat nunjukin penjelasannya, bahkan sesekali rambutnya jatuh ke wajah dan dia reflek nyelipin ke belakang telinga. Semua itu malah bikin gue nggak konsen sama sekali. Lama-lama dia nyadar kalo dari tadi gue cuma bengong ngeliatin dia.
Awalnya, Nadya cuma diem aja, mungkin mikir gue lagi fokus ke pelajaran. Tapi makin lama, dia mulai keliatan risih. Gerak-geriknya berubah, lebih gelisah. Dia berhenti sejenak, terus melirik gue. "Reka... lu sebenernya dengerin gue nggak, sih?" tanyanya dengan nada curiga, tapi ada juga nada bingung di suaranya.
Gue cuma nyengir. "Eh, iya, denger kok. Gue serius, Nad." Tapi senyum gue terlalu lebar buat meyakinkan dia.
"Serius?" Nadya nyipitkan matanya, tatapannya kayak mau nembus pikiran gue. "Kalo lu serius, coba sekarang ulangi yang barusan gue jelasin."
Gue langsung panik. "Ehh... tadi soal... apa ya? Oh, iya, soal fungsi mitokondria, kan?"
Dia ngelipat tangan di dada, ekspresinya udah kayak dosen killer yang tau mahasiswanya nggak belajar. "Tadi gue lagi jelasin soal sistem pernapasan, Reka."
Gue cuma ketawa kecil, "Yah itu maksudnya, beda dikit, Nad. Maaf, maaf."
"Beda jauh tauk!", Nadya cuma geleng-geleng kepala, tapi gue bisa liat wajahnya mulai memerah. Mungkin dia nyadar kalo dari tadi gue emang lebih sering ngeliatin dia daripada dengerin.
Gue ketawa kecil, ngerasa sedikit menang karena akhirnya Nadya yang jadi salah tingkah. Wajahnya merah banget, kayak apel matang yang baru dipetik.
"Kenapa sih? Ada yang salah ya sama muka gue? Dari tadi lu liatin gue terus," tanyanya sambil nutupin sebagian wajahnya pake tangan. Suaranya terdengar setengah protes, tapi gue tau dia berusaha tetap santai.
"Hahaha, sorry-sorry," jawab gue sambil nyengir lebar. Gue nggak bisa nahan diri buat nggak ketawa liat ekspresi dia yang jelas-jelas malu. Gue tahu Nadya jarang banget kayak gini, dan itu bikin momen ini makin lucu buat gue.
"Apaan sih lu, Reka? Kalo nggak mau belajar, bilang aja. Jangan malah bikin gue risih," katanya sambil balikin pandangannya ke buku di depannya. Tapi tangannya yang sibuk mainin ujung kertas itu jelas nunjukin dia lagi gugup.
Gue cuma geleng-geleng kepala, masih senyum-senyum sendiri. "Nggak ada apa-apa, Nad. Gue cuma mikir aja, lu serius banget tutorin gue. Gue jadi terharu," kata gue dengan nada bercanda, biar suasana nggak terlalu tegang.
Dia melirik gue dengan tatapan skeptis. "Iya kan? Terus lu malah nggak dengerin. Bener-bener deh lu." Nadya akhirnya ketawa kecil, tapi mukanya masih merah.
"Haha, maaf-maaf. Ayo, kita lanjutin. Kali ini gue janji fokus," jawab gue sambil pura-pura pasang muka serius. Padahal, di dalam hati gue masih ketawa liat dia yang malu-malu gitu.
"Nih, lu aja yang belajar pegang dulu catatan gue. Isinya sama kaya yang gue bilang tadi. Nanti balikin sebelum pelajaran Biologi dimulai," ujar Nadya sambil menyerahkan buku catatan dengan tulisan yang rapi dan jelas.
Gue ambil catatan itu dan mulai melihat-lihat isinya. Tulisan Nadya memang rapih banget, tapi ada satu hal yang langsung nyangkut di kepala gue.
"Lu kidal?" tanya gue dengan penasaran.
"Iya, emang kenapa?" Nadya balik bertanya, sedikit heran dengan pertanyaan gue.
"Gw liat tulisan lu tintanya kegeser," jawab gue sambil menunjukkan bagian catatan yang sedikit berantakan karena tintanya nggak presisi.
Nadya mengerutkan dahi, memeriksa catatan itu dengan serius. "Detail banget lu," katanya sambil mengangkat satu alis.
"Haha, iya lah. Emang sudah bakatnya jadi detektif," gue meledek dengan santai, tapi dalam hati gue juga kagum sama tulisan rapi yang dia punya.
Karena jam pelajaran pertama masih belum berbunyi, gue mengambil kesempatan untuk mereview buku catatan Nadya sambil sesekali bertanya dan mengajaknya ngobrol. Ada sesuatu yang gue lewatkan selama ini—sesuatu yang belum gue ketahui. Ternyata, ngobrol sama orang seperti Nadya itu asik. Awalnya gue pikir dia cuma cewek yang over serius dan nggak bisa bercanda, tapi ternyata selera humor kita cukup mirip. Candaan garing gue dia sambut dengan tawanya yang hangat. Sejenak, gue melupakan semua masalah yang ada.
Satu persatu kursi di kelas mulai terisi seiring dengan kedatangan teman-teman sekelas gue. Saat itu, gue tengah asik-asiknya tertawa mendengar pernyataan lucu dari Nadya. Tiba-tiba, dia berhenti, melirik ke arah lain dengan tatapan yang berbeda.
