POV : Lidya
Meskipun panik gara-gara Jai dan konco-konconya missing in action hari ini, aku tetap pergi ke kampus sore hari itu.
Aku berdandan seadanya, mengenakan dress yang tidak terlalu lebay namun juga tidak malu-maluin. Tidak lupa juga aku membawa topeng yang sudah kami buat bersama khusus untuk malam hari ini. Aku mematut diriku sendiri di depan cermin, mempertanyakan kepada diriku sendiri apakah aku sanggap menyelesaikan misiku ini, kali ini dalam waktu yang sangat singkat? Tadi, sembari terus mencari keberadaan Jai, aku terus memikirkan bagaimana caranya untuk menyelesaikan semua ini secepatnya dan membebaskan Lisa, yang saat ini entah berada dimana. Salah satu ide yang terlintas di pikiranku adalah memberitahukan semuanya kepada Calvin, semua tentang masa lalunya dan tentang keluarganya, lalu memaksanya membawaku ke depan orangtuanya untuk kutanyai kebenarannya. Kalau aku melakukan itu, bisa kujamin keseluruhan benang kusut ini selesai. Aku menyelesaikan misiku dan akhirnya bebas.
Di saat sedang memikirkan apa yang harus kulakukan, tahu-tahu saja aku sudah berada di lingkungan kampus. Calvin dan teman-temannya yang lain sudah berkumpul dan aku yang terakhir menyusuli mereka semua. Saat mereka mempertanyakan dimana Lisa, aku berbohong dan mengatakan bahwa Lisa menghubungiku dan mengatakan bahwa dia sedang tidak enak badan. Supaya mereka lebih percaya, aku bahkan mengatakan bahwa Lisa sedang datang bulan hari pertama. Alasan yang sempurna, karena semua orang langsung manggut-manggut dengan wajah pengertian.
Atau tidak juga. Saat mendengarku, Calvin malah terus-terusan menatapku dengan pandangan tertarik. Sial, kuharap dia tidak merasa ada yang aneh denganku.
Kami semua pergi ke kantin untuk makan sedikit dulu sebelum bergabung ke acara. Namun, tidak lama setelah selesai makan, King mendadak tampak pucat pasi seperti orang keracunan. Melihat kondisinya yang tidak mungkin bisa mengikuti acara, dan memang King sendiri tidak hobi acara Halloween, kami mengusulkan agar dia beristirahat ke klinik. King sendiri langsung setuju dan Kei menawarkan diri untuk membawanya.
Kini tersisa Queen, Calvin, dan aku. Kabarnya mereka harus ke kelas mereka yang berada di lantai empat untuk absensi dulu, jadi aku mengikuti mereka. Saat kami sedang menaiki tangga, Calvin terus menerus melihat ke bawah gedung, seolah-olah ada yang aneh.
"Kenapa, Vin?" tanyaku.
Calvin menoleh kepadaku. "Kok rasanya hari ini rame banget ya? Rasanya kayak bener-bener semua murid di kampus ini pada dateng, gitu."
Queen mengangkat bahu. "Wajar kok kalo rame kayak gini," katanya. "Ini acara kan udah dipromosiin gede-gedean. Dan kata King, mereka ada ngundang para alumni juga yang pengen ikutan. Makanya jadi rame kayak kawanan semut begini."
Setelah itu, Queen terus berjalan menuju ruangan kelas mereka, sementara Calvin masih tampak memikirkan soal keramaian di bawah itu.
Saat kami sudah berada di ruang kelas mereka, Kei menitipkan pesan untuk mengurus absensinya juga, lantaran dia harus ke mobilnya untuk mengambil dompetnya yang ketinggalan. Calvin dan Queen mengiyakannya. Setelah absen, Queen bilang dia harus ke toilet. Aku ingin mendampinginya, tapi aku tahu dia bukan tipe cewek yang perlu ditemani hanya untuk ke toilet.
Situasi yang lucu. Entah bagaimana caranya, saat ini hanya tersisa aku dan Calvin berdua saja.
Aku memandangi keadaan sekeliling. Yah, kalau dilihat-lihat, pertimbangan Calvin waktu itu memang tidak salah. Situasi kampus saat ini ramai banget, semua orang menggunakan topeng yang tidak terlalu berbeda. Secara umum, memang sulit membedakan seseorang dengan yang lainnya. Orang-orang yang tidak berniat baik bisa dengan mudah menyusup ke acara ini tanpa diketahui siapapun. Ditambah lagi, saat ini suara musik EDM yang memekakkan telinga terdengar dimana-mana, membuatku merasa ada di konser dibandingkan di lingkungan sekolah.
