webnovel

Kill This Love

Menjadi remaja yang kuat, apa bisa? Orang tua yang bercerai, anggota keluarga yang berpencar, dan mencari penghasilan sendiri? Apakah ada yang lebih buruk dari menjadi seorang Melani. Cinta? Hal yang tidak pernah Melani percaya, kalau pun hal itu ada... Baginya kehidupan seperti itu tidak akan bisa berjalan dengan baik dan benar. Jika saja dia memiliki uang, mungkin Melani tidak perlu merasa menderita saat ini. Bagaimana dengan teman sekelilingnya, apakah mereka lebih baik dari Melani? Kisah remaja yang penuh dengan intrik, mencari jati diri dalam arti hidup yang sebenarnya.

Sita_eh · 青春言情
分數不夠
184 Chs

Kelabu

Melani baru saja mencuci peralatan makannya, menutup air keran dan tatapannya sering kali melihat kearah ponselnya sendiri yang ia letakkan pada rak piring.

"Iya Ka Rangga, Lani paham maksud Kaka. Tapi seharusnya kakak kan bisa bicarakan ini dulu sama Lani. Kenapa tiba-tiba saja kakak udah ke Yogya, terus bawa Adit juga lagi." Keluh Melani kesal, sambil ia melepaskan tali celemek tersemat pada lehernya.

Melani membersihkan tangannya dengan lap bersih yang ia temukan diatas meja, mengambil ponselnya dan kembali ia menempelkan ponsel tersebut pada telinganya.

"Ayah belum pulang dari semalam, dan Lani gak bisa hubungi ayah. Lani jadi khawatir sama ayah, Kak Rangga sudah coba telepon ayah?" Tanya Lani dan duduk pada kursi makan, satu tangannya memegangi pelipisnya dengan erat.

"Kamu enggak perlu pusing pikirin soal ayah, ayah sudah besar. Yang jelas kakak sangat kecewa sama bunda dan ayah, karena mereka sudah keterlaluan kemarin. Bisa-bisanya mereka bertengkar hebat didepan Adit!" Rangga berucap lantang, merasa kesal jika harus mengingat kejadian semalam.

"Kamu pasti ingat kan Lani? Adit bisa seperti ini karena siapa? Karena ulah ayah dan bunda kan! Karena itu lebih baik kakak bawa Adit ke Yogya. Bude sudah tahu mengenai masalah ini, jadi bude pun lebih setuju jika Adit berada dengan Bude untuk sementara ini," lanjut Rangga menjelaskan.

"Kak..." Intonasi suara Melani menjadi lebih pelan bahkan terdengar sedih, karena memang saat itu kedua matanya mulai berkaca-kaca. "Maafin Lani ya kak, karena ucapan Lani ayah dan bunda jadi benar-benar berpisah."

"Lani... kamu jangan berkata seperti itu. Maafin kakak juga karena sempat marah sama kamu, padahal selama ini kamu yang ada di rumah. Pasti rasanya sangat sulit, karena selalu melihat kedua orangtua kita selalu bertengkar." Rangga menarik napasnya, ada rasa penyesalan yang ia rasakan pada adiknya Melani.

Isak tangis Melani tiba-tiba muncul, ia sudah tidak tahan untuk menahannya sedari tadi. Entah apa yang terjadi dengan perasaan Melani saat itu, karena kesedihan itu sudah semakin besar dan membuat lubang yang dalam pada hatinya.

Sedikit lega ketika Melani bisa mencurahkan perasaannya pada Rangga, berbagai nasehat yang ia terima dari Rangga sudah mampu membuat Melani menjadi lebih kuat dan tegar.

Fani sebenarnya sudah mendengar percakapan antara kedua kakaknya, ia pun merasakan kesedihan dan air mata yang tidak bisa dibohongi adalah bukti kalau hatinya saat itu merasa sangat hancur.

Disaat Mentari sudah bisa menenangkan dirinya, Fany masuk kedalam ruang makan dengan ekspresi wajah yang normal, seolah ia tidak mengetahui percakapan antara kedua kakaknya.

"Fani? Kami udah mau berangkat sekolah, eh... sebentar." Melani sedikit kikuk. Membalikkan tubuhnya dengan cepat seraya ia menyeka matanya, memastikan tidak ada air mata yang tertinggal pada pipinya. Ia pun mengeluarkan sesuatu dari dalam saku bajunya, sebuah amplop kecil yang ia lipat menjadi dua bagian.

"Kakak lagi ijin hari ini, ada yang mau kakak urus. Kamu berangkat sendiri ya? Naik ojeg aja, jangan naik angkutan biar cepat. Terus ini kakak ada uang jajan buat kami, tadinya kakak mau ajak kamu belanja beli baju. Tapi... kayanya hari ini enggak bisa deh." Ucap Melani meraih tangan adiknya, dan memberikan amplop yang berisikan uang yang cukup banyak.