"Ngeliatin siapa, Nad?" tanya gue sambil ikut melihat ke arah pandangannya.
Sejenak, jantung gue berhenti berdetak, dan kemudian berdetak dengan frekuensi yang sangat cepat. Nadya melambaikan tangannya ke arah orang itu dan menyapanya.
"Hai, Feb,"
***
Sepanjang pelajaran, gue ngerasa gak enak banget sama Febi. Rasanya kayak gue lakuin sesuatu yang salah, bicara begitu dekat sama cewek lain padahal gue adalah pacar Febi. Tatapan gue seringkali tersesat pada buku biologi gue, disana ada gambar sistem pernapasan manusia, tapi yang gue lihat adalah bayangan wajah Febi yang terlihat murung.
Biasanya, Febi adalah siswa yang penuh semangat dan rajin memperhatikan kelas. Dia selalu duduk dengan sikap yang serius, mencatat setiap penjelasan, dan sesekali melontarkan pertanyaan ke guru kalau dia merasa belum terlalu paham. Tapi, kali ini berbeda. Febi cuman diam, coret-coret buku tulisnya gak benar-benar memperhatikan pelajaran yang guru jelaskan.
Gue tahu bahwa gue yang lukai perasaannya, dan itu membuat gue ngerasa sangat jahat saat itu. Setelah pelajaran berakhir, gue memutuskan untuk mencari Feby. Sore ini, gue harus menjelaskan semuanya—menjelaskan apa yang sebenernya terjadi antara gue dan Nadya.
***
Gue masih duduk di bangku kelas, tepatnya di dekat pintu. Di dalam kelas cuma tersisa beberapa orang yang masih sibuk dengan urusannya masing-masing. Tapi perhatian gue cuma ke satu orang—Febi. Gue tahu dia lagi nggak baik-baik aja, dan gue nggak bakal biarin ini berlalu tanpa gue jelasin.
Febi akhirnya selesai dengan barang-barangnya, dia mulai melangkah keluar. Gue langsung bangkit, mencoba menghentikannya.
"Feb, tunggu dulu," panggil gue sambil mendekatinya.
Dia berhenti, tapi nggak langsung ngadep ke gue. Suaranya terdengar datar, dingin, tapi dengan nada yang nggak bisa menyembunyikan rasa kesalnya. "Apa?"
Gue mengumpulkan keberanian, mencoba memilih kata-kata dengan hati-hati. "Aku perlu bicara tentang tadi pagi."
Febi akhirnya menoleh ke gue, tapi dengan senyum yang jelas dibuat-buat. Matanya nggak memancarkan kehangatan seperti biasanya. "Bicara tentang apa? Nadya?"
Dia mengangkat alis, senyumnya masih dipertahankan. Dengan nada suaranya terlalu datar seolah berusaha kelihatan santai, "Gue nggak marah kok."
Gue tahu dia nggak jujur. Senyum itu nggak bisa menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya. Bahkan cara dia manggil juga berubah lagi menjadi 'elu-gue'. Mata gue menatap dia, mencoba menunjukan keseriusan omongan gue, "Feb, aku tahu kamu nggak suka. Kita nggak bisa pura-pura nggak ada apa-apa gini."
Mata Febi melotot kearah gue, sebelum akhirnya dia mendekati gue. Dengan suara yang berbisik dia katakan, "Aku udah bilang kan aku mau hubungan kita jadi rahasia dulu"
"Ok... sorry tapi aku mau jelasin dulu"
"Aku?!"
"Maksud gue, gue mau ngomong..." Belum selesai gue ngomong, Febi udah melangkah cepat keluar kelas, ninggalin gue sendirian. Tapi gue sama sekali nggak ngejar Febi. Karena ada seseorang yang menghalangi jalan Febi untuk keluar kelas. Dan seseorang itu adalah Nadya.
"Feb, lu pulang sendiri kan? Lu nggak keberatankan kalau pulang bareng gue? Gue ada perlu sama lu," suara Nadya memecah keheningan, nadanya terdengar santai tapi ada sesuatu di balik kata-katanya yang bikin gue semakin bingung.
"Nad?" Gue akhirnya bersuara, bingung ngeliat dia berdiri di depan pintu, matanya menatap tajam ke arah Febi dengan serius.
Febi berhenti di ambang pintu, menoleh sebentar ke arah Nadya, lalu ke arah gue. Gue bisa ngeliat jelas perubahan di wajah Febi—dari bingung jadi marah. Tapi dia nggak bilang apa-apa. Nadya melangkah mendekat ke Febi, dan mereka saling bertukar tatap.
Gue nggak tahu apa yang mereka pikirkan, tapi ada sesuatu di mata Nadya yang kayaknya nyampein pesan tanpa kata-kata. Tatapan itu juga nyampe ke gue—seakan dia bilang, 'Udah, tenang aja, gw yang bakal beresin semuanya.'
Gue akhirnya menggaruk kepala, tahu apa yang harus gue lakukan. "Ehhmm… kayanya ini urusan cewek ya? Girls talk? Gue duluan aja, ya," kata gue sambil melangkah ke luar kelas, berusaha kasih mereka ruang.
Tapi sebelum pergi, gue sempat ngeliat Nadya mengangguk kecil ke arah gue. Gue tahu dia ngerti maksud gue, dan gue cuma bisa berharap—'tolong ya Nad, bantuin gw sekali lagi. Gue beneran butuh itu sekarang.'