"Kamu kenapa?" tanya Calvin sambil menempatkan diri di sampingku. "Kok kayaknya lagi murung hari ini?"
Tuh kan. Sudah kuduga Calvin akan menyadari ada yang aneh denganku hari ini.
Aku menggeleng dan berusaha tersenyum. "Aku lagi pakai topeng, Calvin. Emang kamu bisa lihat ekspresiku?"
Meskipun tidak bisa melihat wajahnya, aku bisa menebak cowok itu sedang tersenyum jail. "Kan aku pintar."
Aku memaksakan tawa sedikit. "Aku nggak apa-apa. Thank you. Lagi capek aja. Mungkin karena kerjaan."
Calvin mengangguk-angguk mendengarnya. Saat dia membuka mulut untuk menjawabku, tiba-tiba terdengar suara statis yang mengedar dari seluruh loudspeaker yang terpasang di kampus ini, membuat semua orang, termasuk aku dan Calvin, menutupi telinga kami. Suara itu berlangsung selama kurang lebih sepuluh detik sebelum akhirnya semua speaker mati total. Bukan hanya speaker, melainkan juga semua listrik. Semua lampu yang ada di setiap ruangan mati, berikut juga benda-benda elektronik lainnya. Kerumunan mulai memprotes lantaran mengira ini adalah kesalahan teknis dari bagian panitia acara, namun hal yang terjadi berikutnya mengagetkan kami semua.
Kami mendengar suara ledakan yang sangat keras dari gedung A yang berada di depan gedung tempat kami sekarang berdiri, disusul dengan kepulan asap hitam yang mengudara. Tidak lama setelah itu, lift yang berada di belakangku meledak, menimbulkan hawa panas yang terasa membakar dan dengungan yang bisa membuat telingaku tuli. Untung saja, Calvin segera menangkapku dan menerobos ke sebuah ruangan kelas yang sudah kosong dengan kecepatan tinggi, bersembunyi dari api ledakan itu.
Selama beberapa saat, rasanya aku kehilangan kesadaranku. Saat aku membuka mata, aku melihat puluhan pasang kaki yang sedang berlari dan menyelamatkan diri masing-masing. Aku berbalik dan memperhatikan keadaan Calvin. Meskipun dia juga sama sempat kehilangan orientasinya, kelihatannya dia juga baik-baik saja.
"Calvin," panggilku. "Calvin, kamu nggak apa-apa?"
Calvin mengangguk sambil memegangi kepalanya. "Iya, aku aman-aman aja. Kamu?"
Aku juga mengangguk, pertanda aku baik-baik saja.
"Apa-apaan ini? Masa kampus kita baru aja dibom? Emangnya kita lagi Perang Dunia Ketiga apa?"
Aku tidak menjawab. Terutama karena aku punya firasat besar bahwa ini ada hubungannya dengan Jai. Kalau memang begitu, semuanya menjadi gawat. Orang-orang bisa terluka hanya gara-gara dendam antara keluarga kami. Aku harus cepat-cepat memberitahu Calvin yang sebenarnya, supaya dia tahu apa yang sedang terjadi. "Calvin, aku harus kasih tahu kamu sesuatu."
"Queen. Kita harus selamatin Queen. Dia kan tadi masih di toilet!" seru Calvin, memotong kata-kataku yang sepertinya tidak dia dengar di antara hiruk-pikuk ini.
Oh iya. Aku lupa pada Queen. "Oke," sahutku tanpa pikir panjang. Begini-begini, Queen adalah orang yang benar-benar kuanggap sebagai teman. Kalau sesuatu terjadinya karena aku, aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri.
Di saat kami keluar dari ruangan kelas itu, kerumunan sudah menjadi kekacauan yang tidak terkendali. Orang-orang berlarian dengan panik, bahkan tidak sedikit dari mereka yang terjatuh karena saling menabrak. Aku dan Calvin segera berlari ke toilet yang Queen masuki tadi. Meskipun keadaan sedang genting, Calvin tetap bersikap sopan dengan menungguku di luar.
"Queenie! Queen. Kita harus cabut sekarang!" teriakku.