Pandangan Fani menatap amplop yang ada di telapak tangannya, sesaat dia hanya terdiam dan tidak menunjukkan rasa senang. Namun setelah dia melihat wajah Melani yang terus saja tersenyum kepadanya, akhirnya Fani menyeringai tipis.

"Terima kasih Ka Lani. Tapi... memangnya kakak lagi pegang uang?" tanyanya dengan lesu.

"Jangan khawatir, kemarin kakak sudah terima uang dari hasil kakak mengajar jadi kamu tidak perlu cemas ya. Kalau kamu tidak mau belanja, anggap aja ini uang jajan kamu." Ucap Melani dan menggenggam tangan Fani yang sedang memegangi amplop putih yang baru saja diberikan.

"Terserah kamu saja... mau diapakan. Yang penting jangan beli yang aneh-aneh yang buat kamu dalam masalah. Kamu paham kan maksud Kaka?" tanya Melani.

"Iya kak Lani, aku paham kok. Terima kasih ya." Jawab Fani dengan senyum tipisnya.

"Oh ya kak. Kayaknya malam ini Fani mau nginap di rumah teman. Di rumahnya Dinda, ada kerja kelompok yang harus kami selesaikan. Tidak apa-apa kan kalau Fani menginap?" tanya Fani, dan memberikan tatapan memohon kepada Melani.

Melani sepertinya bimbang, apakah dia bisa mengijinkan adiknya untuk menginap di rumah temannya?

Tapi mengingat kejadian belakangan ini, membuat Melanie memutuskan mungkin akan lebih baik jika Fani bersama dengan teman-temannya untuk sementara. Sambil dia mencari keberadaan ayahnya hari ini.

"Ya sudah kalau begitu yang penting kamu kabarin kakak ya. Kalau ada sesuatu dan kalau menginap di rumah orang jangan tidur malam-malam," ucap Melani memberikan izin dan juga nasihat kepada adik tercintanya.

Melani mengantar kepergian Fani hingga pintu keluar rumah, melihat Fani yang sudah memesan layanan ojek online sebelumnya. Lambaian tangan keduanya menandaka, bahwa Melani kembali dalam kesendirian di rumahnya.

Melanie juga tidak mungkin berdiam diri saja di rumah, saat itu dia sudah mengenakan pakaian kasualnya dan memutuskan untuk tidak masuk sekolah. Karena dia ingin tahu keberadaan ayahnya yang belum pulang, namun disaat Melani sudah segera meninggalkan rumah. Tiba-tiba suara pemberitahuan pada ponsel membuat Melani menghentikan langkah kakinya, dan ada sebuah pesan yang baru saja masuk.

**Pesan dari Rika:

Good job Lani... Gue sudah dengar ceritanya dari Weni. Hebat banget sih elo. oh ya btw Weni mau ketemu lagi hari ini. Lo ada waktu kan hari ini di sekolah?

Melani mengernyitkan keningnya dengan perasaan tidak suka, bukankah sudah berkali-kali dia memperingati Rika agar tidak terlalu sering berkomunikasi dengannya.

Suara pesan masuk kembali terdengar, membuat kening Melani semakin mengernyit tak senang.

**Pesan dari Rika:

Ayo Lani, jangan bilang enggak ya. Soalnya Weni ini nekad banget mau ketemu sama kamu, dan dia pengen banget ketemuan. Kalau pun elo tolak, dia bakalan datang sendiri ke sekolah.

"Hah..." Dengus Melani kesal. "Susah sekali untuk lepas dari mereka, ya sudah kalau begitu besok aku harus pertegas kembali dengan mereka."

Melani mulai mengetikkan sesuatu:

Sekarang gue lagi engga masuk sekolah, kalau mau besok ditempat biasa dan itu sepulang sekolah.

Ketik Melani cepat pada layar ponselnya. Dan setelah mengirimkan pesan tersebut, ia pun segera saja bergegas keluar rumah agar bisa mencari keberadaan ayahnya.

Sebenarnya Melani tidak tahu kemana dia harus mencari ayahnya, bahkan berkali-kali ia menghubungi ayahnya tidak ada jawaban sama sekali. Melani hanya bisa mengandalkan instingnya, dan berharap bisa menemukan ayahnya dengan cepat.

Entah mengapa, saat ini perasaan Melani menjadi tidak nyaman. Dan rasanya ia seperti mendapatkan firasat buruk, ketika ia memikirkan ayahnya yang menghilang begitu saja.