Aku membuka setiap bilik yang ada di toilet itu, tapi tidak menemukan siapa-siapa. Aneh. Kenapa Queenie bisa menghilang begitu saja?
Aku keluar dari toilet itu dengan tangan kosong, membuat Calvin tampak keheranan. "Mana tuh anak?"
Aku menggeleng. "Nggak ada. Kayak dia ngilang gitu aja."
Wajah Calvin tampak shock. "Kok bisa?" Kali ini, dia tidak peduli lagi dan langsung masuk ke dalam toilet cewek itu tanpa permisi. Tak lama kemudian, dia keluar dengan wajah yang semakin heran. "Jelas-jelas tadi dia masuk ke toilet ini, kan?"
"Apa mungkin dia udah kabur setelah denger ledakan tadi?"
Calvin mengangguk. "Masuk akal. Kamu coba hubungi dia. Aku coba hubungi King dan Kei. Kita harus segera cabut dari sini."
Kami berdua langsung meraih ponsel kami dan sama-sama mengumpat di saat kami melihat ponsel kami tidak memiliki sinyal sama sekali.
"Sial," keluh Calvin.
Ya, benar. Sial banget. Apalagi karena aku semakin merasa Jai yang menyebabkan kericuhan ini.
"Calvin, ada yang harus aku omongin," ucapku dengan nada serius. Mendengar nada bicaraku yang berbeda dari biasanya, ditambah lagi situasi yang genting ini, Calvin menatapku dengan wajah kebingungan.
"Ada apa?"
"Ini…" Aku benar-benar tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya. "Aku mungkin tahu siapa penyebab kekacauan ini. Dan bukan cuma aku. Kamu juga tahu orangnya."
Calvin mendekatiku dengan ekspresi yang semakin kebingungan. "Apa maksud kamu, Lid? Siapa yang kamu bicarakan? Siapa orang yang kita kenal yang sanggup bikin hal gila kayak gini?"
"Kamu mungkin lupa sama dia, karena kamu pernah hilang ingatan. Tapi dia masih ingat sama kamu. Dia minta aku bantuin dia buat balas dendam, tapi aku nggak mau pakai cara kekerasan kayak gini. Tapi aku nggak nyangka dia bakal bohong sama aku dan melukai orang-orang yang nggak ada hubungannya sama kita." Suaraku serak saat aku mulai menjelaskan semuanya, meskipun aku yakin sekarang Calvin benar-benar tidak paham maksudku, apalagi aku menjelaskannya dengan sepotong-sepotong seperti ini.
"Apa maksud kamu? Siapa "dia"?
"Dia Jai. Dia kakakku. Dia orang yang udah pernah berurusan sama kamu waktu kamu SMA dulu. Dia orang yang bikin kamu hilang ingatan."
Wajah Calvin tampak shock. "Hah?"
Aku meremas kedua bahunya meskipun dia lebih tinggi dibandingkan denganku. "Kamu harus dengerin aku, Calvin. Aku tahu apa yang keluar dari mulut aku sekarang sangat membingungkan, tapi kita harus cepet-cepet cari teman-teman kita keluar dari sini. Setelah itu, kita harus cari Lisa sama-sama. Aku bener-bener nggak tahu apa yang Jai bisa lakuin sama kita kalau dia udah kelewat batas kayak gini!"
"Lisa? Maksud kamu, Lisa ada di tangan orang yang kamu bilang itu?"
Aku mengangguk sambil menatapnya dalam. "Iya," jawabku. "Dan kita bakal cari dia sama-sama, segera setelah kita keluar dari tempat ini. Oke? Please, Calvin. Aku nggak mau ada yang terluka gara-gara aku."
Meskipun kata-kataku tidak masuk akal sama sekali, Calvin bersedia mendengarkanku. Aku yakin dia juga mengerti bahwa prioritas utama kami sekarang adalah menyelamatkan diri kami dan teman-teman kami terlebih dahulu. Sisanya akan dibahas belakangan.
Saat kami baru melangkah, terdengar lagi suara statis dari speaker, sementara keramaian tadi mulai menyepi. Sepertinya semua orang sudah keluar dari lingkungan kampus ini, menyisakan aku dan Calvin berdua.
"Halo, Calvin."
Terdengar suara laki-laki dari speaker tersebut. Aku meremas tanganku dengan kesal. Ternyata aku benar. Ini semua adalah perbuatan Jai.
"Lama nggak ketemu. Sepertinya lo benar-benar hilang ingatan ya?" Suara Jai terdengar ramah, namun kita semua tahu bahwa keramahan ini hanyalah topeng untuk menyembunyikan niat jahatnya. "Awalnya gue masih kurang percaya, tapi kalau dilihat dari ekspresi goblok yang ada di wajah lo sekarang, sepertinya lo bukan cuma pura-pura amnesia selama ini."
"Yah, berarti lo emang beruntung. Lo nggak perlu mengingat semua yang udah terjadi tiga tahun yang lalu. Lo nggak perlu ingat apa yang udah gue lakuin sama pacar kesayangan lo, dan lo juga nggak bakal inget sama apa yang lo dan bapak lo udah lakuin ke keluarga gue," tambah Jai dengan suara riang yang justru terdengar mencekam. "Ngomong-ngomong soal keluarga, kenalin, cewek yang ada di belakang lo itu adek gue. Cakep, kan? Cukup cakep untuk ngalihin perhatian lo dan buat lo naksir sama dia?"
Mendengar itu, Calvin menoleh menghadapku dengan pandangan nanar, sementara aku benar-benar tidak tahu bagaimana harus menghadapinya.
"Kalau dilihat dari cara lo nangisin mayat cewek lo waktu itu, gue kira selamanya lo udah nggak bakal naksir orang lain lagi. Ternyata lo emang munafik, sama seperti bapak lo," tambah Jai. "Tapi biarlah. Toh lo juga nggak inget apa-apa. Seperti kata orang hebat, kita seharusnya fokus pada masa kini, bukan pada masa lalu."
Dasar Jai munafik. Kalau dia tidak fokus pada masa lalu, kami semua tidak akan berada di sini sekarang.
"Sekarang, gue udah nyiapin permainan ini buat lo. Gue kurang yakin lo tahu apa nggak, tapi saat ini nyawa teman baik lo, Lisa Andriani, saat ini ada di tangan gue. Sama halnya dengan ketiga teman lo yang lainnya. Peraturan game ini adalah, kalau lo bisa nemuin ketiga teman lo yang lain, gue bakal lepasin Lisa," ucap Jai dengan suara menggema. Dalam hati, aku berharap orang-orang yang sudah menyelamatkan diri di luar sana sudah melapor polisi, supaya polisi dapat segera mengobrak-abrik tempat ini dan menyelamatkan teman-teman kami. Ya, semoga saja ini yang terjadi.
"Oh ya. Kalau lo berharap polisi bisa ngebantuin lo kali ini, sebaiknya buang harapan itu jauh-jauh. Saat ini mereka lagi sibuk dengan urusan mereka sendiri," tambah Jai lagi, mematahkan harapanku. "Untuk adikku tersayang, you've done well," ucapnya, membuat bulu kudukku merinding.
"Untuk Calvin, teman lamaku, kita akan segera bertemu. Sampai jumpa."
Dengan begitu, akhirnya speaker kembali padam.
Aku mendekati Calvin dengan langkah takut-takut. "Calvin…"
"Siapa kamu sebenarnya?" Baru kali ini aku mendengar suara Calvin yang terdengar begitu dingin. "Apa kamu benar-benar punya hubungan dari orang itu?"
"Calvin, please," ucapku dengan nada memelas. "Aku sumpah, aku bakal ceritain semuanya pada kamu, dari awal sampai akhir. Tapi kita harus tolongin teman-teman kamu lebih dulu. Queen, King, dan juga Kei. Jai menahan mereka semua, dan kurasa kamu juga tahu semakin lama mereka ada di tangannya, semakin terancam keadaan mereka."
Meskipun sudah kehilangan kepercayaannya padaku, Calvin bersedia menurut. Kami menuruni tangga darurat kampus dengan hati-hati, seandainya kami bertemu dengan orang-orang aneh suruhan Jai, yang aku yakin saat ini sedang berada di sini.
Tebakanku terbukti tepat. Saat kami sudah berada di lantai dasar, kami langsung dihadang oleh belasan preman bersenjata tajam. Tanpa dikomando lagi, aku dan Calvin langsung menerjang mereka tanpa ampun. Rupanya mereka sudah tidak peduli lagi meskipun aku adalah adik dari bos mereka. Mereka tetap menyerangku, meskipun aku selalu berhasil menghindar, bahkan menggunakan senjata mereka untuk melukai mereka sendiri. Saat aku sudah memegangi tongkat baseball di tangan, aku tidak ragu mengayunkannya pada mereka. Beberapa dari seranganku mengenai tepat di gigi mereka, membuat mereka akan ompong seumur hidup, dan beberapa lagi mengenai selangkangan mereka, kemungkinan membuat mereka mandul untuk selamanya. Selain itu, beberapa yang lainnya yang termasuk cukup beruntung hanya terlua di bagian tangan, kaki, dan perut saja.
Di saat aku sudah selesai dengan pertarunganku, aku mendapati Calvin menatapku dengan pandangan yang begitu rumit. Dia tampak terluka karena aku adalah salah satu orang yang menyebabkan kekacauan ini, dan dia memang benar, sekaligus kaget bahwa ternyata aku bisa bela diri.
"Cukup."
Aku menoleh pada asal suara itu. Lagi-lagi cowok itu. Sepertinya kerjaannya cuma hadir dan mengatakan "cukup" saja.
"Apa-apaan ini?" Aku langsung menghadangnya. "Kenapa kalian pakai kekerasan kayak gini?"
"Jangan ganggu aku." Dia menggeser tubuhku seolah aku ini cuma mainan lego, kemudian maju beberapa langkah. Wajahnya menegang saat dia mengatakan, "Halo, Calvin."
Aku mengernyitkan dahi. Dia mengenal Calvin juga?
"Lo kenal sama gue?" tanya Calvin, sama herannya denganku.
"Dulu. Sekarang sih nggak terlalu lagi," jawabnya.
"Mau kalian apa?" tanya Calvin dengan suara dingin.
"Bukan gue orang yang harus ditanyain pertanyaan itu," jawab cowok itu tenang. "Tapi untuk sekarang sih, gue perlu bawa cewek ini pergi."
Calvin mengerling padaku, kemudian kembali kepada cowok itu. "Itu nggak bakal terjadi di bawah pengawasan gue."
Cowok itu membuang nafas. "Ternyata lo belum kehilangan kesombongan lo."
Saat cowok itu menggerakan kepalanya, anak buah yang dia bawa langsung meraih tanganku, memaksaku untuk pergi dengan mereka. Tentu saja, aku melawan, dan begitu juga Calvin. Calvin segera mendekatiku dan berusaha melumpuhkan preman-preman yang menangkapku.
"Lepasin dia, brengsek!"
Saat Calvin sedang bertarung menghadapi dua lawannya, tiba-tiba cowok yang itu menyeruak di antara mereka. Calvin menargetkannya sebagai lawan yang baru, tetapi rupanya cowok itu berhasil menjatuhkan Calvin hanya dengan sebuah tendangan di perut. Saat Calvin tersungkur, dia memerintahkan setengah lusin anak buahnya untuk mengeroyoki Calvin sekaligus.
"Hei, lepasin dia. Apa-apaan kalian? Katanya mau serahkan tugasnya ke gue. Kenapa malah jadi kayak gini?" aku mengerang dengan sekuat tenaga.
Cowok itu hanya menatapku tanpa bicara, sementara anak buahnya terus mengeroyoki Calvin. Salah satu dari mereka mengambil tongkat besi yang terlantar begitu saja, dan begitu mendapat kesempatan, dia langsung mengayunkannya pada kepala Calvin, membuatnya pingsan dalam sekejap.
Aku bisa merasakan darahku lenyap menyaksikan pemandangan itu. Dihantam sekeras itu menggunakan tongkat besi, bisa-bisa Calvin tidak hanya pingsan, melainkan juga tewas di tempat.
"Calvin!" teriakku. Aku langsung memberontak dari kedua cowok yang dari tadi mengait lenganku dan berlari ke arah Calvin. Tentu saja aku dihadang oleh anak buah Jai yang masih mengeroyokinya, namun aku berhasil menumbangkan mereka layaknya pohon yang ditebang begitu saja. Mereka kesulitan menghadapiku yang sedang lepas kendali, dan saat akhirnya mereka semua sudah tumbang, aku merasakan tubuhku disuntik dari belakang.
Kemudian, terdengar suara cowok itu yang berkata, "Kamu dibebastugaskan, Lidya. Sekarang, istirahatlah dengan tenang."
Setelah itu, semuanya menjadi gelap.